perkembangan jiwa keagamaan pada anak-anak -->

perkembangan jiwa keagamaan pada anak-anak


Perkembangan Jiwa Keberagamaan pada Anak

Kesadaran Beragama pada Anak, Pada waktu lahir, anak belum beragama. Ia baru memiliki potensi atau fitrah untuk berkembang menjadi manusia beragama. Bayi belum mempunyai kesadaran beragama, tetapi telah memiliki potensi kejiwaan dan dasar-dasar kehidupan ber-Tuhan. Isi, warna, dan corak perkembangan kesadaran beragama anak sangat dipengaruhi oleh keimanan, sikap dan tingkah laku keagamaan orang tuanya. Keadaan jiwa orang tua sudah dipengaruhi terhadap perkembangan jiwa anak sejak janin di dalam kandungan.

Selaras dengan perkembangan kepribadian, kesadaran beragama seseorang juga menunjukkan adanya kontinuitas atau berlanjut dan tidak terputus-putus. Walaupun perkembangan kesadaran beragama itu berlanjut, namun setiap fase perkembangan menunjukkan adanya cirri-ciri tertentu. Ciri-ciri umum kesadaran beragama pada masa anak-anak ialah:

a. Pengalaman ketuhanan yang lebih bersifat afektif, emosional dan egosentris
Pengalaman ke-Tuhanan dipelajari oleh anak melalui hubungan emosional secara otomatis dengan orang tuanya. Hubungan emosional yang diwarnai kasih saying dan kemesraan antara orang tua dan anak menimbulkan proses identifikasi, yaitu proses penghayatan dan peniruan secara tidak sepenuhnya disadari oleh si anak terhadap sikap dan perilaku orang tua. Orang tua merupakan tokoh idola bagi si anak, sehingga apapun yang diperbuat oleh orang tua akan diikuti oleh anaknya. Si anak menghayati Tuhan lebih sebagai pemuas keinginan dan hayalan yang bersifat egosentris. Pusat segala sesuatu bagi si anak adalah dirinya sendiri, kepentingan, keinginan, dan kebutuhan-kebutuhan dorongan biologisnya. Si anak kalau disuruh berdoa ia akan memohon kepada Tuhan untuk diberi mainan, permen, kue, buah-buahan atau alat pemuas kebutuhan afektif. Usahakanlah agar si anak dapat menghayati dan merasakan bahwa Tuhan itu adalah Pemberi mainan, kue, makanan, dan kenikmatan lain. Tuhan adalah Pengasih, Penyayang, Pelindung, Peberi rasa aman, tentram dan Pemuas kebutuhan alam perasaan lainnya. Untuk itu orang tua harus bersikap sebagai pengasih, penyayang, pelindung dan pemuas kebutuhan emosional anak.

b. Keimanannya bersifat magis dan anthropomorphis yang berkembang menuju ke fase realistik
Keimanan si anak kepada Tuhan belum merupakan suatu keyakinan sebagai hasil pemikiran yang objektif, akan tetapi lebih merupakan bagian dari kehidupan alam perasaan yang berhubungan erat dengan kebutuhan jiwanya akan kasih saying, rasa aman, dan kenikmatan jasmaniah. Walaupun sekitar umur 8 tahun sikap anak makin tertuju ke dunia luar, namun hubngan anak dengan Tuhan masih lebih merupaka hubungan emosional antara kebutuhan pribadinya dengan sesuatu yang gaib dan dibayangkan secara konkret. Tuhan dihayati secara konkret sebagai Pelindung, Pemberi kasih saying dan Pemberi kekuatan gaib. Kadang-kadang si anak mempercayai kemampuan orang yang dikeramatkan untuk mendapatkan benda magis dari Tuhan yang dapat digunakan sebagai penangkal bahaya, pelindung diri dan pekasih. Ia ingin memiliki semacam tongkat Nabi Musa atau cincin Nabi Sulaman untuk digunakan sebagai alat bagi pemenuhan pemuasan kebutuhan dan keinginannya yang bersifat egosentris, konkret, dan segera. Ia menginginkan kekuatan dan keistimewaan itu tanpa usaha yang ulet dan tabah. Ajaran orang tua dan gurunya tentang keimanan belum betul-betul dihayati dan belum merupakan bagian pusat pemikirannya. Pemerimaan akan adanya Tuhan dapat menenangkan jiwanya dan menimbulkan kesiapan untuk menghadapi tantangan dari lingkungan.

