Jiwa Keagamaan anak pada Usia Remaja -->

Jiwa Keagamaan anak pada Usia Remaja

Jiwa Keagamaan pada Usia Remaja


Kesadaran Beragama pada Masa Remaja

Selaras dengan jiwa remaja yang berada dalam transisi dari masa anak-anak menuju kedewasaan, maka kesadaran beragama pada masa remaja berada dalam keadaan peralihan dari kehidupan beragama anak-anak menuju kemantapan beragama. Di samping keadaan jiwanya yang labil dan mengalami kegoncangan, daya pemikiran abstrak, logik dan kritik mulai berkembang. Emosinya semakin berkembang, motivasinya mulai otonom dan tidak dikendalkan oleh dorongan biologis semata. Keadaan jiwa remaja yang demikian itu nampak pula dalam kehidupa agama yang mudah goyah, timbul kebimbangan, kerisauan dan konflik batin. Di samping itu remaja mulai menemukan pengalaman dan penghayatan ke-Tuhanan yang bersifat individual dan sukar digambarkan kepada orang lain seperti dalam pertobatan. Keimanannya mulai otonom, hubungan dengan Tuhan makin disertai kesadaran dan kegiatannya dalam bermasyarakat maki diwarnai oleh rasa keagamaan. Ciri-ciri kesadaran beragama yang menonjol pada masa remaja ialah:

Pengalaman ke-Tuhanannya makin bersifat individual

Remaja makin mengenal dirinya. Ia menemukan “diri”nya bukan hanya kesadaran badan jasmaniah, tetapi merupakan suatu kehidupan psikologis rohaniah berupa “pribadi”. Remaja bersifat kritis terhadap dirinya sendiri dan segala sesuatu yang menjadi milik pribadinya. Ia menemukan pribadinya terpisah dari pribadi-pribadi lain dan terpisah pula dari alam sekitarnya. Pemikiran, perasaan, keinginan, cita-cita dan kehidupan psikologis rohaniah lainnya adalah milik pribadinya. Penghayatan pemenuan diri pribadi ini dinamakan “individuasi”, yaitu adanya garis pemisah yang tegas antara diri sendiri dan bukan diri sendiri, antara aku dan bukan aku, antara subjek dan dunia sekitar.

Penemuan diri pribadinya sebagai sesuatu yang berdiri sendiri menimbulkan rasa kesepian dan rasa terpisah dari pribadi lainnya. Dalam rasa kesendiriannya, si remaja memerlukan kawan setia atau pribadi yang mampu menampung keluhan-keluhannya, melindungi, membimbing, mendorong dan member petunjuk jalan yang dapat mengembangkan kepribadiannya. Pribadi yang demikian sempurna itu sukar ditemukan dalam kehidupan sehari-hari. Dalam pencariannya itu si remaja mungkin menemukan tokoh ideal, akan tetapi tokoh ideal ini pun tidak sempurna. Akhirnya si remaja mencari ke dunia ideal, dunia filosofis, dan cita-cita. Ia berusaha mencari hakkat, makna dan tujuan hidupnya. Si remaja dapat menemukan berbagai macam pandangan, ide, dan filsafat hidup yang mungkin bertentangan dengan keimanan yang telah menjadi bagian dari pribadinya. Hal ini dapat menimbulkan keimbangan dan konflik batin yang merupakan suatu penderitaan. Bagi remaja yang sensitive penderitaan ini dirasakan lebih akut dan lebih mendalam. Secara formal dapat menambah kedalaman alam perasaan, akan tetapi sekaligus menjadi bertambah labil. Ia sangat menderita dalam keadaan demikian, sehingga pada umumnya suasana jiwa dalam keadaan murung dan risau.

Keadaan labil yang menekan menyebabkan si remaja mencari ketentraman dan pegangan hidup. Penghayatan kesepian, perasaan tida berdaa, perasaan yang tidak dipahami leh orang lain dan penderitaan yang dialaminya, menjadikan si remaja berpaling kepada Tuhan sebagai satu-satunya pegangan hidup, Pelindung, dan Penunjuk jalan dalam kegoncangan psikologis yang dialaminya. Si remaja menemukan semua yang dibutuhkan itu dalam keimanan kepada Tuhan. Bila ia telah beriman kepada Tuhan berarti telah menemukan pegangan hidup dan sumber kesempurnaan yang dicarinya. Remaja yang menemukan Tuhan-nya akan memiliki kepercayaan diri yang kuat dan berani berdiri di atas kaki sendiri menghadapi segala macam tantangan dan kesukaran dari dunia luar. Kalau sikap percaya diri itu berlebhan, bagi remaja yang mempunyai pandangan sempit dapat menimbulkan fanatisme, sikap radikal dan keberanian tanpa perhitungan.


