konflik agama dan terorisme -->

konflik agama dan terorisme


KONFLIK AGAMA & TERORISME

1. Pengertian Konflik Agama

a. Pengertian Konflik
Konflik berasal dari kata kerja Latin configere yang berarti saling memukul. Secara sosiologis, konflik diartikan sebagai suatu proses sosial antara dua orang atau lebih (bisa juga kelompok) dimana salah satu pihak berusaha menyingkirkan pihak lain dengan menghancurkannya atau membuatnya tidak berdaya.

Terjadinya konflik tidak terlepas dari adanya dalang atau provokatornya tidak perna di usut tuntas. Dari berbagai kerusuhan, teror, fitnah dan pembunuhan memang sedang melanda bangsa kita sehingga untuk menghadapi bangsa tersebut, maka semua pihak hendaknya senantiasa waspada. Sebab, berbagai cara akan dilakukan oleh provokator untuk mengadu domba antarumat beragama, antar suku atau antar etnis,sehingga persatuandan kesatuan menjadi rapuh.

b. Pengertian Agama
Dalam kamus besar Bahasa Indonesia, kata ‘agama’ berarti suatu sistem, prinsip kepercayaan terhadap Tuhan (Dewa dsb) dengan ajaran kebaktian dan kewajiban-kewajiban yang bertalian dengan kepercayaan itu. Kata ‘agama’ dapat juga didefinisikan sebagai perangkat nilai-nilai atau norma-norma ajaran moral spiritual kerohanian yang mendasari dan membimbing hidup dan kehidupan manusia, baik sebagai individu maupun sebagai warga masyarakat.

Jadi, konflik agama dapat diartikan sebagai berikut :
Konflik agama adalah suatu pertikaian antar agama baik antar sesama agama itu sendiri, maupun antar agama satu dengan agama lainnya.

2. Contoh Konflik Agama
Contoh-contoh konflik agama
a. Tahun 1996, 5 gereja dibakar oleh 10,000 massa di Situbondo karena adanya konflik yang disebabkan oleh kesalahpahaman.

b. Perbedaan pendapat antar kelompok – kelompok Islam seperti FPI (Front Pembela Islam) dan Muhammadiyah.

c. Perbedaan penetapan tanggal hari Idul Fitri, karena perbedaan cara pandang masing – masing umat.

3. Penyebab Konflik Agama
Sepanjang sejarah agama dapat memberi sumbangsih positif bagi masyarakat dengan memupuk persaudaraan dan semangat kerjasama antar anggota masyarakat. Namun sisi yang lain, agama juga dapat sebagai pemicu konflik antar masyarakat beragama. Ini adalah sisi negatif dari agama dalam mempengaruhi masyarakat Dan hal ini telah terjadi di beberapa tempat di Indonesia.

Selama ini konflik yang terjadi antara umat beragama, bisa jadi di sebabkan oleh faktor ketidakadilan. Apalagi antar umat beragama kurang intensmengadakan dialog agama, perlakuan tak adil demikiantambah membuka peluang terjadinya konflik. Sedikit saja ada gesekan, bisa membuat penganutnya terkena emosi.dan karena alas an fanatisme, hal itu dapat membuat tindakan mereka sulit dikontrol.

Pada bagian ini akan diuraikan sebab terjadinya konflik antar masyarakat beragama khususnya yang terjadi di Indonesia dalam perspektif sosiologi agama.

Hendropuspito mengemukakan bahwa paling tidak ada empat hal pokok sebagai sumber konflik sosial yang bersumber dari agama.

Dengan menggunakan kerangka teori Hendropuspito, penulis ingin menyoroti konflik antar kelompok masyarakat Islam - Kristen di Indonesia, dibagi dalam empat hal, yaitu:

A. Perbedaan Doktrin dan Sikap Mental
Semua pihak umat beragama yang sedang terlibat dalam bentrokan masing-masing kepada agamanya sendiri dan agama sendiri selalu dijadikan kelompok patokan, sedangkan lawan dinilai menurut patokan itu.

Agama Islam dan Kristen di Indonesia, merupakan agama samawi (revealed religion), yang meyakini terbentuk dari wahyu Ilahi Karena itu memiliki rasa superior, sebagai agama yang berasal dari Tuhan. Di beberapa tempat terjadinya kerusuhan kelompok masyarakat Islam dari aliran sunni atau santri. Bagi golongan sunni, memandang Islam dalam keterkaitan dengan keanggotaan dalam umat, dengan demikian Islam adalah juga hukum dan politik di samping agama. Islam sebagai hubungan pribadi lebih dalam artian pemberlakuan hukum dan oleh sebab itu hubungan pribadi itu tidak boleh mengurangi solidaritas umat, sebagai masyarakat terbaik di hadapan Allah. Dan mereka masih berpikir tentang pembentukan negara dan masyarakat Islam di Indonesia. Kelompok ini begitu agresif, kurang toleran dan terkadang fanatik dan malah menganut garis keras.

