hubungan patron klien sebagai mitra kerja -->

hubungan patron klien sebagai mitra kerja

Patron Sebagai Fasilitator atas Klien dalam Mitra Kerja

Patron adalah seorang pemberi atau orang yang memfasilitasi klien dari berbagai kebutuhannya, mulai dari kebutuhan pergi melaut sampai dari kebutuhan di daratan. Patron menggunakan pengaruh dan sumber dayanya untuk menyediakan perlindungan, serta keuntungan-keuntungan bagi seseorang dengan status yang dianggapnya lebih rendah (Hurin Inn's Blog).

Peran para patron ini sebagai penolong bagi para nelayan karena ditengah himpitan ekonomi para nelayan merasa masih bisa mencukupi kehidupan keluarganya. Mengenai pemilikan sumber daya, Scott membedakan paling sedikit tiga jenis sumber daya yang dimiliki oleh patron berdasarkan mana dia dapat menguasai sejumlah klien. Ketiga sumber daya tersebut adalah : pertama, pengetahuan dan keahlian, kedua, pemilikan yang langsung dibawa pengawasan oleh patron. Ketiga, pemilikan atau kekuasaan orang lain yang dikontrolkannya secara tidak langsung sumber daya langka berupa pengetahuan keahlian yang dimiliki oleh seseorang dapat dimanfaatkan untuk membantu orang lain untuk meningkatkan kesejahteraannya, untuk itu ia dapat berfungsi meningkatkan status pemiliknya. Dari segi keagamaan maka sumber daya ini adalah yang paling aman, karena selain tidak mungkin hilang, juga tidak memerlukan pengawasan, dibandingkan dengan sumber daya material.

Sumber daya lain adalah pemilikan yang langsung dibawa kontrol patron yang berupa material, yang biasanya sangat dibutuhkan oleh para klien. Sumber daya semacam ini sangat potensial untuk menghimpun klien. Namun pemilikan yang berupa material ini bisa kurang aman, karena sewaktu-waktu dapat hilang atau karena bencana, sementara dalam penggunaannya juga bisa menjadi barang terlarang atau disita untuk kepentingan negara.

Sementara bentuk pemilikan lain adalah pengawasan secara tidak langsung atas barang milik orang lain. Bentuk pemilikan semacam ini biasanya dimiliki oleh para pejabat, yang pengawasannya dilakukan berdasarkan kekuatan jabatan. Maka berdasarkan kekuatan jabatan itu, seorang pejabat dapat membantu yang bersangkutan. Namun sumber daya yang demikian ini berkedudukan sangat lemah karena tergantung pada jabatan, yang diduduki oleh patron tersebut. Walaupun ketiga sumber daya itu dapat dimiliki secara terpisah oleh seorang patron, namun dapat pula dimiliki dua di antara ketiganya, atau bahkan ketiganya dapat berada di tangan seorang patron.

Seperti juga perantara-perantara sosial lainnya, hubungan patron-klien juga memilih tanah subur tempat tumbuh dan berkembangnya. Scott menyebutnya juga tiga kondisi khusus dimana hubungan patron-klien dapat tumbuh dan berkembang dengan subur, yaitu pertama, adanya perbedaan yang menyolok dalam penguasaan kekayaan, status dan kekayaan yang diakui oleh masyarakat yang bersangkutan. Kedua, tidak adanya jaminan keamanan fisik, status dan posisi atau kekayaan. Ketiga, unit-unit kekerabatan yang ada tidak mampu lagi berfungsi sebagai sarana perlindungan bagi keamanan dan kesejahteraan pribadi.

Nelayan seringkali menjadi golongan yang terpinggirkan dan tidak menjadi prioritas pemerintah. Mereka adalah kaum yang terdesak pada keadaan, karena hanya punya kemampuan untuk melaut dan tidak punya pilihan lain dalam bekerja. Sehingga klien sangat bergantung pada patron untuk menjalin sebuah mitra kerja demi memenuhi kebutuhan hidupnya sehari-hari.

Akan tetapi sistem ini ternyata bukan hanya relasi ekonomi saja, akan tetapi ada relasi sosial yang terjadi. Para tengkulak pun rela meminjamkan uang besar saat ada anggota keluarga dari klien yang sakit atau butuh uang lebih. Pada akhirnya sistem patron klien ini sudah menjadi relasi yang sangat mendarah daging dan sulit untuk dilepaskan. Beberapa usaha yang dilakukan pemerintah, berbagai program berjalan, akan tetapi saat program berhenti. Para klien juga kembali lagi ke patron.

 

Peran klien dalam hubungan mitra kerja dengan patron

Kuatnya hubungan patron klien dalam masyarakat pesisir terjadi karena aktivitas yang dilakukan oleh para nelayan yang berisiko dan dan ketidakpastian. Maka salah satu upaya untuk menjaga kelangsungan hidup dan untuk mempertahankan hidup. Seolah-olah patron klien dianggap sebagai jaminan sosial untuk para nelayan. Mengapa demikian karena realitasnya pada saat ini himpitan ekonomi di kalangan masyarakat pesisir yang memaksa mereka untuk melakukan segala cara untuk dapat mempertahankan hidup untuk menjaga kelangsungan hidupnya dan keluarganya, apalagi musim yang berlaku dalam kehidupan pesisir juga memaksa mereka harus tetap bisa mempertahankan hidup. Mungkin ketika musim ikan tiba para nelayan dapat dengan mudah memenuhi kebutuhan hidup mereka, Namun ketika musim paceklik tiba mereka akan sulit sekali untuk memenuhi kebutuhan hidup mereka.

