sistem pemerintahan bugis makassar periode la-galigo -->

sistem pemerintahan bugis makassar periode la-galigo

Periode La-Galigo sikap hidup manusia di tentukan oleh faktor-faktor di luar dirinya. masyarakat dibagi menjadi tiga kelas besar yaitu aristokrasi (Bangsawan), orang merdeka, dan budak. Segala sesuatu dipertautkan kepada kekuatan-kekuatan adikodrati gaib sebagai sumber gejala kekuasaan dan kepemimpinan . kekeuasaan dalam kelompok masyarakat, diserahkan kepada orang-orang yang dianggap memiliki kekuatan gaib yang diperoleh dengan jalan penitisan dewa-dewa. Pola piskir yang menganggap bahwa segala kekuasaan itu berasal dari kerajaan dewa’-dewa di Bo’tilangi, telah memeberikan ciri tertentu dalam perkembangan kehidupan kelompok. 

Pimpinan dari kelompok berurat-akar sebagai kepercayaan rakyat, tentang adanya kekuatan-kekuatan saktiyang berasal dari dewa-dewa yang yang melindungi persekutuan itu. Pimpinan dalam kelompok dianggap mewakili kekuasaan dan metafisik. Ia dipercayai sebagai representasi kekuasaan langit dan bumi yang berkelanjutan dari dunia sampai pada hidup sesudah matikepercayaan itu yang dianut sebagai agama. Dunia nyata dan dunia gaib disatukan sebagai keadaan yang hidup dikalangan mereka. Keadaan itulah yang nampak baik pada kelompok-kelompok kecil maupun pad kelompok hidup bersama yang lebih besar seperti yang terjadi di tanah Luwu dan Ware’.

Orang Bugis Makassar Manganggap Tanah Luwu’ dan Ware’ sebagai negara Bugis yang tertua dan meliputi semua negeri-negeri Bugis, Makassar Toraja Mandar dan persekutuan-persekutuan lainnya di sulawesi Selatan. Anggapan Bahwa Segala kekuasaan pimpinan dalam persekutuan hidup atau negara lansung dari Patotoe (yang menentukan nasib segala sesuatunya) menjadi keyakinan yang hidup. Pemimpin itu adalah Dewa atau sebagai wakil Dewa , melakukan pimpinan, mengatur tata tertib umat manusia, dan orang taat pada kekuasaan suci itu. Tokoh-tokoh pemimpin dalam periode Galigo, seperti Batara Guru, Batara Lettu, Saweri gading dan lain-lain, adalah tokoh-tokoh yang digambarkan memiliki kekuatan-kekuatan karismatik yang lahir dari kepercayaan keagamaan (corak kepemimpinan yang religio-charismatis).

Sebagai kepercayaan keagamaan, kepemipinan periode Galigo berusaha memeberikan tuntunan etik kepada kegiatan-kegiatan duniawi kepada rakyatnya. Mungkin serupa dengan gambaran yang dikemukakan oleh Reinhard Bendix, mengenai pendapat Max Weber bahwa :

Dalam ilmu negara, paham yang menganggap segala kekuasaan itu dari Tuhan atau Dewa disebut paham teokrasi. Menurut paham ini, Raja menjadi Raja dan Negara menjadi negara berkat kekuasaan dan kehendak Tuhan atau Dewa. Dengan pimpinan Tuhan, raja memimpin ummat manusia agar tercapai ketertiban seperti yang dikehendaki Tuhan. Negara sebagai Negara hanyalah perwujudan dan palaksanaan kuasa Tuhan semata-mata.

Manusia menhadapi dunianya secara pasif, seperti tampak sepanjang sejarah kehidupan sejarah Teokrasi dalam ilmu negara. Manusia dalam hidup kebudayaanya sejauh mungkin hanya mengikuti kosmos atau kodrat, sebagai sesuatu yang tak mungkin dilawan atau dirobah secara tidak secara tidak semena-mena. Polo papa, polo panni (patah tulang, patah sayap) sebuah ungkapan dalam bahsa bugis yang maksudnya bila Raja berkehendak, maka yang diperintah (rakyat) harus mengikuti tak ada daya untuk melawanya. Rajalah yang menentukan segala-galanya .

Demikian pula pada hubungan pemerintah dan yang diperintah semata-mata adalah keharusan kodrat yang tak dapat dilawan atau disanggah. Ketaatan yang diperintah pada pemerintahannya, kesetian yang dipimpin pada pimpinanya dipandang sebagai kodrat suci, yang telah berlaku tanpa sanggahan.

Apabila kita memperhatikan thema=thema mitos Galigo besar kemungkinan bahwa periode ini (tanah Bugis) ezaman dengan perkembangan kerajaan hindu di nusantara seperti Sriwijaya dan lainnya (abad ke 7- 10).

TerPopuler