teori- teori konflik ibnu khaldun -->

teori- teori konflik ibnu khaldun

Ibn Khaldun

Nama lengkap Ibnu Khladun adalah Abdurrahman Abu zaid Waliuddin Ibn Khaldun. Lahir di Tunisia pada tanggal 1 Ramadhan 732 H (27 Mei 1332 M) dari keluarga yang terkemuka dalam bidang ilmu pengetahuan maupun politik. Sebelum usia 20 tahun Ibn khaldun telah terlibat dalam berbagai intrik Politik, dia menjadi tokoh-tokoh penting dalam setiap pergantian kekuasaan.

Ibnu khaldun hidup dipenghujung abad pertengahan zaman renaissance, yaitu abad ke-14 (empat belas) masehi). Abad ini merupakan periode dimana terjadi perubahan-perubahan historis besar, baik di bidang politik maupun pikiran. Bagi Eropa, periode ini merupakan periode tumbuhnya cikal bakal zaman renaissance. Sementara bagi dunia Islam periode ini merupakan periode kekhalifahan. Tapi kekhalifahan disini mengalami kerusakan akibat perebutan kekuasaan. Akibatnya konflik begitu kerap terjadi.

Sedangkan di Afrika Utara, tanah air ibnu Khaldun, pada abad ke-14 ditandai oleh kemandegan pemikiran dan kekacauan politik. Kekuasaan Muslim Arab telah jatuh sehingga banyak Negara bagian melepaskan diri dari pemerintahan pusat. Pertentangan, intrik, perpecahan, dan kericuhan meluas dalam kehidupan politik, dan setiap orang berusahan meraih kekuasaan.

Berdasarkan pengalaman empirik, Ibnu Khaldun dapat dengan mudah mengetahui perbedaan-perbedaan diantara kelompok-kelompok dalam masyarakat, karena pengalaman langsungnya pada setiap kekhalifahan. Perbedaan tersebut tidak hanya antara masyarakat nomad dan menetap, tetapi juga dalam hubungan antar kelompok-kelompok baik dari suku nomad maupun menetap.

Menurut Ibnu Khaldun watak psikologis manusia merupakan suatu faktor yang penting untuk diperhitungkan. Manusia pada dasarnya mempunyai sifat agresif di dalam dirinya. Potensi ini muncul karena adanya pengaruh animal power dalam dirinya. Karena potensi inilah manusia juga dikenal sebagai rational animal. Potensi lain yang ada didalam diri manusia adalah potensi akan cinta dengan kelompoknya. Ketika manusia hidup bersama-sama dalam suatu kelompok maka fitrah ini mendorong terbentuknya rasa cinta terhadap kelompok (ashobiyah).

Ashobiyah merupakan faktor pendukung yang sangat mempengaruhi terjadinya konflik. Menurut Abdul Raziq al-Makhi, ‘ashobiyah’ dibagi menjadi 5, yaitu :
  1. Ashobiyah kekerabatan dan keturunan, adalah Ashobiyah yang paling kuat.
  2. Ashobiyah pesekutuan, terjadi karena keluarnya seseorang dari garis keturunanya yang semula ke garis keturunan yang lain.
  3. Ashobiyah kesetiaan yang terjadi karena peralihan seseorang dari garis keturunan dan kekerabatan ke keturunan yang lain akibat kondisi-kondisi sosial. Dalam kasus yang demikian, Ashobiyah timbul dari persahabatan dan pergaulan yang tumbuh dari ketergantungan seseorang pada garis keturunan yang baru.
  4. Ashobiyah penggabungan, yaitu Ashobiyah yang terjadi karena larinya seseorang dari keluarga dan kaumnya dan bergabung pada keluarga dan kaum lain.
  5. Ashobiyah perbudakan yang timbul dari hubungan antara para budak dengan tuan-tuan mereka.

Ada tiga aspek yang menyulut munculnya konflik

  1. Konsekuensi logis dari Ashobiyah
  2. Faktor Politik
  3. Faktor ekonomi

Konsekuensi logis ashabiyah

Ashobiyah yang diekspresikan melalui rasa cinta pada Kelompok (Primordialisme) yang muncul di dalam kelompok/etnis, dalam beberapa hal memunculkan rasa primordialisme (bahkan lebih ekstrim adalah chauvinism) menjadi pemicu bagi pertentangan dengan kelompok/etnis yg lain (The Otherness).

Konsekuensi lain dari sifat manusia di atas adalah agresifitas mereka, merupakan aspek laten dari primordialisme yang dipicu oleh aspek eksternal, meliputi kepentingan untuk memenuhi kebutuhan dasar suatu kelompok.

Faktor lainnya sebagaimana dijelaskan oleh Khaldun lebih banyak mengambil konteks masyarakat badawa yang masih memiliki pola hidup sederhana, kebutuhan dasar juga sederhana seperti pemenuhan kebutuhan dasar. Sedang orientasi tertinggi mereka adalah penguasaan terhadap suku lain dan penguasaan terhadap sumber-sumber produksi (sumur/sumber air, pasar, tanah).