Karena itu, faktor perbedaan doktrin dan sikap mental dan kelompok masyarakat Islam dan Kristen punya andil sebagai pemicu konflik.

B. Perbedaan Suku dan Ras Pemeluk Agama
Tidak dapat dipungkiri bahwa perbedaan ras dan agama memperlebar jurang permusuhan antar bangsa. Perbedaan suku dan ras ditambah dengan perbedaan agama menjadi penyebab lebih kuat untuk menimbulkan perpecahan antar kelompok dalam masyarakat.

Dialog antar agama itu hanya bisa dimulai bila ada keterbukaan sebuah agama terhadap agama yang lainnya, persoalannya munking baru muncul bila kemudian mulai dipersoalkan secara terperinci apa yang dimaksud keterbukaan itu, segi-segi mana dari suatu agama yang memungkinkan dirinya terbuka terhadap agama lainpada tingkat mana keterbukaan itudapat dilaksanakan. Lalu, dalam modus bagaimana keterbukaan itu dapat dilakukan.

Contoh di wilayah Indonesia, antara Suku Aceh dan Suku Batak di Sumatera Utara. Suku Aceh yang beragama Islam dan Suku Batak yang beragama Kristen; kedua suku itu hampir selalu hidup dalam ketegangan, bahkan dalam konflik fisik (sering terjadi), yang merugikan ketentraman dan keamanan.

Di beberapa tempat yang terjadi kerusuhan seperti: Situbondo, Tasikmalaya, dan Rengasdengklok, massa yang mengamuk adalah penduduk setempat dari Suku Madura di Jawa Timur, dan Suku Sunda di Jawa Barat. Sedangkan yang menjadi korban keganasan massa adalah kelompok pendatang yang umumnya dari Suku non Jawa dan dari Suku Tionghoa. Jadi, nampaknya perbedaan suku dan ras disertai perbedaan agama ikut memicu terjadinya konflik.

C. Perbedaan Tingkat Kebudayaan
Agama sebagai bagian dari budaya bangsa manusia. Kenyataan membuktikan perbedaan budaya berbagai bangsa di dunia tidak sama. Secara sederhana dapat dibedakan dua kategori budaya dalam masyarakat, yakni budaya tradisional dan budaya modern.

Tempat-tempat terjadinya konflik antar kelompok masyarakat agama Islam - Kristen beberapa waktu yang lalu, nampak perbedaan antara dua kelompok yang konflik itu. Kelompok masyarakat setempat memiliki budaya yang sederhana atau tradisional: sedangkan kaum pendatang memiliki budaya yang lebih maju atau modern. Karena itu bentuk rumah gereja lebih berwajah budaya Barat yang mewah.

Perbedaan budaya dalam kelompok masyarakat yang berbeda agama di suatu tempat atau daerah ternyata sebagai faktor pendorong yang ikut mempengaruhi terciptanya konflik antar kelompok agama di Indonesia.

D. Masalah Mayoritas da Minoritas Golongan Agama
Fenomena konflik sosial mempunyai aneka penyebab. Tetapi dalam masyarakat agama pluralitas penyebab terdekat adalah masalah mayoritas dan minoritas golongan agama.

Konflik internal umat beragama terjadi karna adanya pemahaman yang menganggap aliranya sendiri yang benar dan menyalahkan yang lain, pemahaman yang diselewengkan atau pemahaman yang bebas semau sendiri tanpa mengikuti kaidah-kaidah yang ada. Minimnya pengertahuan masyarakat terhadap pluralisme melahirkan karakter apatis dan puritan terhadap toleransi beragama.

Di berbagai tempat terjadinya konflik, massa yang mengamuk adalah beragama Islam sebagai kelompok mayoritas; sedangkan kelompok yang ditekan dan mengalami kerugian fisik dan mental adalah orang Kristen yang minoritas di Indonesia. Sehingga nampak kelompok Islam yang mayoritas merasa berkuasa atas daerah yang didiami lebih dari kelompok minoritas yakni orang Kristen. Karena itu, di beberapa tempat orang Kristen sebagai kelompok minoritas sering mengalami kerugian fisik, seperti: pengrusakan dan pembakaran gedung-gedung ibadat.

Terjadinya konflik tersebut disebabkan oleh beberapa faktor, yaitu :

1. Karena tidak adanya keampuhan Pancasila dan UUD 45 yang selama ini menjadi pedoman bangsa dan negara kita mulai digoyang dengan adanya amandemen UUD 45 dan upaya merubah ideologi negara kita ke ideologi agama tertentu.