Keimanannya makin menju realitas yang sebenarnya

Terarahnya perhatian ke dunia dalam menimbulkan kecenderungan yang besar untuk merenungkan, mengkritik dan menilai diri sendiri. Introspeksi diri ini dapat menimbulkan kesibukan untuk bertanya-tanya pada orang lain tentang dirinya, tentang keimanan dan kehidupan agamanya. Si remaja mulai mengerti bahwa kehidupan ini tidak hanya seperti yang dijumpainya secara konkret, tetapi mempunyai makna lebih dalam.

Gambaran tentang dunia pada masa remaja menjadi lebih luas dan lebih kaya, karena tidak saja meliputi realitas yang fisik, tetapi mulai melebar ke dunia dalam yang psikis dan rohaniah. Ia mulai mengerti bahwa kehidupan rohaniah itu mempunyai sifat dan hukum tersendiri dan merupakan satu dunia yang tidak dapat disamakan begitu saja dengan dunia fisik yang mempunyai dimensi ruang. Ia mulai memiliki pengertian yang diperlukan untuk menangkap dan mengolah dunia rohania. Ia menghayati dan mengetahui tentang agama dan makna kehidupan beragama. Ia melihat adanya bermacam-macam filsafat dan padangan hidup. Hal ini dapat menimbulkan usaha untuk menganalisis pandangan agamanya serta mengolahnya dalam persfektif yang lebih luas dan kritis, sehingga pandangan hidupnya menjadi lebih otonom. Mungkin pula ia berkesempatan berdialog dan adu argumentasi dengan orang-orang yang memiliki pandangan hidup yang berbeda. Pengalaan baru ini dapat menimbulkan konflik batin, kebimbangan dan penderitaan. Proses penyelesaian konflik batin itu menimbulkan terjadinya rekonstruksi, restrukturalisasi dan reorganisasi konsep lama dari keimanannya.

Peribadatan mulai disertai penghayatan yang tulus

Perpecahan dan kegoncangan kepribadian yang dialami remaja terlihat pula dalam lapangan peribadatan. Ibadahnya secara berganti-ganti ditentukan oleh sikap terhadap dunia dalamnya sendiri. Keseimbangan jasmaniah yang terganggu menyebabkan ketidaktenangan pada diri remaja. Ia sering tidak tahu sendiri, apa kemauannya. Kalau hari ni ia ingin melakukan sesuatu, esoknya ia telah berpaling lagi pada hal lain. Kelabilan ini terlihat dalam lapangan peribadatannya. Kalau hari ini ia ingin shalat dengan khusyu, esoknya ia tida shalat lagi. Si remaja dapat menjadi seorang yang kelihatan paling beragama dengan melakukan ibadah yang intensif, seperti berpuasa berhari-hari, membaca Al-Qur’an berjam-jam atau berdoa setiap malam. Hal ini dimungkinkan dengan adanya dorongan hidup yang meluap-luap dan memungkinkan pengalaman ke-Tuhanan yang mendalam, semacam pertobatan. Tetapi dapat pula si remaja menjadi orang yang menghindari peribadatan. Ia menolak pengikatan norma-norma agama, menolak keharusan-eharusan agama, malahan ingin mencoba melanggar larangan agama.

Pada masa ini remaja mulai mendidik diri sendiri. Ia berusaha mendisiplinkan diri sesuai dengan norma dan ajaran yang dihayatinya sebagai ikatan dari dalam diri pribadinya, karena norma itu telah diakui dan dirasakan sebagai milik dan bagian pribadinya. Walaupu moral dan agama tidaklah identik, tapi keduanya berhubungan erat. Esensi agama adalah pengalaman kehadiran Tuhan, Kekuatan Yang Tertinggi. Dalam usaha mengharmoniskan hidupnya dengan Tuhan, manusia bertingkah laku sesuai dengan kehendak Tuhan dan tingkah laku ini adalah tingkah laku bermoral. Nabi bersabda: “Aku diutus untuk menyempurnakan kemuliaan akhlaq”.

Pada masa remaja dimulai pembentukan dan perkembangan suatu sistem moral pribadi sejalan dengan pertumbuhan pengalaman keagamaan yang individual.melalui kesadaran beragama dan pengalaman ke-Tuhanan, akhirnya remaja akan menemukan Tuhannya, yang berarti menemukan kepribadiannya. Ia pun akan menemukan prinsip dan norma pegangan hidup, hati nurani, serta makna dan tujuan hidupnya. Kesadaran beragamanya menjadi otonom, subjektif dan mandiri, sehingga sikap dan tingkah lakunya merupakan pencerminan keadaan dunia dalamnya, penampilan keimanan dan kepribadian yang mantap.

TerPopuler