sistem pemerintahan bugis makassar pada zaman modern -->

sistem pemerintahan bugis makassar pada zaman modern


Tiga tahun setelah proklamasi kemerdekaan Indonesia 17 agustus 1945 Andi Patimangi memerintah sebagai kepala Distrik Pitu Riase, beliau di gantikan oleh Andi Nganro. Andi Ngandro memerintah dari tahun 1948-1950 kemudia beliau di gantikan oleh andi samamma.

Pada masa pemerintahan Andi Samamma Distrik Pitu Riase bergabung dengan Distrik Pitu Riawa yang wilayahnya meliputi tujuh kerajaan yang terletak di bagian selatan yaitu: Otting, Ugi, Jepu, Botto, Bulecenrana, Bilulang, dan Bila(Abd. Razak Dg. Patunru, Bingkisan Budaya Sulselra).

Gabungan kedua buah Distrik Pitu ini di beri nama Distrik Dua Pitue dengan ibu kotanya Tanru Tedong. Setelah terbentuknya Distrik Dua Pitue maka berturut-turut menjadi pejabat adalah: Andi Ceme, Andi Madda, Andi Panjiwi, Andi Takko, Dan Andi Pabbeka(Petta Otting).

Masa jabatan kepala Distrik setelah di sebut berturut-turut diatas tidak menentu karena pada masa itu bertepatan dengan berkecamuknya kekacauan yang melanda seluruh wilayah Swapraja dengan Sidenreng Rappang. Salah satu pusat kekuatan gerombolan pada waktu itu ialah Distrik Dua Pitue. Keadaan kacau seperti ini baru dapat pulih kembali pada tahun 1965.

Dalam keadaan kekacauwan yang masih berkecamuk pada tahun 1951 di angkatlah Andi Ewang sebagai kepala Distrik dan di bantu oleh H. Andi Nurdin (Petta Kali) masa jabatannya berlangsung sampai pada tahun 1957. Setah itu beliau di gantikan oleh Drs Andi Kone (sekarang staf kantor gubernur propinsi Sulawesi Selatan) sebagai kepala Distrik. Masa jabatan Drs Andi Kone berlangsung sampai tahun 1962. Dengan berakhirnya masa jabatan Drs. Andi Kone sebagai kepala Distrik maka berakhir pulalah kepemimpinan Distrik Dua Pitue yang berdasarkan keturunan. Dengan demikian terbukalah kesempatan yang seluas-luasnya bagi warga masyarakat untuk menduduki jabatan sesuai dengan kemampuan yang dia miliki.

Berakhirnya sistem pemerintahan berdasarkan keturunan ini dapat di tandai dengan angkatnya H. Abidin Pido(Perwira ABRI) sebagai kepala Distrik Dua Pitue menggantikan Drs. Andi Kone pada tahun 1962. Bertepatan dengan pengangkatan H. Abidin Pido sebagai kepala Distrik di adakan pula perubahan. Nama Distrik Pitue menjadi Kecamatan Dua Pitue yaitu salah satu di antara tujuh buah kecamatan yang berada di wilayah kabupaten Sidenreng Rappang. Untuk jelasnya sejarah pembentukan Desa Batu dan Lancirang kita harus bertolak pada sejarah pembentukan kabupaten Sidenreng Rappang.

Kabupaten Sidenreng Rappang di bentuk berdasarkan peraturan pemerintah No.25tahun 1959.wilayahnya meliputi bekas wilayah Swapraja Sidenreng Rappang. Yang menjadi kepala daerah Sidenreng Rappang yang pertama ialah: H. Andi Sapada Mappangile(pensiunan ABRI. AD dan seorang pejuang kemerdekaan Indonesia, asli dari Sidrap). Daerah tingkat II Sidenreng Rappang ini merupakan penukaran Kabupaten pare-pare lama.

Sebagai tindak lanjut dari pembentukan daerah tingkat II Sidenreng Rappang menyusul pula pembentukan kecamatan-kecamatan. Sebelum pembentukan kecamatan terlebih dahulu Distrik-Distrik yang berada di wiayah bekas Swapraja Sidenreng Rappang dan jumlahnya 19 di bubarkan dengan peraturan Bupati KDH No.271/1961 tanggal 26-6-1961, termasuk Distrik Dua Pitue.