2. Kurangnya rasa menghormati baik antar pemeluk agama satu dengan yang lainnya ataupun sesama pemeluk agama.

3. Adanya kesalahpahaman yang timbul karena adanya kurang komunikasi antar pemeluk agama. Setelah melakukan penelitian dan diskusi lintas agama di Indonesia selama bertahun-tahun, bagi Associated Professor yang merupakan alumni UKSW ini, konflik agama di Indonesia disebabkan oleh; pertama, meningkatnya konservatisme dan fundamentalisme agama. Kedua, keyakinan bahwa hanya ada satu intepretasi dan kebenaran yang absolute. Ketiga, ketidakdewasaan umat beragama. Keempat, kurangnya dialog antaragama. Kelima, kurangnya ruang public dimana orang-orang yang berbeda agama dapat bertemu. Keenam, kehausan akan kekuasaan. Ketujuh, ketidakterpisahan antara agama dan Negara. Kedelapan, ketiadaan kebebasan beragama. Kesembilan, kekerasan agama tidak pernah diadili. Kesepuluh, kemiskinan dan ketidakadilan. Kesebelas, hukum agama lebih diutamakan ketimbang akhlak orang beragama.

4. Penanggulangan Konflik Agama
Agama sebuah keyakinan. Bukan barang mainan. Setiap orang bersedia melakukan apa saja, demi keyakinan agama. Inilah yang harus diperhatikan oleh semua golongan, agar tidak bertindak sewenang-wenang. Karena hanya akan menyulut perang antara agama.

Beberapa hal yang bisa dilakukan untuk menangani konflik antar agama :

• Dalam menangani konflik antaragama, jalan terbaik yang bisa dilakukan adalah saling mentautkan hati di antara umat beragama, mempererat persahabatan dengan saling mengenal lebih jauh, serta menumbuhkan kembali kesadaran bahwa setiap agama membawa misi kedamaian.

• Tidak memperkenankan pengelompokan domisili dari kelompok yang sama didaerah atau wilayah yang sama secara eksklusif. Jadi tempat tinggal/domisili atau perkampungan sebaiknya mixed, atau campuran dan tidak mengelompok berdasarkan suku (etnis), agama, atau status sosial ekonomi tertentu.

• Masyarakat pendatang dan masyarakat atau penduduk asli juga harus berbaur atau membaur atau dibaurkan.

• Segala macam bentuk ketidakadilan struktural agama harus dihilangkan atau dibuat seminim mungkin.

• Kesenjangan sosial dalam hal agama harus dibuat seminim mungkin, dan sedapat – dapatnya dihapuskan sama sekali.

• Perlu dikembangkan adanya identitas bersama (common identity) misalnya kebangsaan (nasionalisme-Indonesia) agar masyarakat menyadari pentingnya persatuan dalam berbangsa dan bernegara.

Perlu dicari tokoh masyarakat yang dipercaya dan/ atau dihormati oleh pihak-pihak yang berkonflik, untuk berusaha menghentikan konflik (conflict intervention), melalui lobi-lobi, negosiasi, diplomasi. Hal ini merupakanusaha peace making.

Mukti ali menjelaskan bahwa ada beberapa pemikira diajukan orang untuk mencapai kerukunan dalam kehidupan beragama, pertama sinkretisme, yaitu pendapat yang menyatakan bahwa semua agama adalah sama. Kedua, reconception, yaitu menyelami dan meninjau kembali agama sendiri dalam kontrontasi dengan agama-agama lain. Ketiga, sintesis, yaitu menciptakan suatu agama baru yang elemen-elemennya diambil dari berbagai agama, keempat,pengantian, yaitu mengakui bahwa agamanya sendiri itulah yang benar. Kelima, agree in disagreement (setuju dalam perbedaan), yaitu percaya bahwa agama yang dipeluknya adalah agama yang paling baik.

Dalam usaha untuk mengembangkan adanya perdamaian yang lestari, atau adanya rekonsiliasi, maka metode yang dipakai oleh pihak ketiga sebaiknya adalah mediasi dan bukan arbitrase. Dalam arbitrase, pihak ketiga (pendamai) yang dipercaya oleh pihak-pihak yang bertentangan/berkonflik itu, setelah mendengarkan masing-masing pihak mengemukakan masalahnya, maka si arbitrator “mengambil keputusan dan memberikan solusi atau penyelesaiannya, yang “harus” ditaati oleh semua pihak yang berkonflik.

Penyelesaian konflik melalui jalan arbitrase mungkin dapat lebih cepat diusahakan, namun biasanya tidak lestari. Apalagi kalau ada pihak yang merasa dirugikan, dikalahkan atau merasa bahwa kepentingannya belum diindahkan.

Sebaliknya, mediasi adalah suatu cara intervensi dalam konflik, di mana mediator (fasilitator) dalam konflik ini juga harus mendapat kepercayaan dari pihak yang berkonflik. Tugas mediator adalah memfasilitasi adanya dialog antara pihak yang berkonflik, sehingga semuanya dapat saling memahami posisi maupun kepentingan dan kebutuhan masing-masing, dan dapat memperhatikan kepentingan bersama.

Jalan keluar atau penyelesaian konflik harus diusulkan oleh atau dari pihak-pihak yang berkonflik. Mediator sama sekali tidak boleh mengusulkan atau memberi jalan keluar/penyelesaian, namun dapat mengajukan pertanyaan-pertanyaan yang membantu pihak-pihak yang berkonflik untuk dapat mengusulkan atau menemukan jalan penyelesaian yang dapat diterima oleh semua pihak. Mediator tidak boleh memihak, harus “impartial”, tidak bias, dsb.