Faktor politik

Pada aspek ini, konflik muncul karena motif mempertahankan kelompok, dinasti dan kerajaan/negara. Raja/pemimpin mempertahankan kerajaan/negara karena mereka menginginkan kekuasaan negara yang damai, sehingga mereka dapat membangun negara dengan lancar.

Pada masyarakat yang lebih kompleks, faktor politik juga muncul pada pertentangan antara kepentingan berbagai kelompok (yang –tentunya- telah bersifat heterogen) untuk memimpin tampuk kekuasaan.

Faktor ekonomi

Faktor yang terakhir lebih disebabkan oleh kepentingan penguasaan terhadap sumber-sumebr produksi, dan penguasaan terhadap pasar. Pada konteks Ibn Khaldun, ia tidak mengandaikan adanya penguasaan modal oleh pemodal atau penguasa dan penguasaan tanah oleh landlord (tuan tanah) yang umumnya telah menjadi konteks bagi masyarakat Modern (Abad ke 20).

1. Cinta terhadap (identitas) kelompok
Manusia tidak akan rela jika salah satu anggota kelompoknya terhinakan dan dengan segala daya upaya akan membela dan mengembalikan kehormatan kelompok mereka. Ada perbedaan rasa integrastif ini, jika dimasyarakat primitif (nomad) faktor pengikatnya adalah pertalian darah atau garis keturunan. Sedangkan dalam masyarakat menetap atau modern yang ikatan darahnya sudah tidak murni satu suku lagi maka ikatanya didasarkan atas kepentingan-kepentingan anggota kelompok maupun secara imaginer menjadi kepentingan kelompok.

Manusia secara fitrah memiliki rasa cinta terhadap garis keturunan dan golongannya. Rasa cinta ini menimbulkan pereasaan senasib dan harga diri kelompok, yang akhirnya akan membentuk kesatuan dan persatuan kelompok.

Ketika manusia hidup dalam suatu kelompok, maka akan timbul rasa cinta terhadap kelompok, yang disebut Ibn Khalsun sebagai Ashobiyah. Dalam masyarakat primitif, faktor pengikatya adalah garis keturunan atau ikatan darah. Sedangkan pada masyarakat modern faktor pengikatnya adalah kepentingan-kepentingan anggota kelompok.

2. Agresif
Manuisa memiliki sifat agresif karena dalam diri manusia terdapat animal power yang mendorongnya untuk melakukan kekerasan atau penganiayaan.

Menurut Ibn Khalsun, yang membedakan manusia dengan binatang adalah akal atau pikiran. Sejalan dengan Khaldun, Luther menyatakan bahwa manusia memiliki watak jujur dan kejam, jahatnya watak manusia dan kurangnya kebebasan untuk memilih yang benar merupakan salah satu konsep fundamental dalam kese;uruhan pemikiran Luther. McClleland menyatakan bahwa sebagaimana dengan hewan, manusia juga harus bisa bertahan untuk melangsungkan hidupnya.

Agresifitas manusia itu kemudianmenjasi pemicu munculnya konflik diantara mereka. Lorenz seorang ahli biologi menyatakan bahwa sebagaimana hewan lain, manusia juga memiliki instink agresif yang built-in dalam setruktur genetiknya. freud dalam teori Psikologisnya menyatakan bahwa manusia adalah makhluk rendah, yang dipenuhi dengan kekerasan kebencian, dan agresif. Lebih lanjut kemudian Lorenz mengatakan bahwa bukan partai politik yang berbeda yang menyebabkan agresi, akan tetapi agresilah yang menyebabkan adanya partai politik.

Pandangan di atas ditentang oleh para ilmuawan yang lain, jika pendapat di atas mengatakan bahwa tidakan agresi terjadi karena faktor internal manusia, maka ilmuan yang tidak setuju dengan pendapat diatas mengatakan bahwa agresi itu tiak timbul dari dalam seseorang, melainkan dari faktor external. Bebeapa filsuf abad pencerahan berada dalam kelompok ini. Juga yang termasuk dalam kelompo ini adalah teori yang mengatakan bahwa konflik muncul karena rasa frustasi, yakni ketika seseorang gagal mendapatkan apa yang diinginkannya. Maka jika tidak ada rasa frustasi, maka tidak ada pula konflik.

Fromm, merupakan salah satu tokohnya. Ia menyatakan bahwa tindakan agresif-destruktif tersebut muncul karena adanya kondisi eksternal yang ikut menstimulir, seperti konflik politik, kemiskinan, dan sebagainya. Berdasarkan teori ini, distorsi-distorsi menimbulkan kekecewaan masyarakat yang dari waktu ke waktu terakumulasi secara eskalatif. Selain itu, Fromm juga melihat narsisme sebagai salah satu sumber utama agresifitas manusia. Suatu kelompok atau bangsa yang narsistik akan bereaksi dengan penuh kemarahan dan bersikap agresif yang sedemikian besar, ketika ada orang-orang yang melecehkan simbol narsis mereka.

TerPopuler