Sikap Seorang Muslim Terhadap Agama-agama yang lain -->

Sikap Seorang Muslim Terhadap Agama-agama yang lain

Sikap Seorang Muslim Terhadap Agama lain

Adalah nikmat Allah Ta’ala yang hari ini patut untuk kita syukuri, kala pada kesempatan kali ini kita masih diberi kemudahan oleh Allah dalam menjalani aktifitas sehari-hari. Baik hal yang demikian itu adalah berupa amalan akhirat maupun amalan keduniaan. Karena tidaklah sebuah amalan yang dilakukan terlebih hal tersebut dilakukan oleh seorang mukmin, disanalah tersimpan kebaikan. Seorang muslim yang ideal adalah muslim dengan kemampuan ia bisa menjadikan aktifitasnya bermanfaat bagi dirinya maupun bagi orang lain.

Sebagai seorang muslim yang hidup di negara penuh dengan keanekaragaman, baik budaya, agama, suku bangsa, dan pola pikir. Maka hal demikian menjadikan negara ini kaya akan potensi kesejahteraan apabila diberdayakan secara optimal. Selama hal yang demikian dijalankan dengan dasar penuh kebaikan, kedamaian, dan tidak ada pengkotak-kotakan dari insane-insan bangsa ini. Sebab, elemen di negeri ini berbeda untuk menjadikannya satu tujuan sama. Yakni cita-cita luhur kemerdekaan secara paripurna. Indonesia adalah negeri yang memiliki perbedaan sukubangsa, agama, ras dan golongan. Maka membuat Indonesia maju memiliki tantangan tersendiri yang tidak mudah. Hal ini karena beragamnya elemen pendukung dari bangsa kita. 

Mungkin perbedaan suku bangsa, ras, dan golongan bisa disatukan dalam bingkai yang sedikit lebih mudah, yakni pendekatan-pendekatan yang bisa diartikan sebagai pendekatan emosional. Akan tetapi ketika berbicara soal agama, hal tersebut bisa jadi menyibakkan cerita yang berbeda. Betapa negeri ini memiliki 6 agama yang diakui oleh negara dan memiliki kedudukan sama dimata hak dan kewajiban para pemeluknya baik sebagai anak bangsa dan warga negara. Keenam agama tersebut ada di Indonesia merupakan pengakuan secara sah di mata hukum dan merupakan bukti hadirnya hak asasi manusia di negeri ini. Sebab negeri ini tidak menganut satu agama tunggal. Salah satu bukti penghargaan terhadap elemen agama yang hadir di negara ini adalah, dengan sikap adilnya pemerintah atas adanya perayaan hari besar tiap-tiap agama tersebut. Berarti dalam hal ini, negara tidak memberikan diskriminasi dan menjunjung tinggi pluralitas beserta hak-hak yang terkandung di dalamnya.

Maka dengan demikian, dibutuhkanlah sebuah sistem atau sebuah cara yang tepat guna menjadikan perbedaan sebagai alat untuk menumbuhkan persatuan. Sebab persatuan tidak haya sekedar hadir pada kesamaan. Akan tetapi persatuan juga dapat muncul dengan adanya perbedaan-perbedaan yang menyamakan hakikat dan tujuan.

Sebagai seorang muslim, kita pun dianjurkan untuk menghargai satu sama lain. Sebab sebuah perbedaan merupakan sunnatullah, atau sesuatu yang telah Allah tetapkan. Allah jadikan perbedaan itu sebagai sebuah wasilah atau sarana untuk saling mengenal dan mengaitkan hal yang demikian untuk menuju satu visi yakni ketakwaan. Sebagaimana Allah Ta’ala berfirman dalam QS. Al Hujurat : 13, “Hai manusia, Sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kamu disisi Allah ialah orang yang paling taqwa diantara kamu. Sesungguhnya Allah Maha mengetahui lagi Maha Mengenal.”