Mediator harus juga memperhatikan kepentingan-kepentingan stakeholders, yaitu mereka yang tidak terlibat secara langsung dalam konflik, tetapi juga mempunyai kepentingan-kepentingan dalam atau atas penyelesaian konflik itu. Kalau stakeholders belum diperhatikan kepentingannya atau kebutuhannya, maka konflik akan dapat terjadi lagi, dan akan meluas serta menjadi lebih kompleks dan dapat berlangsung dengan berkepanjangan.

Analisis Terorisme Di Tinjau Dari Teori Konflik

A. PENGERTIAN TERORIS
Ancaman atau penggunaan kekerasan secara illegal yang dilakukan oleh actor non-negara baik berupa perorangan maupun kelompok untuk mencapai tujuan politis, ekonomi, religious atau sosial dengan menyebarkan ketakutan,paksaan, atau intimidasi menjelaskan definisi dari terorisme

Secara konseptual, terdapat berbagai definisi mengenai terorisme mulai dari Kauppi, Whittaker, Cronon, Chalk, Choamsky, dll. Namun, dari berbagai pengertian tersebut dapat disimpulkan secara umum

memahami terorisme, yaitu suatu aksi kekerasan yang mempunyai motivasi politik dan fundamental serta power dengan tujuan untuk menebarkan teror dan ketakutan baik psikologis maupun fisik terhadap orang-orang sipil tak berdosa (publik). Berdasarkan definisi umum tersebut, terdapat lima elemen dalam terorisme, yaitu :

(1) motif dan tujuan politik,

(2) ancaman dan kekerasan,

(3) efek psikologis dan teror terhadap publik atau korban,

(4) diatur dengan rapi melalui rantai komando atau struktur jaringan sel antar teroris,

(5) dilakukan oleh aktor non-state.

Dari lima elemen tersebut ada lima karakteristik terorisme, yaitu:

(a) aksi terorisme biasanya memakan korban yang masif,

(b) ada hubungannya dengan gerakan religius,

(c) memiliki jaringan organisasi terstruktur diberbagai negara,

(d) memiliki akses dan kemampuan untuk menggunakan WMD, dan

(e) adanya wilayah abu-abu dalam memahami fenomena terorisme itu sendiri,

Aktivitas terorisme sangatlah signifikan bagi penyebaran teror dan efek psikologis pada publik. Tentunya aksi-aksi terorisme tersebut pada akhirnya akan mengancam keutuhan dan kesatuan sebuah negara bahkan dalam skala regional. Hal ini dapat dilihat dari gerakan-gerakan separatis atau pembrontakan oleh suatu kelompok etnik atau agama tertentu yang menimbulkan ekses terhadap instabilitas nasional yang pada akhirnya akan memicu instabilitas kawasan karena semakinboardeless-nya proksimitas antar negara. Dalam literatur-literatur ilmiah, istilah tyerorisme mengalami pergeseran makna secara dinamis ada penulis menekankan factor tujuan, sebagian lagi factor agen atau pelaku, sementara yang lain lagi mencermati pada metode yang digunakan.

Jika ditinjau dari aspek geopolitik ASTENG, maka dapat kita ketahui bahwa di negara-negara kawasan ini sangatlah rentan untuk memunculkan gerakan dan serangan teroris. Pertama, dapat dilihat terutama di Indonesia, Malaysia, Thailand Selatan, dan Philipina yang merupakan wilayah jaringan teroris internasional Al-Qaida. Kasus gerakan separatisme GAM dan DPO Azhari dan M. Top (keduanya WN Malaysia) di Indoensia membuktikan jaringan teroris tersebut ada, dan ini dikaitkan terutama dengan pembentukan harakat atau militansi

Islam seperti FPI, Laskar Jihad, JI, KISDI, dll yang diklaim memiliki hubungan dengan Al-Qaida atau Ikhwanul Muslimin. Terlebih gerakan pembrontak Moro di Filiphina dan Pattani di Thailand Selatan diklaim juga merupakan bagian dari jaringan Al-Qaida di kawasan Asia Tenggra. Kedua, dinamika kawasan juga turut mempengaruhi ancaman security negara-negara asia tenggara ini, terutama China dianggap sebagai ancaman security dengan semakin besar anggaran militernya telah memberikan pandangan tersendiri ASEAN terhadap kebangkitan China tersebut. Ketiga, ancaman internal yang berwujud konflik intra-regional ASEAN telah berkontribusi bagi instabilitas regional. Pada akhirnya ketiga hal tersebut akan memberikan ekses terhadap persepsi ancaman security baik intra-regional maupun ekstra-regional bahkan internasional dengan anggapan bahwa kawasan Asia Tenggara merupakan basis jaringan terorisme internasional dan ini akan berpengaruh terhadap semakin rawannya security di kawasan ASEAN. Implikasinya adalah cita-cita untuk mencapai Komunitas Keamanan Bersama ASEAN semakin terhambat.

