Tasawuf dan Konsep Ma’rifat al-Ghazali -->

Tasawuf dan Konsep Ma’rifat al-Ghazali

Al-Ghazali dan Tasawuf

Dalam bidang tasawuf Al-Ghazali berusaha meletakkan kembali posisi tasawuf ke tempat yang benar menurut syari’at Islam. Al-Ghazali membersihkan ajaran tasawuf dari pengaruh faham-faham asing yang masuk mengotori kemurnian ajaran Islam. Pada saat itu banyak yang beranggapan bahwa seorang ahli tasawuf yang tidak beri’tikad dengan faham di atas, maka sebenarnya tidak pantas diberi gelar sebagai ahli tasawuf Islam. Sehingga sebagian orientalis Barat terpengaruh dengan pendapat ini. Contoh-nya Nicholson, ia berpendapat, “Al-Ghazali tidak termasuk dalam golongan ahli tasawuf Islam, karena ia tidak beri’tikad dengan wihdat al-wujud”.

Dalam usaha pembersihannya tersebut, Al-Ghazali mengawali kitabnya Ihya ‘Ulumiddin dengan pembahasan faraidh al-Diniyah, kemudian diikuti dengan pembahasan Nawafil dan selanjutnya baru diikuti dengan cara-cara yang sepatutnya diikuti untuk sampai ke martabat yang sempurna. Ketertarikan Al-Ghazali pada tasawuf tidak saja telah membuatnya memperoleh pencerahan dan ketenangan hati. Lebih jauh lagi, justru dia memiliki peran yang cukup signifikan dalam peta perkembangan tasawuf selanjutnya. Jika pada awal pembentukannya tasawuf berupaya menenggelamkan diri pada Tuhan dimeriahkan dengan tokoh-tokohnya seperti Hasan Basri (khauf), Rabi`ah Al-Adawiyah (hub al-ilah), Abu Yazid Al-Busthami (fana`), Al-Hallaj (hulul), dan kemudian berkembang dengan munculnya tasawuf falsafi dengan tokoh-tokohnya Ibn Arabi (wahdat al-wujud), Ibn Sabi`in (ittihad), dan Ibn Faridl (cinta, fana’, dan wahdat at-shuhud) yang mana menitikberatkan pada hakikat serta terkesan mengenyampingkan syariah, kehadiran Al-Ghazali justru telah memberikan warna lain; dia telah mampu melakukan konsolidasi dalam memadukan ilmu kalam, fiqih,dan tasawuf yang sebelumnya terjadi ketegangan.

Peran terpenting yang di pegang al-Ghazali terjadi pada abad ke lima hijriyah. Pada saat itu terjadi perubahan yang jauh oleh para sufi. Banyak dari mereka yang tenggelam dalam dunia kesufian dan meninggalkan syariat.

Kampanye al-Ghazali dalam mengembalikan tasawuf pada jalan aslinya yaitu tidak menyimpang dari nash dan sunah Rasul telah membawa perubahan besar pada zamannya. Ia berpendapat bahwa seorang yang ingin terjun dalam dunia kesufian harus terlebih dahulu menguasai ilmu syariat. Karena praktek-praktek kesufian yang bertentangan dengan syariat islam tidak dapat dibenarkan. Menurut al-Ghazali tidak seharusnya antara syariat dan tasawuf terjadi pertentangan karena kedua ilmu ini saling melengkapi.

Dalam kitabnya Ihya’ U’lum al-Din al-Ghazali menjelaskan dengan detail hubungan antara syariat dengan tasawuf. Ia memberikan contoh praktek syariat yang kosong akan nilai tasawuf (hakikat) maka praktek itu tidak akan diterima oleh Allah dan menjadi sia-sia. Sebaliknya praktek tasawuf yang meninggalkan aturan syariat islam maka praktek itu akan mengarah pada bid’ah. Ibarat syariat adalah tubuh maka nilai-nila tasawuf adalah jiwanya sehingga antara keduanya tidak dapat dipisahkan.

Konsep Ma’rifat al-Ghazali

Konsep ma’rifat merupakan bagian dari finalitas maqomat seorang sufi. Setelah seorang sufi melewati berbagai maqom mulai dari taubah, wira’i, zuhud, faqru, sabar, tawakal, dan ridho maka sampailah ia pada satu tsamroh atau hasil dari perjalanan kesufian tersebut. Tsamroh itulah yang dalam kitab Ihya’ U’lum al-Din di namakan dengan mahabatullah.

Keterikatan antara ‘mahabbah’ dan makrifat dalam pemikiran sufisme amat erat seolah sepasang kembar yang tak dapat dipisahkan baik subtansi maupun sifat-sifatnya. Dari makrifat lahir mahabbah, cinta. Tiada pengenalan yang tidak melahirkan cinta. Ini berlaku dalam setiap taraf spritual.

Menurut al-Ghazali proses mengenal Allah tidak dapat dilakukan hanya dengan menggunakn akal sebagaimana yang diyakini oleh para kaum filsafat. Al-Ghazali mengatakan bahwa pengenalan Allah dengan dhauq atau perantara intuitif (batini) akan lebih dapat memberikan keyakinan dan ketenangan spiritual dari pada hanya sebatas bersandar dengan akal.