Dengan bertambahnya umur, pemikiran yang bersifat tradisional konkret beralih pada nilai wujud atau eksistensi hasil pengamatan. Pemikiran tentang Tuhan semakin menuju kepada kebenaran yang diajarkan oleh para pendidiknya. Pengamatan kepada Tuhan yang tadinya bersifat konkret emosional berubah menuju tanggapan kepada Tuhan sebagai Pencipta dan Pemelihara. Hubungan dengan Tuhan sedikit demi sedikit mulai disertai pemikiran dan logika. Tuhan bukan hanya Pencipta dirinya, tetapi Tuhan adalah juga Pencipta alam semesta yang melimpahkan rahmat-Nya bagi seluruh makhluk. Rahmat Tuhan yang diberikan kepadanya hanyalah merupakan sebagian kecil saja dari kasih saying Tuhan ang tak terbatas. Dengan kepercayaan akan adanya rahmat Tuhan, si anak mampu mengadaan hubungan yang harmonis dengan dunia luar. Ia benar-benar beriman bahwa Tuhan yang menciptakan alam mulai menarik perhatiannya.

Kepercayaan pada hantu, azimat, benda keramat yang memiliki kekuasaan gab adalah sejalan dengan fungsi kognitifnya yang mempersepsikan segala sesuatu sebagai bernyawa dan dinamis. Pada orang primitif dikenal adanya animisme dan dinamisme yang mempercayai bahwa batu, gunung, pepohonan, topan, petir, patung, dan tempat angker mempunyai kekuatan spiritual dan bernyawa. Mereka memberikan sesajen agar jangan dimarahi dan mudah untuk meminta pertolongan. Pengamatan yang bersifat physiognomis dengan menganggap segala sesuatu mempunyai kehidupan spiritual dilanjutkan dengan personifikasi yaitu memanusiakan yang bukan manusia. Kecenderungan personifikasi itu dapat membawa si anak pada tanggapan yang bersifat anthropomorphis terhadap Tuhan. Tuhan diberi cirri-ciri dan sifat-sifat manusia. Tuhan dianggap memiliki istri, beranak, bertangan, bertelinga, dan bermata sebagaimana manusia memiliki sifat dan cirri-ciri tersebut. Adanya peragaa konkret tentang Tuhan sejalan dengan pemikiran yang belum mampu berfikir abstrak. Kalau dikatakan bahwa Tuhan itu Maha Melihat, si anak membayangkan betapa besarnya mata Tuhan. Baru setelah anak mampu berpikir secara abstrak dan logika, ia akan memahami bahwa Tuhan itu tidak dapat ditangkap dengan pancaindra dan tidak mungkin dibayangkan oleh hayalan pikiran.

c. Peribadatan anak masih merupakan tiruan dan kebiasaan yang kurang dihayati
Pada umur 6-12 tahun perhatian anak yang tadinya lebih tertuju kepada dirinya sendiri dan bersifat egosentris mulai tertuju pada dunia luar terutama perilaku orang-orang di sekitarnya. Ia berusaha untuk menjadi makhluk social dan mematuhi aturan-aturan, tata krama, sopan santun, dan tata cara bertingkah laku yang sesuai dengan lingkungan rumah dan sekolahnya.