Melaut sudah menjadi harga mati bagi para sebagian nelayan mereka memilih untuk tidak bekerja dan memperbaiki jaring mereka dari pada harus mencari pekerjaan lain. Ini dapat dikatakan sebagai kontruksi sosial di masyarakat nelayan, mengenai makna melaut dan memenuhi kebutuhan hidup menurut cara mereka sendiri. Akhirnya untuk menjaga kelangsungan hidup mereka dimasa paceklik mereka memanfaatkan peran dari para tengkulak, maupun para juragan darat untuk dapat memenuhi kebutuhan sewaktu-waktu. Para tengkulak ini mengambil peran yang strategis dalam relasi patron klien ini soalnya mereka akan membantu memberikan pinjaman uang kepada para nelayan buruh atau klien untuk memenuhi kebutuhannya dan mereka tidak perlu lagi membayarnya pada waktu yang ditentukan tetapi kapan saja mereka punya uang bahkan perkembangan hubungan patron-klien para nelayan buruh tidak lagi harus membayarnya dalam bentuk uang melainkan dengan hasil tangkapan mereka dimasa panen ikan.

Klien merupakan orang yang menjalankan atau yang memakai alat tangkap ikan yang telah disediakan oleh patron sebagai kebutuhan dari klien yang sudah ada kesepakatan sebelumnya dari kedua bela pihak. Klien kemudain membalasnya dengan menawarakan dukungan umum dan bantuan termasuk jasa pribadi kepada patronnya. Sebagai pola pertukaran yang tersebar, jasa dan barang yang dipertukarkan oleh patron dan klien mencerminkan kebutuhan yang timbul dan sumber daya yang dimiliki oleh masing-masing pihak (Hurin Inn's Blog).

Bentuk eksploitasi yang terjadi adalah dalam bentuk akumulasi modal, penekanan terhadap harga, monosponi (satu pembeli)-memaksan klien menjual hasilnya ke paron. Biasanya patron berani membayar di awal, sehingga klien tertarik untuk menjual kepada patron. Ini merupakan kesepakat patron klien dimana hasil tangkapan ikan klien dijual kepada patron.

Belajar pula dari kebiasaan klien yang seringkali menghabiskan uang muka dari patron untuk hal yang berlebihan, sehingga bahkan sebelum musim panen, uang tersebut sudah habis, dan mereka terpaksa meminjam kepada patron lagi.

Sedangkan dasar hubungan patron klien dalam masyarakat pesisir hanya berbasis pada kepercayaan dan keberlanjutan dari relasi tersebut. Para klien menganggap bahwa apa yang telah diberikan oleh para orang yang di sini disebut sebagai patron seimbang dengan hasil tangkap yang diberikan oleh para klien. Para klien ini tidak merasakan adanya bentuk eksploitasi dari para patron terhadap dirinya. Dan keadaan seperti ini telah berlangsung dalam kurun waktu yang sangat lama. Para nelayan menyadari akan kemiskinan dirinya dalam ekonomi namun mereka tidak menyadari dan tidak ingin mencari tahu apa yang menjadi sebab dari kemiskinan mereka ini. Kategori-kategori pertukaran dari patron ke klien mencakup pemberian bantuan penghidupan subsistensi dasar, jaminan sosial, khususnya pemberian modal untuk pembelian alat tangkap dan klien menjual hasil tangkapannya terhadap patron lebih rendah dari harga pasar. Dalam hal ini para klien dalam posisi sebagai Prince taker. Rata-rata para klien harus menjual harga ikan lemuru dengan harga 15.000 per kg sedangkan harga pasar 20.000 per kg. Menghadapi kenyataan seperti ini, klien tidak memiliki kekuatan untuk meningkatkan posisi tawar mereka meskipun mereka sadar bahwa keadaan yang seperti itu sangat merugikan mereka.

Ketika para klien ini menjual hasil tangkapannya pada patron dengan harga yang lebih murah dari harga pasar dan mereka hanya berfikir untuk sekedar cukup untuk memenuhi kebutuhan dasar mereka tanpa ada pikiran untuk mengakumulasi modal demi memperluas usaha untuk mendapat keuntungan yang lebih. Tidak mengherankan ketika kemiskinan masih banyak terjadi pada masyarakat pesisir atau klien karena hasil tangkapan tidak sesuai dengan jumlah uang atau penghasilan yang di dapat dan harga sudah ditentukan oleh para patron.

