bentuk-bentuk dan tantangan dakwah di era reformasi -->

bentuk-bentuk dan tantangan dakwah di era reformasi



Bentuk Dakwah
Merujuk kepada Q.S. an-Nahl :125, kita dapat mengambil pemahaman bahwa metode dakwah itu meliputi tiga cakupan, yaitu :

1. Al-Hikmah
Hikmah dalam dunia dakwah mempunyai posisi yang sangat penting, yaitu dapat menentukan sukses tidaknya dakwah. Sebagai metode dakwah, al-Hikmah diartikan bijaksana, akal budi yang mulia, dada yang lapang, hati yang bersih, dan menarik perhatian orang kepada agama atau Allah. Dapat dipahami bahwa al-Hikmah adalah merupakan kemampuan dan ketepatan seorang da’i dalam memilih, memilah dan menyelaraskan teknik dakwah dengan kondisi objektif mad’u. Al-Hikmah merupakan kemampuan da’i dalam menjelaskan ajaran-ajaran Islam serta realitas yang ada dengan argumentasi logis dan bahasa yang komunikatif. Al-Hikmah dalam mengenal strata / golongan mad’u.

Dalam menghadapi mad’u yang beragam tingkat pendidikan, strata sosial, dan latar belakang budaya, para da’i memerlukan hikmah, sehingga ajaran Islam mampu memasuki ruang hati para mad’u dengan tepat. Oleh karena itu, para da’i dituntut untuk mampu mengerti dan memahami sekaligus memanfaatkan latar belakangnya, sehingga ide-ide yang diterima dirasakan sebagai sesuatu yang menyentuh dan menyejukkan kalbunya.

Syeikh Muhammad Abduh menyimpulkan dari ayat Al-Qur’an di atas, bahwa dalam garis besarnya, umat yang dihadapi seorang da’i dapat dibagi atas tiga golongan, yang masing-masingnya harus dihadapi dengan cara-cara yang berbeda pula, antara lain :
  1. Golongan cerdik-cendekiawan yang cinta kebenaran dan dapat berfikir secara kritis, cepat dapat menangkap arti persoalan. Mereka ini harus dipanggil dengan “hikmah”, yakni dengan alasan-alasan, dengan dalil dan hujjah yang dapat diterima oleh kekuatan akal mereka.
  2. Golongan awam, kebanyakan orang yang belum dapat berfikir secara kritis dan mendalam, belum dapat menangkap pengertian yang luas. Mereka ini dipanggil dengan “mauidzatun-hasanah”, dengan anjuran dan didikan yang baik dan mudah dipahami.
  3. Golongan yang tingkat kecerdasannya di antara kedua golongan tersebut, belum dapat dicapai dengan “hikmah”, akan tetapi tidak akan sesuai pula bila dilayani seperti golongan awam. Mereka ini dipanggil dengan “mujadalah billati hiya ahsan”, yakni dengan bertukar fikiran, guna mendorong supaya berfikir secara sehat antara satu dengan yang lain dengan cara yang lebih baik.
2. Al-Hikmah dalam arti kemampuan memilih saat bila harus berbicara, bila harus diam.
Pada satu saat boleh jadi diamnya da’i menjadi efektif dan berbicara membawa bencana, tetapi di saat lain terjadi sebaliknya, diam malah mendatangkan bahaya besar dan berbicara mendatangkan hasil yang gemilang. Kemampuan da’i menempatkan dirinya, kapan harus berbicara dan kapan harus memilih untuk diam juga termasuk bagian dari hikmah dalam dakwah.

Kesemuanya penting sekali dalam usaha dakwah. Seorang da’i dapat menghindari pemakaian tenaga yang terbuang-buang, sedangkan hasilnya tidak seberapa malah sering kali negatif.
  • Al-Hikmah dalam mengadakan kontak pemikiran dan mencari titik temu dalam dakwah.
Heterogenitas perbedaan adalah bagian dari hikmah.
  • Al-Hikmah dalam toleransi dengan tidak melepaskan shibghah!
Ada kalanya para pendukung dakwah Islam yang menemui satu atau lebih macam kepercayaan dalam suatu masyarakat, bersama-sama dengan para penganut kepercayaan itu saling mengelakkan konfrontasi, malah juga dalam soal pokok yang penting, seperti arkanul-iman, dan arkanul Islam ─ satu dan lainnya atas nama “toleransi”.

Da’i juga akan berhadapan dengan realitas perbedaan agama dalam masyarakat yang heterogen. Kemampuan da’i untuk bersifat objektif terhadap umat lain, berbuat baik dan bekerja sama dalam hal-hal yang dibenarkan agama tanpa mengorbankan keyakinan yang ada pada dirinya adalah bagian dari hikmah dalam dakwah.
  • Al-Hikmah dalam memilih dan menyusun kata yang tepat.
Da’i yang sukses biasanya juga berangkat dari kepiawaiannya dalam memilih kata, mengolah kalimat dan menyajikannya dalam kemasan yang menarik.