Selanjutnya untuk pembentukan kecamatan-kecamatan di wilayah sidrap ini di dasarkan pada SK Gubernur Sulawesi selatan No 2067 A Tgl. 19-12-1961. Berdasarkan SK tersebut diatas terbentuklah pertama kali 4 kecamatan yang wilayahnya meliputi bekas wilayah distrik yang telah di bubarkan. Kecamatan-kecamatan tersebut adalah sebagai berikut:
1. Kecamatan Rappang (Lalebbata)
2. kecamatan Maritengngae/Watang Pulu
3. Kecamatan Tellu Limpoe
4. Kecamatan Dua Pitue
Kemudian dari 4 kecamatan tersebut kecamatan Rappang (Lalebba) di mekarkan menjadi kecamatan baranti dan Panca Rijang dengan demikian terbentuklah 5 kecamatan baru sebagai berikut:
1. Kecamatan Baranti
2. Kecamatan Panca Rijang
3. Kecamatan Watang Pulu/Maritengngae
4. Kecamatan Tellu Limpoe
5. Kecamatan Dua Pitue
Dalam perkembangan selanjutnya kecamatan yang terletak di wilayah Swapraja sidenreng di mekarkan lagi masing-masing menjdi dua yaitu:Watang Pulu/Maritengngae menjadi kecamatan watang pulu dan maritengnae. Sedangkan kecamatan Rellu Limpoe di mekarkan menjadi kecamatan Tellu Limpoe dan Panca Lautang. Sehingga terbentuklah tujuh kecamatan masing-masing sebagai berikut:
1. Kecamatan Maritengngae
2. Kecamatan Panca Rijang
3. Kecamatan Baranti
4. Kecamatan Watang Pulu
5. Kecamatan Tellu Lompoe
6. Kecamatan Panca Lautang
7. Kecamatan Dua Pitue
Selain itu dikenal juga adanya orang Buugis-Makassar dengan sebutan Orang-orang merdeka merupakan bagian terbesar penduduk, Sembilan puluh persen lebih. Adapun budak, baik secara turun temurun maupun orang-orang yang terikat utang, merupakan satu kelompok kecil di bagian masyarakat paling bawah, sedangkan bangsawan merupakan lapisan masyarakat sangat tipis di atas. Namun, golongan bangsawanlah yang menguasai tanah dan memegang posisi monopoli atas kekuasaan. 

Golongan ini memisahkan diri dari golongan masyarakat lainnya lewat diberlakukannya peraturan pengeluaran yang ketat, penggunaan sebutan-sebutan khusus seperti Andi, Karaeng, Arung, Datu dan sebagainya, dan larangan keras terhadap para putri bangsawan untuk kawin dengan pria dari lapisan bawahannya. 

Larangan ini, bersama-sama dengan peraturan bahwa semua anak dari pria bangsawan termasuk kelas itu, memastikan bahwa keturunan yang diakui dari kaum bangsawan adalah orang bangsawan juga. Pekerjaan utama bangsawan adalah bidang pemerintahan, khususnya mengatur penggunaan tanah dan menyelesaikan persengketaan. Baik kedudukan politik maupun kekuasaan ekonomi berkaitan erat dengan status kelas, karena pada umumnya diterima bahwa tidak ada orang yang dapat memaksakan kekuasaan atas orang lain yang berpangkat lebih tinggi daripada dia sendiri.

Anggota bangsawan semuanya dianggap sebagai ana’ karaeng (anak raja), tetapi di kalangan bangsawan sendiri dilakukan pembedaan yang sangat teliti. Unsure patrilinier dan matrilinier kedua-duanya berlaku. Setiap anak yang ayahnya bangsawan adalah bangsawan juga, apapun kelas ibunya, akan tetapi, di kalangan bangsawan tinggi tingkatan ditentukan oleh kelas sang ibu. Tingkatan tertinggi, ana’ matola atau anak patola, adalah anak-anak perempuan keturunan bangsawan asli. 