Selain itu hubungan patron klien yang terjalin dengan juragan darat atau pemilik kapal. Sistem bagi hasil yang diterapkan bahwa 50% hasil tangkapan laut diberikan oleh pemilik kapal sedangkan 50% dibagi dengan sejumlah ABK, dan masih dipotong dengan biaya operasional dan perawatan kapal. Kondisi patron klien yang demikian masih tetap berjalan dalam kebudayaan masyarakat indonesia. Lalu masihkah kita harus bertanya mengapa kemiskinan dan keterbelakangan tetap terjadi pada masyarakat pesisir? Maka rasanya tidak adil bagi para nelayan jika kemiskinan itu di sebabkan oleh kultural, faktor internal dari individu yang malas dan etos kerja yang kurang bagus. Karena pada dasarnya nelayan sudah bekerja keras untuk mendapatkan hasil tangkapan untuk memenuhi kebutuhan keluarganya dan kemiskinan yang ada di dalam masyarakat nelayan banyak disebabkan oleh faktor eksternal yakni struktur sosial dari masyarakat Puger itu sendiri termasuk juga kebijakan pemerintah yang belum benar- benar melihat permasalahan pesisir secara kompleks.

 

Manifestasi hubungan mitra kerja patron dengan klien

Hubungan pertemanan, perantara dan patron klien selalu ada dalam kehidupan setiap masyarakat. Khusus mengenai patron klien diberikan pengertian lebih lanjut bahwa berbeda dengan hubungan pertemanan dan hubungan perantaraan, ditandai oleh adanya hubungan timbal balik antara patron klien yang tidak sama atau seimbang dalam hal benda dan jasa yang dipertukarkan. Ketidak-seimbangan ini menghasilkan adanya hubungan ketergantungan klien pada patronnya dan ketergantungan tersebut berupa ikatan-ikatan yang meluas dan melentur serta bersifat pribadi melampui batas-batas hubungan yang semula melandasi terwujudnya hubungan diantara keduanya. (Suparlan, 1991: 6).

Usaha untuk meningkatkan taraf hidup nelayan sudah banyak dilakukan baik oleh pemerintah maupun para pengusaha, namun hasilnya belum memuaskan, bahkan nampak kesenjangan yang semakin lebar antara pendapatan yang diterima oleh pemilik modal (patron) oleh nelayan sawi (klien). Kehadiran motor dalam penangkapan ikan menciptakan kondisi yang semakin menguntungkan pemilik modal(patron), hal mana mengakibatkan semakin terakumulasinya pendapatan pada pemilik modal (patron).

Dengan semakin menumpuknya keuntungan pada pemilik modal, maka keadaan ini akan menimbulkan perbedaan penguasaan sumber daya ekonomi yang semakin menyolok antara pemilik modal dengan nelayan sawi. Keadaan ini menurut Scott akan merupakan suatu kondisi yang mendukung tumbuh dan berkembangnya hubungan patron-klien. Ikatan antara pemilik modal dan sawi yang semula hanya dilihat oleh hubungan kerja akan berubah menjadi hubungan patron-klien, hubungan mana akan melibatkan berbagai aspek hubungan sosial di luar hubungan kerja.

Ari Wahyono dkk di Cirebon dan Cilacap, mengungkapkan bahwa masalah ketergantungan pada tengkulak merupakan masalah serius yang dihadapi nelayan. Adanya ketergantungan ini menyebabkan pendapatan nelayan tidak maksimal, karena mereka diharuskan menjual hasil tangkapan kepada patron dengan harga yang sepihak. Ketergantungan ini terjadi bukan karena keinginan nelayan, tetapi justru karena keterpaksaan karena adanya kesepakatan sebelumnya antara patron dengan klien.(Ari Wahyono, dkk: 185).

Tujuan dasar dari hubungan patron klien bagi klien yang sebenarnya adalah penyediaan jaminan sosial dasar bagi substensi dan keamanan. Apabila hubungan dagang/pertukaran yang menjadi dasar pola hubungan patron klien ini melemah karena tidak lagi memberikan jaminan sosial dasar bagi substensi dan keamanan maka klien akan mempertimbangkan hubungannya dengan patron menjadi tidak adil dan eksplitatif. Yang terjadi kemudian legitimasi bukanlah berfungsi linear dari neraca pertukaran itu. Oleh sebab itu tidak mengherankan jika ada tuntutan dari pihak klien terhadap patronnya untuk memenuhi janji-janji atau kebutuhan dasarnya sesuai dengan peran dan fungsinya.

Salah satu ciri hubungan patron-klien adalah adanya pola transaksi tertentu. Ada semacam rumus baku dari pola ini yaitu take and give, siapa memberi apa dan siapa mendapat apa. Ketika sang patron melakukan transaksi dengan sang klien maka ada kesepakatan antara meereka. Ada hubungan mutualisme dalam hubungan patron-klien tersebut. Artinya dari pola hubungan patron klien ini maka semua sama-sama mendapat keuntungan yang timbal balik. Si patron medapat apa yang diinginkan dari si klien, dan tentunya si klien juga mendapatkan keuntungan dari kesepakatan yang telah disetujui sebelumnya (Hurin Inn's Blog).

TerPopuler