Qaulan Sadiedan
Sadied menurut lughat artinya adalah tepat, mengenai sasaran. Al-Qasyany menafsirkan istilah “qaulan sadiedan” dalam surat Al-Ahzab ayat 70 yakni kata yang lurus (qawiman); kata yang benar (haqqan); kata yang betul, tepat (shawaban).

Maka dapat disimpulkan dalam bidang dakwah “qaulan sadiedan adalah kata yang lurus (tidak berbelit-belit), kata yang benar, keluar dari hati yang suci bersih, dan diucapkan dengan cara yang sedemikian rupa, sehingga tepat mengenai sasaran yang dituju, sehingga panggilan dakwah sampai mengetuk pintu akal dan kalbu para mad’u yang dihadapinya”.

Qaulan Lay-Yinan
Qaulan Lay-yinan lazim diterjemahkan dalam bahasa kita dengan “kata yang lembut”
atau “kata yang manis”. Qaulan Lay-yinan seperti yang dibawakan oleh Pembawa Risalah. Ia mengetuk otak dan hati sekaligus. Ia adalah suara yang dikendalikan oleh jiwa yang beriman. Cara dan gayanya tidak terlepas dari adab. Adab orang berkepribadian, yang bercelupkan “shibghatallah”.

  • Al-Hikmah dalam arti Uswatun Hasanah dan Lisanul Hal.
Ada satu alat menyampaikan dakwah selain daripada lisan dan tulisan, yakni Uswatun Hasanah : contoh teladan yang baik dan Lisanul Hal : tindakan, tanpa suara.

Berdakwah dengan Uswatun Hasanah adalah cara berdakwah dengan melaksanakan ajaran Islam dalam kehidupan pribadi dan kehidupan sosial di berbagai bidang yang dapat menjadi contoh teladan yang baik untuk mad’u. Berdakwah dengan Lisanul Hal adalah cara berdakwah melalui perbuatan dan perilaku nyata yang dilakukan secara langsung oleh da’i.

Da’i tidak boleh hanya sekadar menyampaikan ajaran agama tanpa mengamalkannya. Seharusnya da’ilah orang pertama yang mengamalkan apa yang diucapkannya. Kemampuan da’i untuk menjadi contoh nyata umatnya dalam bertindak adalah hikmah yang seharusnya tidak boleh ditinggalkan oleh seorang da’i. Dengan amalan nyata yang langsung dilihat oleh mad’unya, para da’i tidak terlalu sulit untuk harus berbicara banyak, tetapi gerak dia adalah dakwah yang jauh lebih efektif dari sekadar berbicara.

Al-Mau’izha Al-Hasanah

Secara bahasa, mau’izhah hasanah terdiri dari dua kata, yaitu mau’izhah dan hasanah. Kata mau’izhah berasal dari kata wa’adza-ya’idzu-wa’adzan-idzatan yang berarti nasihat, bimbingan, pendidikan dan peringatan. Sementara hasanah artinya kebaikan.

Mau’izhah hasanah dapatlah diartikan sebagai ungkapan yang mengandung unsur bimbingan, pendidikan, pengajaran, kisah-kisah, berita gembira, peringatan, pesan-pesan positif yang bisa dijadikan pedoman dalam kehidupan agar mendapatkan keselamatan dunia dan akhirat.

Jadi, kalau ditelusuri kesimpulan dari mau’izhah hasanah, akan mengandung arti kata-kata yang masuk ke dalam kalbu dengan penuh kasih sayang dan ke dalam perasaan dengan penuh kelembutan, tanpa membeberkan kesalahan orang lain.

Al-Mujadalah Bi-al-Lati Hiya Ahsan
Dari segi etimologi (bahasa) lafazh mujadalah terambil dari kata “jadala” yang bermakna memintal, melilit. Apabila ditambahkan alif pada huruf jim yang mengikuti wazan Faala, “jaa dala” dapat bermakna berdebat, dan “mujaadalah” artinya perdebatan.

Kata “jadala” dapat bermakna menarik tali dan mengikatnya guna menguatkan sesuatu. Orang yang berdebat bagaikan menarik dengan ucapan untuk meyakinkan lawannya dengan menguatkan pendapatnya melalui argumentasi yang disampaikan.

Dari segi terminologi (istilah) pengertian al-Mujadalah berarti upaya tukar pendapat yang dilakukan oleh dua pihak secara sinergis, tanpa adanya suasana yang mengharuskan lahirnya permusuhan di antara keduanya. Dari pengertian di atas dapatlah diambil kesimpulan bahwa al-Mujadalah merupakan tukar pendapat yang dilakukan oleh dua pihak secara sinergis, yang tidak melahirkan permusuhan dengan tujuan agar lawan menerima pendapat yang diajukan dengan memberikan argumentasi dan bukti yang kuat.