Maka dengan demikian, penting bagi setiap muslim untuk mengetahui, mengenal, dan memahami perbedaan yang terdapat dalam lingkungannya dan juga bagaimana cara untuk menjadikan perbedaan tersebut sebagai sarana menuju keridhaan Allah Ta’ala. Hal-hal yang dapat menjadikan seorang muslim hidup bekerjasama dengan berdampingan pun telah diatur dalam rambu-rambu syariat. Sehingga setiap muslim dapat tetap teguh memegang ajaran agamanya. Poin-poin tersebut diantaranya ialah,

Pertama, hendaklah seorang muslim senantiasa berlaku baik dan berprinsip untuk berusaha menghilangkan kesulitan yang dialami orang lain. Perbedaan keyakinan pada tingkat yang lebih kecil ialah bisa jadi ada dalam sekitar kita. Salah satunya mungkin adalah pada tetangga kita sendiri. Sehingga sebagai seorang muslim kita tetap dianjurkan untuk bersikap santun atas tamu atau tetangga. Hal ini disabdakan oleh Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam yang diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim.

“Siapa saja yang beriman kepada Allah dan hari Akhir, maka hendaknya berbuat baik kepada tetangganya. Barangsiapa beriman kepada Alah dan hari Akhir, maka hendaknya memuliakan tamunya. Dan barangsiapa beriman kepada Allah dan hari Akhir, maka hendaknya berucap baik atau diam.”

Berlaku baik tersebut juga bukan tidak mungkin akan mendatangkan maslahat. Setidaknya bagi seorang muslim hal tersebut bisa menjadi sarana dakwah tersendiri. Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam pernah melakukan hal ini tatkala ada seorang pemuda yang senantiasa melemparkan kotoran saat beliau lewat. Akan tetapi suatu ketika ia tak melemparkannya. Sehingga Nabi pun bertanya-tanya. Ternyata pemuda tersebut diketahui sakit. Sehingga Nabi pun menjenguk dan berujung pada masuk Islamnya pemuda itu.

Kelembutan atau santun juga diperlukan dalam hal ini. Sebab Allah telah menyuruh kita untuk bersikap lembut agar semata-mata mendapatkan manfaat yang luar biasa hebatnya. Seperti dalam firman Allah Ta’ala dalam QS. Ali Imran : 159, “Maka disebabkan rahmat dari Allah-lah kamu Berlaku lemah lembut terhadap mereka. Sekiranya kamu bersikap keras lagi berhati kasar, tentulah mereka menjauhkan diri dari sekelilingmu. karena itu ma’afkanlah mereka, mohonkanlah ampun bagi mereka, dan bermusyawaratlah dengan mereka dalam urusan itu. kemudian apabila kamu telah membulatkan tekad, Maka bertawakkallah kepada Allah. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertawakkal kepada-Nya.”

Nabi sendiri merupakan orang pertama yang berada pada garis terdepan dalam mengajak keluarganya untuk senantiasa bersikap lembut. Karena lembut merupakan akhlak yang mengundang pesona. Seperti pesan beliau kepada istrinya yakni ‘Aisyah radhiyallohu ‘anha, “Wahai ‘Aisyah, sesungguhnya Allah itu Maha Lembut dan menyukai kelembutan. Allah memberikan pada kelembutan apa yang tidak Dia berikan pada kekerasan dan apa yang tidak Dia berikan pada yang lainnya.” (HR. Muslim no. 2593).

Sehingga sebagai seorang muslim dan merupakan jumlah mayoritas di Indonesia, sepatutnya kita menampakkan akhlak penuh dengan kelembutan, kesantunan, mudah untuk membantu kesulitan orang lain dan mengajak kepada sikap bersama saling menjaga diatas bingkai bangsa, “Hendaklah engkau bersikap lembut. Karena tidaklah kelembutan itu ada pada sesuatu, kecuali pasti memperindahnya. Dan tidaklah kelembutan itu tercabut dari sesuatu, kecuali pasti memperjeleknya.” (HR. Muslim no. 2594)

Poin yang kedua, hendaklah saling membantu dalam perkara yang ma’ruf dalam urusan keduniaan. Hal ini pernah dilakukan oleh Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam bahwasanya beliau diakhir hayatnya masih memiliki transaksi muamalah dengan Yahudi. Dimana baju beliau shalallahu ‘alaihi wa sallam digadaikan kepada orang Yahudi tersebut. Disaat Islam mencapai puncak masa keemasannya pun, Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam hadir sebagai pemimpin yang juga bersikap menghargai pihak agama lain, selama para pemeluknya mentaati aturan-aturan yang saat itu telah ditetapkan oleh beliau alaihimush shalatu wa sallam. sehingga kabar gembira bagi umat agama lain yang juga merasa tenang dan damai disaat Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam memimpin.