Proses ma’rifat (pengenalan) seseorang kepada tuhannya untuk mencapai mahabbah berbeda-beda. Al-Ghazali membagi kelompok orang-orang yang sampai pada tingkat ma’rifat dan mahabbah kepada dua tingkatan yaitu pertama tingkatan seseorang yang kuat dalam ma’rifat. Dia adalah seseorang yang menjadikan Tuhan sebagai awal ma’rifatnya dan kemudian dengan ma’rifat itu ia mengenal segala sesuatu yang selain Tuhan. Kedua adalah tingkatan seseorang yang lemah ma’rifatnya. Yaitu seseorang yang bermula dengan mengenal ciptaan Tuhan kemudian dengan ma’rifatnya ia mengenal Tuhan.

Untuk sampai pada mahabbah dan ma’rifat yang sempurna kepada Tuhan tentunya seorang sufi terlebih dahulu harus melewati berbagi maqom dan melewati batas fana’. Fana’ merupakan satu istilah yang menggambarkan seorang sufi yang telah melakukan proses takhalli dan tahalli. Seorang yang mencintai Tuhan akan berusaha bertakhalli atau membersihkan diri dan jiwa dari segala macam sifat yang dibenci oleh Tuhan. Begitu juga sebaliknya setelah seorang sufi melakukan tahkalli (pembersihan) maka ia akan mengisi hidupnya dengan sifat-sifat yang dicintai oleh Tuhan atau bertahalli.

Finalitas dari sebuah mahabbah dan ma’rifat yang sempurna adalah terbukanya hijab dan terjadinya tajalli atau penampakan Tuhan pada makhluknya. Seorang yang telah sampai pada maqom ini akan merasa hidupnya terpenuhi oleh cahaya Tuhan. Bahkan terkadang saat berada dalam kondisi sakran (mabuk) seseorang akan mengeluarkan ucapan-ucapan teopatis atau dalam istilah tasawuf syatotoh. Yang menarik dari konsep ma’rifat al-Ghazali adalah penolakannya pada konsep-konsep tokoh sufi sebelum al-Ghazali seperti Abu Yazid dengan konsep ittihad, al-Hallaj dengan konsep hulul, ibn Arabi dengan konsep wahdah al-wujud.

Menurut al-Ghazali paham tersebut berkecenderungan ke arah ketuhanan yang bercorak panteistis-imanenis yang menggambarkan Tuhan sebagai Dzat yang imanen dalam diri manusia. Al-Ghazali melihat itu semua sebagai paham yang akan merusak konsep tauhid yang menjadi ciri khas dogma teologi dalam Islam.

Dalam bukunya, al-Munqidz, ia melihat rumusan mengenai kedua konsepsi ini sebagai khayalan semata. Katanya, “… sampailah ia ke derajat yang begitu dekat dengan-Nya sehingga ada orang yang mengiranya sebagai hulul, ittihad atau wushul. Semua persepsi itu adalah salah belaka. … barang siapa mengalaminya, hendaklah hanya mengatakan bahwa itu suatu hal yang tak dapat diterangkan, indah, baik, utama, dan jangan lagi bertanya.”

Dengan batasan ini, bisa dilihat bahwa al-Ghazali mempertahankan keyakinan mengenai Tuhan sebagai Dzat yang transenden. Artinya Tuhan adalah Dzat yang mengatasi dan berbeda dengan manusia : Ada perbedaan mendasar antara Tuhan dan makhluk (manusia) secara jelas dalam pandangan al-Ghazali.

Akan tetapi penolakan al-Ghazali terhadap hulul dan ittihad di atas tidak otomatis merupakan penolakannya pada pengalaman orang-orang yang telah mencapai maqom ma’rifat. Bagi al-Ghazali, pengalaman itu benar adanya. Kaum `arifun, setelah pendakiannya ke langit hakekat, sepakat bahwa mereka tak lagi melihat dalam wujud ini kecuali Tuhan.

Adapun ucapan al-Hallaj ana al-Haq, dan ucapan-ucapan tokoh sufi lainnya yang dianggap aneh dan menyesatkan sebenarnya hanyalah merupakan kata-kata teopatis atau syafahat. Ia merupakan ucapan yang terlepas di bawah kontrol kesadaran seseorang saat ia berada dalam keadaan mabuk (sakran) akan cinta Tuhan. Ucapan-ucapan itulah yang selanjutnya di sebut sebagai ajaran-ajaran ittihad, hulul dan wihdatul wujud.

Menurut dia, ilmu sejati atau ma’rifat sebenarnya adalah mengenal Tuhan. Mengenal Hadrat Rububiyah. Wujud Tuhan meliputi segala Wujud. Tidak ada yang wujud, melainkan Tuhan dan perbuatan Tuhan. Tuhan dan perbuatannya adalah dua, bukan satu. Itulah koreksi al-Ghazali atas pendirian al-Hallaj dan ulama sufi lainnya. Wujudnya ialah kesatuan semesta (wihdatul wujud). Alam keseluruhan ini adalah makhluk dan ayat (bukti) tentang kekuasaan dan kebesaran-Nya. Sedangkan penglihatan akan Tuhan melalui alam dan makhlukNya adalah sebatas tajalli atau penampakan akan keberadaan Tuhan bukan berarti Tuhan menyatu dengan alam apalagi mengalami perstuan ke dalam tubuh manusia.

TerPopuler