Oleh karena itu, melalui kerangka ASEAN, negara-negara Asia Tenggra tersebut melakukan respon kolektif dalam mengatasi terorisme baik regional maupun internasional. Hal ini diwujudkan dalam inisiatif Join Action Pemimpin ASEAN “ASEAN Leaders Declare Join Action to Counter Terrorism,” untuk mengkonter terorisme. Join Action (JA) tersebut berisi delapan poin penting, yatiu:

1. meninjau dan menguatkan mekanisme national untuk membasmi terorisme;

2. meratifikasi perjanjian anti-terorisme, termasuk mendukung Konvensi Internasional mengenai supresi pendanaan terorisme;

3. bekerjasama dengan aparat penegak hukum antar negara untuk membasmi terorisme;

4. mengadopsi Konvensi-konvensi Internasional mengenai terorisme yang sesuai dengan mekanisme ASEAN;

5. memperluas hubungan dan pertukaran informasi dan intelegen yang berguna untuk mempersempit dan mencegah terorisme;

6. pembangunan kapasitas regional ASEAN dalam investivigasi, deteksi, pengawasan, dan pelaporan mengenai terorisme;

7. saling bertukar pendapat atau ide guna meningkatkan peran dan keterlibatan ASEAN dalam membasmi terorisme; dan

8. menguatkan kerjasama di level bilateral, regional, dan internasional serta membentuk kerjasama komprehensif dalam kerangka PBB.

Secara kronologis istilah, istilah ‘terrorism’ pertama kali muncul dalam revolusi prancis, dan dalam jangka yang cukup lama ia digunakan untuk mendefinisikan kekerasan yang di lakukan oleh Negara, sebagaimana definisi pertama oxford English dictionary tentang ‘terrorism’ mengatakan: “government by intimidation as carried out by the party in power in france during revolution 1789-1797.

Teror atau Terorisme tidak selalu identik dengan kekerasan. Terorisme adalah puncak aksi kekerasan, terrorism is the apex of violence. Bisa saja kekerasan terjadi tanpa teror, tetapi tidak

ada teror tanpa kekerasan. Terorisme tidak sama dengan intimidasi atau sabotase. Sasaranintimidasi dan sabotase umumnya langsung, sedangkan terorisme tidak. Korban tindakan Terorisme seringkali adalah orang yang tidak bersalah. Kaum teroris bermaksud ingin menciptakan sensasi agar masyarakat luas memperhatikan apa yang mereka perjuangkan. Tindakan teror tidaklah sama dengan vandalisme, yang motifnya merusak benda-benda fisik. Teror berbeda pula dengan mafia. Tindakan mafia menekankan omerta, tutup mulut, sebagai sumpah. Omerta merupakan bentuk ekstrem loyalitas dan solidaritas kelompok dalam menghadapi pihak lain, terutama penguasa. Berbeda dengan Yakuza atau mafia Cosa Nostra yang menekankan kode omerta, kaum teroris modern justru seringkali mengeluarkan pernyataan dan tuntutan. Mereka ingin menarik perhatian masyarakat luas dan memanfaatkan media massa untuk menyuarakan pesan perjuangannya.

Namun, belakangan, kaum teroris semakin membutuhkan dana besar dalam kegiatan globalnya, sehingga mereka tidak suka mengklaim tindakannya, agar dapat melakukan upaya mengumpulkan dana bagi kegiatannya.

Mengenai pengertian yang baku dan definitive dari apa yang disebut dengan Tindak Pidana Terorisme itu, sampai saat ini belum ada keseragaman. Menurut Prof. M. Cherif Bassiouni, ahli Hukum Pidana Internasional, bahwa tidak mudah untuk mengadakan suatu pengertian yang identik yang dapat diterima secara universal sehingga sulit mengadakan pengawasan atas makna Terorisme tersebut. Oleh karena itu menurut Prof. Brian Jenkins, Phd., Terorisme merupakan pandangan yang subjektif. Tidak mudahnya merumuskan definisi

Terorisme, tampak dari usaha Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) dengan membentuk Ad Hoc Committee on Terrorism tahun 1972 yang bersidang selama tujuh tahun tanpa menghasilkan rumusan definisi.

Pengertian paling otentik adalah pengertian yang diambil secara etimologis dari kamus dan ensiklopedia. Dari pengertian etimologis itu dapat diintepretasikan pengembangannya yang biasanya tidak jauh dari pengertian dasar tersebut .

Menurut Konvensi PBB tahun 1937 , Terorisme adalah segala bentuk tindak kejahatan yang ditujukan langsung kepada negara dengan maksud menciptakan bentuk teror terhadap orang-orang tertentu atau kelompok orang atau masyarakat luas.