Maka dengan demikian, ditengah era globalisasi seperti ini. Persatuan sangat dibutuhkan untuk menjaga keamanan negeri ini. Kesatuan dan persatuan menjadikan bangsa ini kuat dan maju. Sebab bangsa ini dibangun diatas semangat persatuan dan dilandasi rasa saling menghargai. Ini semua semata-mata bukan hanya untuk kita, akan tetapi bagi anak cucu kita, para generasi selanjutnya yang tentu akan meneruskan kelangsungan hidup di bumi gemah ripah loh djinawi ini.

Semoga Allah Ta’ala jadikan bangsa ini sebagai bangsa yang aman, damai, dan berlimpah dengan kesejahteraan, menjadikan negeri ini pula sebagai negeri yang sentausa dan penuh rahmat bagi generasi selanjutnya. Allahumma Aamiin.

“Hai orang-orang beriman, janganlah kamu mengambil bapak-bapakmu dan saudara-saudara laki-lakimu menjadi sahabat jika mereka lebih mencintai kekufuran daripada keimanan. Dan barangsiapa di antaramu bersahabat dengan mereka, maka mereka itu orang-orang aniaya.” (Surah At-Taubah: 23)

Seorang ilmuwan Muslim Ahmadi Indonesia, Soekmana Soma menganjurkan sikap ilmiah yang dipraktekkan para ilmuwan guna menghadapinya. Dalam kehidupan ilmiah belum pernah terjadi kasus pertengkaran antar ilmuwan karena hipotesis atau penemuannya dibantah atau dipatahkan oleh ilmuwan lainnya. Belum pernah terjadi sekelompok ilmuwan di dalam sebuah wadah majelis ilmuwan, baik dalam skala internasional, nasional maupun lokal bersama-sama menyatakan penelitian seseorang sebagai sesat dan menyesatkan serta harus dilarang.

Soekmana Soma juga menganjurkan dialog yakni, pertukaran dan diskusi ide-ide, khususnya dalam rangka mencari pengertian bersama atau mencapai keadaan yang harmonis. Sebuah dialog hanya dapat terlaksana jika pihak-pihak yang berbeda ‘duduk’ bersama dalam kedudukan sederajat dan berkomunikasi dengan cara yang patut, layak, sopan, berbudi dan beradab – apalagi jika peserta dialog adalah umat beragama. Kontroversi seputar isu-isu pluralisme agama semakin jauh dari manfaat manakala tidak ada pijakan dialog. Guna mendekatkan masing-masing pihak kepada kebenaran dan bersepakat dibutuhkan standar, yakni logika dan akal sehat manusia. Dengan dibantu oleh kebangkitan ilmu pengetahuan logika dan akal sehat tidak mengenal pernyataan iman, warna kulit maupun agama. Logika itu sama bagi semua orang maupun agama. Logika dan logika sajalah yang dapat memberi kita suatu pijakan untuk bersepakat.

Logika menjadi faktor utama telaah kritis terhadap doktrin agama. Agama-agama di tengah kemajuan sains dan riset tertantang untuk bertahan menghadapi telaah kritis baik secara historis maupun teks. Sebuah pemahaman agama bisa mengelak dengan memisahkan kebenaran doktrin agama dari kebenaran sains tetapi seperti yang dikatakan oleh Galileo Galilie, “two truths cannot obviously contradict each other” dua kebenaran tidak mungkin bertentangan satu dengan lainnya.

Sikap melarikan pembahasan teks-teks agama yang perlu ditafsirkan secara metafora dengan bermain dalam istilah ‘misteri’ dan ‘transenden’ layak dijauhi karena akan berakhir pada keengganan manusia untuk berkreasi dan berpikir. Istilah gaib atau transenden sebagai sebuah kebenaran yang tidak terjangkau akal pikiran membawa alam berpikir umat Islam ke dalam dunia kahyangan – dunia dongeng. Pelarian ini juga membuat wajah agama dalam posisi bertahan di tengah-tengah serangan ilmu pengetahuan dan sains bukan pendukung bahkan pendorong. Ketiadaan gaya ofensif menandakan kematian daya hidup agama tersebut.

