Hindu Sebagai Agama dan Budaya -->

Hindu Sebagai Agama dan Budaya



Hindu Sebagai Agama

Agama Hindu merupakan agama yang diyakini oleh masyarakat Hindu, yang bersumber dari Ida Sang Hyang Widi Wasa. Weda merupakan kitab suci agama Hindu yang diwahyukan melalui pendengaran rohani para Maha Resi. Oleh karena itu Weda juga disebut dengan kitab suci SRUTI. Umat Hindu yakin dan percaya bahwa dunia dan segala isinya diciptakan oleh Ida Sang Hyang Widhi Wasa, karena Cinta Kasih Beliau. Cinta Kasih Tuhan untuk menciptakan sekalian makhluk sering juga disebut dengan YADNYA.

Hindu disebut sebagai agama karena adanya nilai-nilai atau ajaran pokok di dalamnya, tempat ibadah dan kitab suci sebagai pedoman bagi pemeluknya. Dalam kitab Yajur Weda XXIII,62 disebutkan: “Ayam yajno Bhuvanasya” yang artinya Yadnya adalah pusat terciptanya alam semesta. Penciptaan adalah karya spiritual dari Yang Maha Esa dan sebagai kridanya memperlihatkan kemulianNya.

Weda sebagai kitab suci agama Hindu diyakini kebenarannya dan menjadi pedoman hidup Umat Hindu, sebagai sumber bimbingan dan informasi yang diperlukan dalam kehidupan sehari-hari ataupun untuk waktu-waktui tertentu.

Diyakini sebagai kitab suci karena sifat isinya dan yang menurunkannya adalah Ida Sang Hyang Widhi Wasa itu sendiri. Weda mengalir dan memberikan vitalitas terhadap kitab-kitab Hindu pada masa berikutnya. Dari kitab suci Weda lah mengalir nilai-nilai keyakinan itu pada kitab-kitab seperti; Smerti, Itihasa, Puruna, kitab Agama, Tantra, Darsana, dan Tattwa-tattwa yang diwarisi oleh umat Hindu sampai saat ini.

Weda mengandung ajaran yang memberikan keselamatan di dunia dan setelah itu. Weda menuntun tindakan umat manusia sejak ada dalam kandungan sampai selanjutnya. Weda tidak terbatas pada tuntunan hidup individu, masyarakat, kelompok manusia, tetapi ia menuntun seluruh hidup dan kehidupan seluruh makhluk hidup.

 

Hindu Sebagai Budaya

Dalam kenyataan hidup bermasyarakat maka antara adat/budaya dan agama sering kelihatan kabur dan bahkan sering tidak dimengerti dengan baik. Tidak jarang suatu adat-budaya yang dipraktekkan dalam kehidupan masyarakat dianggap merupakan suatu kegiatan keagamaan, ataupun sebaliknya, suatu kegiatan keagamaan dianggap adalah kigiatan budaya.

Sesungguhnya antara budaya dan agama terdapat segi-segi persamaannya tetapi lebih banyak segi-segi perbedaannya. Segi persamaannya dapat dilihat dalam hal bahwa kedua norma tersebut sama-sama mengatur kehidupan manusia dalam masyarakat agar tercipta suasana ketentraman dan kedamaian. Tetapi disamping adanya segi persamaan, terdapat juga segi-segi perbedaan. Segi perbedaan itu akan tampak jika dilihat dari segi berlakunya, dimana perwujudan adat-budaya tergantung pada tempat, waktu, serta keadaan (desa, kala, dan patra), sedangkan agama bersifat universal.

Kalau diperhatikan, maka agama dengan ajarannya itu mengatur rohani manusia agar tercapai kesempurnaan hidup. Sedangkan adat budaya lebih tampak pengaturannya dalam bentuk perbuatan lahiriah yaitu mengatur bagaiman sebaiknya manusia itu bersikap, bertindak atau bertingkah laku dalam hubungannya dengan manusia lainnya serta lingkungannya, agar tercipta suatu suasana yang rukun damai dan sejahtera.