Pada usia 12 tahun pertama merupakan tahun-tahun sosialisasi, disiplin, dan tumbuhnya kesadara moral. Dengan adanya kesadaran bermoral dan disiplin, perhatian anak pada kehidupan keagamaan semakin bertambah kuat. Sorga, Neraka dan kehidupan akhirat tidak lagi hanya merupakan hayalan, akan tetapi merupakan keharusan moral yang dibutuhkan guna mengekang diri dari perbuatan salah dan mendorong untuk mengerjakan kebaikan dan kebenaran. Tuhan bukan hanya sebagai Pemberi kepuasan emosional, tetapi juga Hakim Yang Maha Adil sebagai keharusan dalam kehidupan bermoral. Tuhan akan selalu mengawasi dan mengetahui segala sikap dan perilakunya serta akan memberikan pertolonga dan ganjaran apabila ia berbuat kebaikan. Kegiatan ibadah separti shalat, puasa, dan berdoa yang pada mulanya hanya meniru tingkah laku orang tua atau karena diperintahkan kepadanya, lambat laun semakin dihayati dan dilaksanakan dengan kesungguhan. Ia betul-betul mencari keridhaan Allah dan memohon pertolongan-Nya dalam menghadapi berbagai kesukaran yang timbul dari dalam dirinya sendiri atau dari lingkungan. Peningkata rasa ke-Tuhanan dalam hubungan emosional yang diperkuat dengan ikatan moral akan dapat menumbuhkan penilaian, bahwa kebaikan tertinggi adalah mengikuti perintah Allah dan meninggalkan larangan-Nya. Sedangkan kejahatan terbesar adalah durhaka kepada Allah dan mendustai agama. Akhirnya si anak berusaha menyesuaikan dirinya dengan ajaran dan kehendak Tuhan.

Teori-teori Timbulnya Jiwa Keagamaan pada Anak

Dalam proses diamana seorang anak mulai menganal agama,tentunya hal itu tidak berlangsung begitu saja,terdapat beberapa teori di mana rasa keberagamaan si anak mulai muncul berikut adalah teori-teori timbulnya jiwa keagamaan pada anak:
• Rasaketergantungan
• Instink keagamaan
Teori ketergantungan ini di kemukan oleh Thomas melalui teori four wishes. Menurutnya manusia di lahirkan ke duania ini memilki empat keinginaan yaitu:
a. Keinginanuntukberlindung(scurty).
b. Keinginanakanpengalamanbaru(newexperience).
c. Keinginanmendapattanggapan(response).
d. Keinginanuntukdikenal(recognition).

Dari keempat teori ini di sepakati bahwa empat faktor di tas adalah saling terikat dengan lingkungan di mana lingkungan adalah menjadi agen pembentuk kepribadian seseorang kelak. Teori yang kedua yaitu isntink keagamaan,Hal ini di kemukakan wodworth,Menurutnya belum terlihatnya tindak keagamaan pada anak di karenakan beberapa fungsi kejiwaan yang belum berfungsi.

Namun teori ini mendapat penolakan dari sekelompok orang. Menilik dari pendapat imam Al Ghozali bahwasanya manusia sejak masih dalam alam ruh telah membawa fitrah keagamaan, fitrah itu akan berjalan melalui proses bimbingan dan latihan setelah berada pada tahap kematangan.

Perkembangan Jiwa Keagamaan pada Anak
a. Kanak-kanak pada tahun-tahun pertama (0 – 6)
Pendidikan agama, dalam arti pembinaan kepribadian, sebenarnya telah mulai sejak si anak lahir, bahkan sejak dalam kandungan. Keadaan orang tua, ketika si anak dalam kandungan, mempengaruhi jiwa anak yang akan lahir nanti, hal ini banyak terbukti dalam perawatan jiwa. Memang diakui bahwa penelitian terhadap mental janin yang dalam kandungan itu tidak mudah dilaksanakan.

Pendidikan agama dalam keluarga, sebelum si anak mask sekolah, terjadi secara tidak formil. Pendidikan agama pada umur ini melalui semua pengalaman anak, baik melalui ucapan yang didengarnya, tindakan, perbuatan dan sikap yang dilihatnya, maupun perlakuan yang dirasakannya. Oleh karena itu, keadaan orang tua dalam kehidupan mereka sehari-hari mempunyai pengaruh yang sangat besar dalam pembinaan kepribadian anak. Karena pada tahun-tahun pertama dari pertumbuhan itu, si anak belum mampu berpikir dan perbendaharaan kata-kata yang mereka kuasai masih sangat terbatas, serta mereka belum mampu memahami kata-kata yang abstrak. Akan tetapi mereka dapat merasakan sikap, tindakan dan perasaan orang tua. Mereka merasa disayangi atau dibenci oleh orang tua mereka, mereka senang kalau orang tua mereka rukun dan sebaliknya mereka akan sedih, kalau orang tua mereka cekcok. Gerak-gerik orang tua, menjadi perhatian mereka.