Menurut Hukum Amerika Serikat, rumusan terorisme dalam United States Code, Section 2656f(d): premeditated, politically motivated violence perpetuated against noncombatant targets, usually intended to influence an audience.

Definisi ini memberi tekanan pada motivasi politik, namun mengenai sasaran Terorisme, hanya memperhatikan sasaran sipil . pengertian politis juga masih dipakai oleh para penulis dibelakan hari. Misalanya ada penulis yang mengatakan: “terorisme adalah segalah hal yang merupakan penindasan kebebasan pribadi individu oleh partai yang berkuasa atau rezim militer.”

Menurut TNI - AD, berdasarkan Bujuknik tentang Anti Teror tahun 2000, terorisme adalah cara berfikir dan bertindak yang menggunakan teror sebagai tehnik untuk mencapai tujuan .

Menurut Undang-Undang Nomor 15 tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme, Bab I Ketentuan Umum, Pasal 1 ayat 1, Tindak Pidana Terorisme adalah segala perbuatan yang memenuhi unsur-unsur tindak pidana sesuai dengan ketentuan dalam Undang-Undang ini. Mengenai perbuatan apa saja yang dikategorikan ke dalam Tindak Pidana Terorisme, diatur dalam ketentuan pada Bab III (Tindak Pidana Terorisme), Pasal 6, 7, bahwa setiap orang dipidana karena melakukan Tindak Pidana Terorisme, jika:

1. Dengan sengaja menggunakan kekerasan atau ancaman kekerasan menimbulkan suasana teror atau rasa takut terhadap orang secara meluas atau menimbulkan korban yang bersifat massal, dengan cara merampas kemerdekaan atau menghilangkan nyawa dan harta benda orang lain atau mengakibatkan kerusakan atau kehancuran terhadap obyek-obyek vital yang strategis atau lingkungan hidup atau fasilitas publik atau fasilitas internasional (Pasal 6).

2. Dengan sengaja menggunakan kekerasan atau ancaman kekerasan bermaksud untuk menimbulkan suasana terror atau rasa takut terhadap orang secara meluas atau menimbulkan korban yang bersifat massal, dengan cara merampas kemerdekaan atau menghilangkan nyawa dan harta benda orang lain atau mengakibatkan kerusakan atau kehancuran terhadap obyek-obyek vital yang strategis atau lingkungan hidup atau fasilitas publik atau fasilitas internasional (Pasal 7).

Dan seseorang juga dianggap melakukan Tindak Pidana Terorisme, berdasarkan ketentuan pasal 8, 9, 10, 11 dan 12 Undang-Undang Nomor 15 tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme. Dari banyak definisi yang dikemukakan oleh banyak pihak, yang menjadi ciri dari suatu Tindak Pidana Terorisme adalah:

1. Adanya rencana untuk melaksanakan tindakan tersebut.

2. Dilakukan oleh suatu kelompok tertentu.

3. Menggunakan kekerasan.

4. Mengambil korban dari masyarakat sipil, dengan maksud mengintimidasi pemerintah.

5. Dilakukan untuk mencapai pemenuhan atas tujuan tertentu dari pelaku, yang dapat berupa motif sosial, politik ataupun agama.

Mengenai fenomena terorisme yang ditinjau dari aspek definisi dan trend kemunculan aksi-aksi terorisme terutama di negara-negara muslim seperti Timur Tengah yang diklaim oleh Barat merupakan basis dari gerakan teroris kontemporer, atau yang disebut sebagai militansi Islam. Fenomena dan isu terorisme pasca 9/11 telah berdampak bagi ancaman security baik nasional, regional, maupun internasional, yang dapat menggangu dimensi human security. Hal inilah yang menjadi dasar bagi ASEAN untuk merespon isu terorisme secara bersama dalam kerangka kerjasama regionalnya.

B. ANALISIS TERORISME DI TINJAU DARI TEORI KONFLIK
Pasca tragedi teror telah memberikan ekses yang signifikan bagi keamanan global dimana tragedi itu menunjukkan bahwa tidak ada tempat yang aman di dunia ini dari serangan terorisme. Terlebih di era globalisasi sekarang, akses informasi dan komunikasi dapat berlangsung cepat, dunia semakin boarderless, dan transaksi keuangan semakin mudah dilakukan. Kondisi ini yang membuat terorisme semakin terfasilitasi sehingga segala aksi yang mereka lakukan semakin efektif. Tak heran jika aksi yang mereka lakukan telah menimbulkan ekses global walaupun dilakukan di sebuah negara atau suatu region. Implikasinya adalah ancaman terhadap dimensi human security karena pemahaman akan terorisme bukan lagi pada ranah traditional security tapi lebih pada nontraditional security. Hal ini terkait dengan perubahan politik global pasca CW dimana tipologi konflik cenderung menyerupai konflik-konflik pada abad pertengahan yang diwarnai oleh konflik antar etnik atau suku bangsa bahkan kelompok agama. Inilah yang kemudian memiliki ekses terhadap suburnya terorisme di era sekarang, dimana seperti yang ia kutip dari Chalk bahwa konflik tersebut terjadi di negara-negara yang multietnik dan rawan separatisme. Pada akhirnya, kondisi tersebut dapat memicu dan ditunggangi oleh kelompok teroris dari negara lainnya. Sehingga semakin nyata bahwa gerakan teroris identik dengan tujuan-tujuan politik yang ingin dicapai melalui cara-cara kekerasan atau teror.