Agama tidak bisa memisahkan diri dengan dunia sains karena kita hidup di dunia ilmiah dan para pendiri agama sendiri diklaim pernah hidup di bumi ini artinya keberadaan mereka sendiri diakui sebagai fakta. Oleh karena itu, kehidupan dan ajaran mereka dapat diverifikasi melalui sebuah kajian historis kritis. Bagi para ilmu ilmuwan sejati, patahnya suatu temuan ilmiah yang kemudian disempurnakan dengan temuan baru merupakan kemenangan kolektif – suatu kemenangan ilmu pengetahuan dalam upaya membuka tabir rahasia alam semesta yang maha luas! Kemajuan ilmu dan teknologi menghasilkan kebenaran relatif yang terus-menerus diperbaiki menjadi lebih pasti – mendekati kebenaran hakiki.

“Hai orang-orang yang beriman, janganlah suatu kaum mencemoohkan kaum lain, mungkin mereka (yang dicemoohkan) itu lebih baik daripada mereka (yang mencemoohkan), dan janganlah wanita mencemoohkan wanita lain, mungkin mereka (yang dicemoohkan) itu lebih baik daripada mereka (yang mencemoohkan), dan janganlah kamu memburuk-burukkan di antara kamu, begitu pula jangan panggil-memanggil dengan nama buruk. Seburuk-buruk nama adalah fasik sesudah iman dan barangsiapa yang tidak bertaubat, maka mereka itulah orang-orang yang aniaya.” (Surah Al-Hujurat (49): 12)

“Dan janganlah kamu memaki apa yang diseru mereka selain Allah, maka mereka memaki Allah karena rasa permusuhan tanpa ilmu. Demikianlah Kami menampakkan indah kepada tiap-tiap umat amalan mereka. Kemudian kepada Tuhan merekalah kembali mereka, maka Dia memberitahukan kepada mereka apa yang dahulu mereka kerjakan.” (Surah Al-An’am, 6: 109)

Walaupun Alquran dengan kuat melarang penyembahan berhala, namun Dia mengajarkan pemeliharaan kehormatan dan perasaan orang yang berbeda kepercayaan. Ayat ini bukan saja menanam rasa hormat terhadap perasaan-perasaan halus orang-orang musyrik sekalipun, tetapi bertujuan juga menciptakan keakraban antara berbagai bangsa. Ayat ini menunjukkan jika kaum Muslimin tidak mengikuti ajaran ini, maka diri mereka sendiri akan bertanggung jawab jika Allah dicaci maki dan selanjutnya mengganggu kerukunan komunal suatu masyarakat. Disamping itu, Islam juga mengajarkan sikap penghormatan kepada kepada pemimpin kaum-kaum lain yang bukan nabi, para pemimpin agama dan non-agama. Sikap melaknat, mengutuk dan mencaci-maki baik terang-terangan maupun tersembunyi perlu dijauhi.

Lafaz zayanna tidak berarti Tuhan sendiri menyebabkan perbuatan-perbuatan jahat manusia nampak indah. Kata itu hanya menunjukkan bahwa Dia telah menciptakan sifat manusia demikian rupa (dan dalam hukum Ilahi ini terletak rahasia kemajuan manusia dalam berbagai bidang) bahwa bila ia gigih dalam melakukan tindakan tertentu, ia memperolah perasaan suka pada tindakannya, dan perbuatannya mulai nampak bagus dalam pandangannya. Sesuai hukum umum Ilahi ini kaum musyrikin, yang sudah terbiasa menyembah berhala, akhirnya mengidap kesukaan akan kemusyrikan dan penyembahan berhala, sehingga kebiasaan itu nampak kepada mereka baik dan bermanfaat.

“Allah tidak melarang kamu untuk berbuat baik terhadap orang-orang yang tiada memerangimu karena agama, dan tidak mengusir kamu dari rumah-rumahmu dan berlaku adil terhadap mereka. Sesungguhnya Allah mencintai orang-orang yang berlaku adil.” (Surah Al-Mumtahanah: 9)

TerPopuler