Dalam agama Hindu, antara agama dan adat-budaya terjalin hubungan yang selaras/erat antara satu dengan yang lainnya dan saling mempengaruhi. Karenanya tidak jarang dalam pelaksanaan agama disesuaikan dengan keadaan setempat. Penyesuaian ini dapat dibenarkan dan dapat memperkuat budaya setempat, sehingga menjadikan kesesuaian“adat-agama”ataupun’budaya-agama’,artinya penyelenggaraan agama yang disesuaikan dengan budaya setempat.

Demikianlah terdapat didalam agama Hindu, perbedaan pelaksanaan agama Hindu pada suatu daerah tertentu terlihat berbeda dengan daerah yang lainnya. Perbedaan itu bukanlah berarti agamanya yang berbeda. Agama Hindu di India adalah sama dengan agama Hindu yang ada di Indonesia, namun kuliynya yang akan tampak berbeda.

Sedangkan budaya agama adalah suatu penghayatan terhadap keberadaan Ida Sang Hyang Widhi Wasa dalam bentuk kegiatan budaya. Sejak munculnya agama Hindu, usaha memvisualisasikan ajaran agama Hindu kepada umat manusia telah berlangsung dengan baik. Para rohaniawan Hindu, para pandita, orang-orang suci mengapresiasikan ajaran yang terdapat dalam kitab suci Weda kedalam berbagai bentuk simbol budaya. Usaha ini telah terlaksana dari zaman ke zaman. Ajaran yang sangat luhur ini diwujudkan dan disesuaikan dengan desa, kala, dan patra pada waktu itu.

Kalau dilihat dari fakta sejarah, wujud budaya agama itu dari zaman ke zaman mengalami perubahan bentuk, namun tetap memiliki konsep yang konsisten. Artinya, prinsip-prinsip ajaran agama itu tidak pernah berubah yakni bertujuan menghayati Ida Sang Hyang Widi Wasa. Kepercayaan terhadap Ida Sang Hyang Widi Wasa, menjadi sumber utama untuk tumbuh dan berkembangnya budaya agama dan ini pula yang melahirkan variasi bentuk budaya agama. Variasi bentuk itu disesuaikan dengan kemampuan daya nalar dan daya penghayatan umat pada waktu itu. Budaya agama yang dilahirkan dapat muncul seperti “upacara agama”.

Upacara agama pada hakikatnya tidak semata-mata berdimensi agama saja, tetapi juga berdimensi sosial, seni budaya, ekonomi, manajemen dan yang lainnya. Melalui upacara agama, dapat dibina kerukunan antar sesama manusia, keluarga, banjar yang satu dengan banjar yang lain. Upacara agama juga melatih umat untuk bisa berorganisasi dan merupakan latihan-latihan manajemen dalam mengatur jalannya upacara.

Lewat upacara agama ditumbuhkan juga pembinaan etika dan astetika. Upacara agama merupakan motivator yang sangat potensial untuk melestarikan atau menumbuhkembangkan seni budaya, baik yang sakral maupun yang profan. Bahkan upacara agama merupakan salah satu daya tarik pariwisata dan dapat menunjang kehidupan manusia. Keseluruhan budaya agama dalam bentuk upacara agama tersebut merupakan usaha manusia mendekatkan diri kepada Ida Sang Hyang Widi wasa untuk mewujudkan kedamaian dan kebahagiaan yang abadi.

Seperti halnya manusia, tubuh merupakan hasil budaya agama itu sendiri, sedangkan agama Hindu merupakan jiwa atau rohnya agama tersebut. Satu contoh misalnya, budaya agama Hindu pada masyarakat Hindu di Bali dan budaya-budaya Hindu di daerah yang lainnya yang ada di Indonesia.

Kita mengetahui bahwa pada zaman dahulu dan mungkin pada saat sekarang di tanah jawa, bagaimana kitab sastra Hindu seperti Ramayana dan Mahabharata telah disadur ke dalam bahasa Jawa kuno oleh para Empu atau Rsi pada masa itu. Bagaimana umumnya orang-orang Jawa banyak yang tidak tahu, bahwa kitab tersebut, sesungguhnya, adalah kitab-kitab agama Hindu, tetapi umumnya mereka mengenal bahwa, kitab tersebut atau cerita tersebut adalah cerita “pewayangan” milik orang Jawa.