Kajian terhadap terorisme ini menggunakan objek formal filsafat analitika bahasa. Filsafat analitika Bahasa Wittgenstein menjelaskan, tentang praktek penggunaan ungkapan bahasa dalam kehidupan manusia. Ungkapan bahasa dalam pengertian ini bukanlah bahasa secara harfiah, melainkan ungkapan di dalam realitas kehidupan manusia. Sebagaimana halnya seniman sastra menciptakan karya sastra, sajak, novel; protes atau demo merupakan ungkapan bahasa dalam kehidupan politik;

Penindasan dan ketidakadilan sosial seringkali disebut sebagai penyebab dari terorisme yang terjadi di abad ke-21 ini, sehingga kebangkitan terorisme internasional juga tidak terlepas dari konstelasi geopolitik global, khususnya di Timur Tengah. Namun apa pun penyebab dan motivasi terorisme, peristiwa ultimate sudden attack (serangan sangat mendadak) pada tanggal 11 September 2001 yang dilakukan oleh jaringan al-Qaeda, telah menimbulkan rasa marah dan benci di setiap hati manusia saat itu. Siapa pun yang bertanggung jawab atas kejadian tersebut, jelas sudah melakukan sesuatu kesalahan dan tindakan kriminal. Tetapi sebaliknya, tragedi tersebut sama sekali tidak dapat dijadikan sebagai suatu alasan, untuk kemudian Amerika Serikat boleh melakukan aksi pembalasan dengan melakukan pembantaian yang serupa juga terhadap orang-orang lain yang tidak bersalah (Castro, 2002). Aksi kedua-duanya, baik terorisme maupun kampanye anti terorisme yang telah mengakibatkan manusia yang tidak bersalah menjadi korban, merupakan tindak kejahatan terorisme. Korban terorisme tidak pernah mempersoalkan, apakah mereka terbunuh atau cacat sebagai akibat dari suatu kesengajaan atau ketidak sengajaan. Terorisme yang dilakukan oleh teroris atau pejuang, juga bukan merupakan hal yang signifikan bagi para korban, yang telah kehilangan segala-galanya, termasuk dan terutama kegelapan akan hari depan anak-anaknya. Dewasa ini masyarakat internasional termasuk bangsa Indonesia masih dibayangi oleh rasa khawatir akan adanya bahaya terorisme yang dapat muncul lagi sewaktu-waktu. Hal ini mengingat hakikat karakter terorisme yang selalu mampu untuk timbul kembali, setelah ketenggelamannya. Sifat tersebut laksana unslaying hydra (hewan imajiner Yunani yang tak pernah mati) (9/11 Commission Report, 2004) atau Candabirawa (raksasa sakti azimat Raden Narasoma dalam cerita wayang Jawa, yang selalu ‘patah tumbuh hilang berganti’). Terorisme dapat terjadi secara tiba-tiba terhadap sasaran siapa saja, tak terkecuali, tanpa batas-batas teritorial negara (borderless) di belahan dunia mana pun. Suatu hal yang sangat menakutkan umat manusia karena terorisme tidak mengenal rasa belas kasihan. Anehnya, mengapa kekejaman seperti pembantaian terhadap orang lain yang tidak bersalah dan terkadang pengorbanan diri mereka sendiri, misalnya dalam peristiwa suicide bomb (bom bunuh diri), terkadang juga mendapat pembenaran? Karena sejarah mencatat, bahwa istilah ‘terorisme’ sebagai suatu definisi bersifat inkonsisten. Beberapa individu yang sebelumnya dikenal masyarakat sebagai pelaku terorisme, pada waktu yang berbeda dan keadaan yang berubah, telah menjadi pahlawan yang di elu-elukan masyarakat. Contohnya, beberapa pemimpin kelompok teroris Yahudi seperti Yitzhak Shamir dan Manachem Begin, pada akhirnya berhasil mencapai kedudukan sebagai Perdana menteri Israel, setelah nama mereka dulu pernah tercatat sebagai pemimpin-pemimpin ’Palmach’ (1940) dan jaringan ’Irgun’ (1944), organisasi-organisasi kaum teroris yang paling dibenci Inggris bahkan dunia internasional. Semua kini telah berubah dan keadaan bahkan telah terbalik, karena para teroris yang dibenci dunia itu kini diakui masyarakat internasional sebagai pahlawan-pahlawan.