Tingkatan terendah di kalangan bangsawan adalah anak-anak yang ibunya adalah orang bebas, atau budak, mereka dikenal sebagai ana’ cera’. Di antara kedua tingkatan itu, dalam keanekaragaman peringkat yang hampir tidak terhitung, adalah anak-anak yang kedua orangtuanya dari kalangan bangsawan akan tetapi salah seorang, atau kedua-duanya bukan ana’ matola. Raja dan kepala-kepala yang penting lainnya dapat saja laki-laki atau perempuan, tetapi haruslah ana’ matola.

Para pemimpin utama kerajaan seringkali adalah sanak keluarga dekat raja, yang tingkatannya sama tinggi atau hampir sama tinggi dengan sang penguasa sendiri. Dalam beberapa hal mereka ini adalah penguasan bagian wilayah kerajaan atau kerajaan bawahan, dalam hal lain mereka tampak mempunyai fungsi riil sebagai bagian dari kelompok kerajaan. Para pemimpin senior ini merupakan hadat, yaitu dewan yang fungsi utamanya ialah member nasehat kepada raja dan membantunya dalam memecahkan persengketaan, tetapi juga mempunyai kekuasaan besar dalam pemilihan dan penurunan seorang raja.

Sekalipun raja yang sedang memerintah mempunyai pengaruh besar dalam menetapkan seorang pengganti, hadat inilah yang secara formal menegaskan pilihan tersebut. Menurut tradisi, sifat-sifat seorang raja yang dikehendaki adalah bahwa ia (laki-laki atau perempuan) haruslah jujur, mampu, murah hati dan berani. Ada kepercayaan umum bahwa sifat-sifat semacam itu diwarisi, dan dengan demikian didapati terutama sekali di kalangan kaum bangsawan tertinggi, golongan ana’ matola, sekalipun hadat mengakui bahwa ada raja kemungkinan determinisme genetika mereka salah dalam menilai kualitas kepemimpinan. 

Tentulah seorang calon dari keturunan murni akan mendapat perhatian utama, karena kewibawaan orang semacam itu akan kurang dipertanyakan jika dibanding dengan kewibawaan seseorang yang berderajat lebih rendah, betapapun bijaksana atau beraninya.

Seseorang yang berhak menjadi raja karena keturunan, yang ditunjuk demikian oleh penguasa sebelumnya, dan yang memperlihatkan sifat-sifat kepemimpinan yang diharapkan, dapat memusatkan perhatian pada pengembangan kekayaan, wilayah, dan kekuasaan kerajaan. Seseorang yang kekurangan satu di antara persyaratan ini mungkin sekali harus memusatkan diri pada usaha mempertahankan kedudukannya terhadap orang lain yang berdarah lebih murni, atau lebih bersemangat, yang juga menyatakan berhak atas tahta.

Bagaimanapun, keberhasilan akan bergantung untuk sebagian besar pada hubungan penguasa dengan para pemimpin bawahan atau pada kemampuannya menghimpun jumlah pengikut yang cukup besar, yang kesetiaannya dapat diandalkan oleh penguasa tersebut. Dalam beberapa kejadian kelompok keluarga penguasa merupakan inti dari pengikut. 

Akan tetapi karena ada persaingan untuk kedudukan dalam kelompok keluarga tersebut, para anggota yang dipandang berstatus hampir sama dan karena perluasan kekuatan memerlukan jumlah pengikut yang lebih besar, maka seorang penguasa karena kebutuhan akan berpaling ke luar lingkungan keluarga. Salah satu cara untuk mendapatkan pengikuti yang setia adalah memberi tanah kedudukan.

Teknik-teknik kepemimpinan tradisional lain yang dikenal, yang dapat digunakan baik untuk menghimpun pengikut maupun dalam proses memerintah yang sebenarnya, digambarkan sebagai: bujuk, justai, dan pukul. Bujuk atau pujian, harus yang pertama-tama dicoba, kalau ini gagal, berikan janji, mungkin kedudukan tinggi boleh ditawarkan tetapi tidak perlu dipenuhi. 

Dan akhirnya, bagi mereka yang menolak bujukan, kekerasan dapat diterapkan untuk mendatangkan hasil yang diinginkan. Tetapi yang tersebut belakangan harus diterapkan dengan hati-hati, sebab seorang lawan yang terdesak sampai ke satu sudut akan lebih menyukai kematian daripada kompromi, ini karena menyerah dipandang sebagai aib yang tidak tertanggungkan.

