sistem / bentuk pemerintahan di tanah wajo pada zaman dulu -->

sistem / bentuk pemerintahan di tanah wajo pada zaman dulu


Menurut Lontara di Wajo pada awalnya terdapattiga buah kelompok kaum, yaitu kaum betteng Pola, Talo Tenreng dan Tua’. Para pemimpin dari tiga negeri itu berusaha menciptakan menciptakan konsepesi pemerintahan To-Manurung mereka bersama-sama hanya mencari dan memilih seorang ketua (Matoa), baik dari kalangan mereka sendiri maupun dari luar, asal memenuhi syarat-syarat kepemimpinan seperti yang mereka tentukan terlebih dahulu dan juga merupakan perjanj ian antara ketua-ketua kaum dengan orang yang mereka pilih menjadi ketua (Arung Matoa Wajo).

Perkembangan selanjutnya, wajo berkembang menjadi sebuah Repokblik Aristoraksi , yang dipimpin oleh seorang ketua Arung Matoa Wajo , yang menjalankan pemerintahan dengan didampingi oleh tiga orang pembesar yang disebut Paddanreng atau Ranreng (kembaran atau sekutu) yaitu Paddarreng Betteng Pola, Paddarreng Talo Tengreng dan Pandarreng Tua. 

Selain itu terdapat pula pejabat tinggi Tana Wajo disebut: Bate Lompo Betteng Pola, Bate Lompo Tale’Terreng dan Bate Lompo Tua, dengan gelar masing-masing merah (Pilla), Patola (aneka warna) dan Cakkuridi (Kuning). Gelar itu sesuai dengan panji masing-masing. Pada mulanya Bate lompo itu bertugas khusus untuk urusan-urusan keamanan dan peperangan dalam wilayahnya masing-masing. Namun seiring pertumbuhan adminitrasi kekuasaan, maka mereka pun ikut menjalankan pemerintahandengan bertugas laksana menteri-menteri, penbantu Arung Matoa Wajo.

Ketiga orang paddanreng, bersama ketiga orang Bate Lompo merupakan sebuah dewan yang disebut Arung Ennennge atau Petta Ennennge (Dewan Pertuanan yang Enam). Bilamana Arung Matoa ikut hadir dalam dewan itu, maka ketujuhnya disebut Petta Wajo (Pertuanan Tanah Wajo), sebagai pucuk pemerintahan tertinggi Tana-Wajo’.

Arung Mabbicara (Pertuanan yang Menetapkan Hukum) bertugas sebagai perlemen Tana-Wajo, yang bertugas : Maddete Bicara (Menetapkan hukum/Undang-undang), mattetta, mappano’ pate bicara (mengesahkan, mengusulkan dan menyampaikan hal-ihwal tentang penyelengaraan undang-undang) untuk ditangani oleh Petta Wajo.

Suro ri Bateng (duta-duta Tanah Wajo), yang melaksanakan tugas : menyampaikan kepada rakyat semua hasil permufakatan dan perintah dari Padderreng, menyampaikan kepada rakyat tiap perintah dari pada Bate Lompo, menyampaikan kepada Rakyat, hasi permufakatan dan perintah perintah dari Petta Wajo. Sejumlah yang disebutkan diatas merupakan pemangku kedaulatan di Tana Wajo (Arung Patangpuloe) yang berjumlah 40 orang atau di sebut juga Puang ri Wajo (Penguasa di Tana-Wajo), dalam ungkapan orang Wajo disebut : Paoppang, Palengenngi Tana Wajo (yang dapat menelungkupkan dan mengadahkan Tana Wajo).
Tiap Padderreng (Kepala Negeri) terdapat punggawa atau Matoa yang mengelapai setiap kampung asal atau disebut inanna tau maegae (induk dari orang banyak) yang menjalankan pemerintahan lansung atas rakyat dalam wilayah masing-masing dan menjadi penghubung antara Petta Wajo dengan para Arung Lili (raja-raja bawahan).

Sebelum terbentuknya Tana-Wajo sebagai negara, jabatan-jabatan lainnya diwariskan turun temurun dari pemangku jabatan asal. Menurut ungkapan orang Bugis Wajo, Maradeka To Wajo’e, Ade’nami napopuang artinya seleruh orang Wajo’ adalah warga merdeka, hanya ade’ (peraturan-peraturan hukum) yang menjadi pertuanan mereka.

Kepemimpinan Tana-Wajo lebih dekat disebut sistem kepemimpinan patrimonial yang bersifat Tradisional pada kelompok persekutuan anang, tetapi pada pucuk pimpinan tertinggi, yaitu arung Matoa Wajo, berlaku pola-pola kepemimpinan rasional, yang didasarkan kepada kemampuan pribadi dan penerimaan dari Perwakilan Rakyat (secara terbatas).

TerPopuler