Dari kitab suci Weda oleh para Rsi, Pandita atau orang-orang suci Hindu di Indonesia dengan mengambil jiwa atau idealisme yang dikandungnya kemudian dikodifikasi sehingga lahirlah kitab-kitab sastra yang pada hakikatnya adalah ajaran Hindu yang terdapat dalam kitab suci Weda.

Satu contoh tentang keyakinan akan gunung sebagai tempat suci, berstananya para Dewa dan para roh suci leluhur atau orang-orang suci. Dalam konsep keyakinan umat Hindu, terdapat keyakinan atau ajaran tentang penghormatan kepada roh suci leluhur.

Dalam kitab suci Weda Smerti (Manawadharma Sastra Bab II, 81) disebutkan:
Artinya: “Hendaklah ia sembahyang yang sesuai menurut peraturan kepada Rsi dengan pengucapan Weda, kepada Dewa dengan haturan yang dibakar, kepada para leluhur dengan Sraddha, kepada manusia dengan pemberian makanan, dan kepada para Bhuta dengan upacara kurban”.

Seperti juga disebutkan dalam kitab Upanisad, maka seorang Rsi adalah seorang Acarya, yang patut dihormati seperti dewa. “Acarya Dewa Bhawa” (Tatirya Upanisad I, 11.1). Atas dasar sraddha inilah umat Hindu menghormati para Rsi, orang-orang suci, baik ketika ia masih hidup maupun setelah meninggal nanti.

Demikianlah misalnya umat Hindu di India memuja dan menghormati maha Rsi Vyasa, Agastya, Parasara, Sangkara Carya, Sri Rama Krama, Swami Wiwekananda dan lain-lain. Hal inilah yang melatarbelakangi timbulnya pemujaan leluhur dan pemujaan kepada Ida Sang Hyang Widhi Wasa terdapat pada suatu tempat suci atau pura di Indonesia.

Dalam kitab Ramayana yang umurnya mungkin lebih tua dari kelompok masyarakat Indonesia yang memiliki kepercayaan penghormatan kepada para leluhur. Pada kitab tersebut diceritakan bagaimana figur ideal orang Hindu yang taat beragama, yang ditokohkan sang Dasaratha bahwa Beliau ahli dalam weda, bhakti kepada Tuhan dan tidak pernah lupa memuja leluhur.

Dalam kitab RgWedaVIII.6.28disebutkan:
“Di tempat-tempat yang tergolong hening, di gunung-gunung, pada pertemuan dua sungai, disanalah para Maha Rsi mendapatkan inspirasi yang jernih”.

Gunung bukanlah hasil karya manusia, namun merupakan buah karya dari Ida Sang Hyang Widhi Wasa. Tetapi gunung dipakai oleh umat Hindu sebagai arah atau kiblat penghayatan untuk mendapatkan kehidupan yang direstui Tuhan. Sesungguhnya yang dituju adalah “Amerta”. Amerta, artinya hidup yang sempurna umat Hindu yang dirasakan secara langsung. Gunung dapat memberikan kehidupan, gunung adalah waduk yang dapat menampung bermilyar-milyar kubik air hujan yang turun dari langit. Air itu lalu mengalir menciptakan sungai yang mengalirkan air sepanjang tahun untuk memberikan kehidupan kepada makhluk. Gunung dijadikan arah dan sebagai lambang singgasana Tuhan dan para roh suci leluhur.

Dalam ajatan Hindu antara budaya dan agama terdapat benang merah, yang satu sisi dapat saling mengisi satu dengan yang lainnya, budaya atau adat bukanlah musuh atau saingan yang harus dibasmi dan dicurigai, dalam artian adat budaya yang positif dapat mendukung pelaksanaan acara agama dan ternyata prinsip Hindu yang merangkul budaya dan adat-istiadat lokal nampaknya sejalan dengan program pemerintah yang berusaha membangkitkan segala bentuk adat dan budaya daerah.

TerPopuler