Kaum bangsawan dari tingkatan lebih rendah memerintah satuan-satuan bawahan kerajaan, atau menjadi anggota pengikut pribadi penguasa. Ada keluwesan yang cukup besar dalam komposisi wilayah kerajaan. Sekalipun batas-batas satuan tertentu, atau “wilayah inti”, mungkin ditetapkan cukup tepat, para pemimpin wilayah bawahan ini, terutama yang terletak di perbatasan antara kerajaan-kerajaan besar, mungkin saja mengalihkan kesetiaan mereka kepada penguasa lainnya yang menurut anggapan mereka lebih mampu memberikan kedamaian bahkan perlindungan, atau kesempatan untuk mengumpulkan kekayaan dan petualangan. 

Karena kekeluargaan diperhitungkan secara bilateral, dan karena terjadi banyak hubungan perkawinan di kalangan bangsawan Sulawesi Selatan, kebanyakan pemimpin sedikit banyak bersaudara satu sama lain, dan juga dengan para pemimpin yang lebih tinggi dan yang lebih rendah. Hubungan dengan kerajaan-kerajaan lain, dengan pemimpin bawahan atau dengan para pengikut, seringkali diperkuat dengan perkawinan, dan perkawinan itu sendiri merupakan ungkapan formal dari hubungan yang sederajat atau lebih rendah dari pihak-pihak yang terlibat.

Hierarki para pemimpin dan kerajaan ini berada di atas masyarakat desa, dan dianggap telah berkembang daripadanya. Desa-desa tampaknya mula-mula dihuni oleh para anggota dari satu kelompok keluarga, yang bersama memuja suatu hiasan, atau barang, yang dipandang mengandung kekuatan gaib dan diwarisi dari para leluhur yang mula-mula memilikinya. 

Kepercayaan pada kekuatan gaib pusaka keluarga itu merupakan suatu pusat pemersatu untuk kelompok keluarga itu. Dan kepercayaan pada kekuatan gaib tempat-tempat tertentu seperti gua, pegunungan, puncak gunung, pohon, telaga memberikan kohesi spiritual kepada masyarakat desa itu ketika orang-orang yang bukan keluarga pindah ke daerah tersebut. 

Tampaknya, telah terjadi migrasi intern yang cukup besar dalam daerah Bugis dan Makassar, dan tidak hanya orang-orang asing masuk ke dalam desa yang sudah ada, melainkan kelompok-kelompok penduduk desa akan memisahkan diri dari permukiman induk dan mendirikan desa bawahan di dekatnya. Setiap masyarakat desa memilih pemimpinnya sendiri, biasanya dari keturunan pendiri desa. Hubungan dipertahankan antara permukiman asal dan permukiman yang kemudian timbul daripadanya, secara keseluruhan hal ini kelak mungkin merupakan inti suatu kerajaan kecil.

Mungkin mula-mula sebagai sarana untuk menyelesaikan persengketaan antara satuan-satuan yang berdekatan, atau sebagai pertahanan terhadap gangguan dari kelompok-kelompok yang lebih jauh dan lebih kuat, maka para pemimpin satuan lalu membentuk suatu dewan yang berkuasa, yaitu hadat dan selanjutnya para pemimpin ini memilih di antara mereka seorang penguasa konfederasi. Tiap satuan tetap mempunyai otonomi cukup besar dalam mengatur urusan mereka sendiri, dan kekuasaan kepala federasi itu sangat bergantung pada hubungannya dengan para pemimpin bawahan dan pada kewibawaan pribadinya.

Hubungan berdasar perjanjian antara penguasa dan rakyat ditandai dengan sumpah yang diambil dalam upacara penobatan, atau dalam upacara-upacara yang lebih sering untuk masa tanam dan masa panen. Dalam upacara penobatan, hadat biasanya bertindak sebagai wakil rakyat. Pada pokoknya, penguasa berjanji untuk memberikan keadilan dan perlindungan terhadap lawan dan kelaparan, yakni sebagai imbalan bagi kesetiaan rakyat dan atas kesediaan mereka membajak dan memanen tanahnya.

TerPopuler