Tindakan dan perlakuan orang tua terhadap dirinya dan saudara-saudaranya merupakan unsur-unsur yang akan menjadi bagian pribadinya pula dikemudian hari. Tindakan dan perlakuan orang tua yang sesuai dengan ajaran agama, akan menimbulkan pada si anak pengalaman-pengalaman hidup yang sesuai dengan agama, yang kemudian akan bertumbuh menjadi unsure-unsur, yang merupakan bagian dalam pribadinya nanti. Sikap orang tua terhadap agama, akan memantul kepada si anak. Jika orang tua menghormati ketentuan-ketentuan agama, maka akan bertumbuhlah pada anak sikap menghargai agama, demikian pula sebaliknya, jika sikap orang tua terhadap agama itu negative, acuh tak acuh, atau meremehkan, maka itu pulalah sikap yang akan bertumbuh pada anak.

Di samping itu semua, perlu pula kita ingat bahwa hubungan anak dan orang tua, mempunyai pengaruh yang besar pula terhadap pertumbhan jiwa agama pada anak. Andaikata hubungan anak dengan orang tuanya tidak baik, misalnya ia merasa tidak disayang dan diperlakukan kejam, keras atau tidak adil, maka besar kemungkinan sikap si anak terhadap Tuhan akan memantulkan sikapnya terhadap orang tuanya, mungkin ia akan menolak kepercayaan terhadap Tuhan, atau menjadi acuh tak acuh, terhadap ketentuan agama. Sebabnya adalah, karena sumber pembinaan rohani anak adalah orang tuanya sendiri.

b. Anak-anak pada umur sekolah (6 – 12)
Ketika si anak masuk sekolah Dasar, dalam jiwanya ia telah membawa bekal rasa agama yang terdapat dalam kepribadiannya, dari orang tuanya dan dari gurunya di Taman kanak-kanak. Andai kata didikan agama yang diterimanya dari orang tuannya di rumah sejalan dan serasi dengan apa yang diterimanya dari gurunya di Taman kanak-kanak, maka ia masuk ke sekolah Dasar telah membawa dasar agama yang bulat (serasi), akan tetapi, jika berlainan, maka yang dibawanya adalah keragu-raguan, ia belum dapat memikirkan nama yang benar, apakah agama orang tuanya atau agama gurunya, yang ia rasakan adalah adanya perbedaan, kedua-duanya masuk ke dalam pembinaan pribadinya. Demikian pula sikap orang tua yang acuh tak acuh atau negative terhadap agama, akan mempunyai akibat yang seperti itu pula dalam pribadi anak.

Perlu kita ingat bahwa kepercayaan anak pada Tuhan pada umur permulaan masa sekolah itu bukanlah berupa keyakinan hasil pemikiran, akan tetapi merupakan sikap emosi yang membutuhkan pelindung. Hubungannya dengan Tuhan bersifat individual dan emosionil. Oleh karena itu tonjolkanlah sikap Pengasih dan Penyayang Tuhan kepada si anak dan jangan dulu dibicarakan sifat-sifat Tuhan yang Menghukum, Membalas dendam azab neraka dan sebagainya.

Sembahyang dan berdoa yang menarik bagi anak pada umur ini adalah yang mengandung gerak dan tidak asing baginya. Do’a-nya bersifat pribadi, misalnya memohon sesuatu yang diingininya, minta ampun atas kesalahannya dan minta tolong atas hal-hal yang tidak mampu ia mencapainya. Si anak akan gembira untuk ikut aktif dalam ucapan dan kegiatan agama yang menarik baginya, misalnya sembahyang berjemaah di mesjid, atau mushalla, ikut membantu dalam pengabdian sosial agama seperti membagi zakat fitrah dan daging korban. Juga menarik bagi mereka, ikut serta dalam sandiwara agama dan nyanyian keagamaan.

Hubungan sosial anak semakin erat pada masa sekolah ini, maka perhatiannya terhadap agama juga, banyak dipengaruhi oleh teman-temannya, kalau teman-temannya pergi mengaji, mereka akan ikut mengaji, temannya ke mesjid mereka akan senang pula ke mesjid. Oleh karena itu perbanyaklah kegiatan-kegiatan keagamaan yang dapat dilakukan bersama oleh anak-anak, sehingga semua anak dapat ikut aktif.

TerPopuler