Dengan demikian terorisme menjadi sulit untuk dinyatakan sebagai suatu kejahatan yang tercela sepanjang sejarah, walaupun sepanjang sejarah pula, terorisme dalam etika, norma, moral, dan estetika kehidupan umat manusia tidak mempunyai nilai. Tapi mengapa para teroris tersebut justru menilai jiwa manusia hanya sebagai gejala materi semata-mata, membunuh tanpa batasan, dengan tak terkecuali? Jawaban atas pertanyaan tersebut bersifat epistemologis, yaitu karena para teroris dan simpatisannya sama-sama mengalami kegalatan kategori (category mistake). Kegalatan kategori kategori mengandung arti ketidakmampuan untuk membedakan sesuatu terhadap yang lain.

Memang terorisme adalah suatu fenomena sosial yang sulit untuk dimengerti, bahkan oleh para terorisnya sendiri. Tanpa pendidikan yang memadai sekalipun, seseorang dapat melakukan aksi terorisme yang menggetarkan dunia dan berimplikasi sangat luas. Taktik dan teknik teroris terus berkembang seiring dengan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi, sedangkan strateginya berkembang seiring dengan keyakinan ontologis atas ideologi atau filsafat yang menjadi motifnya. Terorisme menggunakan cara-cara, ungkapan-ungkapan dan bahasanya sendiri dalam perjuangan mewujudkan tujuannya. Mereka menggunakan pembenaran epistemologis sendiri dan menafsirkkan ideologi-ideologi dan ungkapan kebenaran dengan cara melakukan manipulasi makna. Bahkan manipulasi ungkapan bahasa kebenaran tersebut kerapkali bersumber dari kaidah-kaidah agama, namun ditafsirkan dan dimanipulasikan dengan ungkapan bahasa sebagai dasar pembenaran dalam segala tindakannya yang revolusioner dan dramatis.

Dalam kasus di Indonesia, terorisme berawal dari kelompok DI-TII yang melalukan pengebonan dicikini pada tanggal 30 november 1957, hingga dala kurung 2 dasawarsa menurut data global terrorism data base 2007, telah terjadi total 421 kasus terorisme, dimana lebi 90% tindak terorisme terjadi diakhir orde baru hingga memasuki era demokrasi . Aksi-aksi terorisme semenjak era reformasi adalah aksi pengebonan yang terjadi di beberapa wilayah di Indonesia, seperti bom bali I, bom kuningan / kedube Australia,bom marriod (I).

C. TUJUAN TERORIS MENURUT TEORI KONFLIK
Tujuan terorisme sebagai suatu realitas adalah mendominasi kekuasaan universal, sehingga menyulut terjadinya konflik. Konflik universal yang terjadi sekarang adalah antara dua jalur, yaitu jalur yang didasarkan kepada fundamentalisme (dalam istilah Wahid,2009 = garis keras), dengan jalur yang didasarkan pada pemikiran sekuler demokrasi liberal dalam praksis yang tidak etis. Kedua tesis tersebut tidak mungkin saling bertemu, karena terorisme berada pada posisi yang saling menolak. Azas penolakan yang tumbuh subur dan berkembang pada masyarakat fundamentalis, tidak mempunyai dasar suatu penghayatan yang positif, melainkan berdasarkan atas penyangkalan terhadap perobahan sosial-kultural, yang dibawa oleh arus globalisasi. Dengan demikian fundamentalisme hidup di atas azas penolakan, sehingga di luar kelompoknya mereka senantiasa menemukan musuh dan ancaman. Fundamentalisme itu juga bukan konsep keagamaan tradisional, melainkan suatu modernitas yang terbalik. Dalam hal ini dinyatakan oleh Franz Magnis Suseno : “Para teroris tidak dapat menghindarkan diri mereka dari penggunaan segala macam hasil teknologi maju, yang justru ditemukan berdasarkan nilai-nilai modernitas yang mereka tolak sendiri” .

TERORISME DAN FENOMENA AGAMA
Tapi, apa hubungan terorisme dengan agama, lebih spesifik lagi apakah ada terorisme religious? Ini adalah sebuah pertanyaan yang sensitive sekaligus rumit, karena, disatu sisi, kedua hal tersebut umumnya dipahami sebagai dua hal yang bertolak belakang. Terorisme identik dengan kejahatan, kekerasan, kerusakan dan penderitaan; sedangkan agama memiliki konotasi hal-hal yang baik, mulia dan kebahagiaan. Sehingga menempatkan dua istilah yang saling berlawanan ini kedalam sebuah frase – religious terrorism – berarti mereduksi salah satu kepada yang lain: yaitu terorisme sebagai sesuatu yang mulia dan baik, atau agama sebagai sesuatu yang buruk dan membawa kerusakan. Namun, disisi lain, kenyataan tanpa dapat dibantah aksi-aksi terorisme seringkali diwarnai, diikuti dan dijustifikasi, dengan bahasa dan simbol-simbol keagamaan. Menariknya ini bukan hanya didominasi oleh agama-agama tertentu, melaingkan terjadi dalam agama agama besar dunia, sebagaimana dipaparkan oleh mark juergensmeyer.

TerPopuler