Dakwah Pada Masa Reformasi

Ketika era Reformasi melahirkan banyak partai-partai, maka banyak juga tampil partai-partai, yang berani menyatakan prinsip berasas Islam. Kehadiran partai-partai itu, masih tetap dilihat sebagai bahaya. Aliran politik Islam tetap dicurigai. Ada kecemasan tersendiri. Hal ini telah terjadi, mungkin dikarenakan politisi nasionalis yang bernafas dalam keterikatan dengan paham liberalisme ala barat, dan berdalih demokratisasi. Banyak pula yang mulai menghembus nafas dalam slogan Islam Yes, Partai Islam No.

Ketika pimpinan umat dalam Majlis Ulama Indonesia (MUI), dan Dewan Da’wah, menyerukan kepada umat Islam di Indonesia, untuk tetap memilih calon-calon legislatif yang seaqidah iman atau beragama Islam, maka seruan itu, dinilai tidak proporsional. Seruan pemimpin umat Islam dianggap sangat meresahkan. Bahkan, dinilai membahayakan, bagi kelangsungan kehidupan bernasional. Sangat aneh yang terjadi, perkembangan politik umat Islam sangat lemah, di negeri yang jumlah umat Islamnya terbilang banyak. Perjuangan untuk memperoleh kekuasaan, adalah fenomena politik yang paling menonjol dalam masyarakat.

Porsi kekuasaan yang diperoleh setiap kekuatan sosial masyarakat berujung pada menerjemahkan cita citanya menjadi kenyataan konkrit. Setiap kelompok sosial politik, lewat kekuasaan yang diperoleh, selalu berusaha melakukan alokasi otoritatif nilai nilai yang diyakininya. Demikianlah yang telah terjadi, sejak tahun 1960, tahun 1966, dan tahun 1998.

Demokratisasi yang dibungkus oleh stabilitas keamanan, sangat sering dijadikan penekan, untuk tujuan melemahkan peranan politik umat Islam, sejak dari masa Demokrasi Terpimpin. Akibat langsung yang tampak dan dirasakan adalah, banyak pemimpin umat yang menduduki pucuk pimpinan di partai Islam ditahan dan dipenjarakan. Mohamad Natsir dan Boerhanoeddin Harahap berada dalam tahanan politik dari tahun 1961 hingga 1967. Bapak Prawoto Mangkusasmito, Mohammad Roem, M.Yunan Nasution, E.Z. Muttaqin dan KH Isa Anshary, ditahan pula di Madiun pada tahun 1962. Demikian juga Ghazali Sjahlan, Jusuf Wibisono, Mr. Kasman Singodimejo di Sukabumi. Penangkapan dan penahanan terhadap S. Soemarsono, A. Mukti, Djanamar Adjam, KH.M. Syaaf dan lain. Kebanyakan pemimpin bekas partai Masyumi. Pemimpin kecil di daerah-daerah juga ikut merasakan tekanan-tekanan, setidak-tidaknya dikucilkan. Suatu dinamika perjalanan sejarah politik di Indonesia.

Kemudian, banyak pula partai-partai yang telah membubarkan diri, karena berseberangan dengan kebijaksanaan pemerintah Presiden Soekarno. Namun, tetap dianggap berlawanan dengan Pemerintah Orde Baru. Partai Islam sangat menentang komunisme, tetapi masih tetap disebut, tidak sejalan dengan Orde Baru. Padahal, perjalanan sejarah pemerintahan Orde Baru, dimulai dengan menghapus semua paham politik komunis di Indonesia. Tetapi, gelar yang dicapkan dengan “kontra revolusi”, atau bekas “partai yang dilarang”, masih terus berjalan, hingga puluhan tahun kemudian. Walaupun zaman telah berganti, namun kekuatan umat Islam tetap didorong kepinggiran arena percaturan politik berbangsa.

Berkaitan dengan hal tersebut di atas, timbul beberapa pertanyaan, di antaranya, apakah rasa nasionalisme Natsir dan kawan-kawan, yang pernah memimpin Partai Politik Islam Masyumi itu, masih diragukan Padahal, Mohamad Natsir menilai, nasionalisme adalah fithrah manusia mencintai tanah air yang diyakini sebagai anugerah (rahmat) Allah. Agama Islam mengajarkan agar umatnya menjaga tanah airnya sebagai suatu suruhan Agama Islam. Nasionalisme menurut Natsir, harus mendapatkan nafas keagamaan agar tidak menimbulkan perasaan ta’ashub dan chauvinisme. Karena itu, sejak usia mudanya, Natsir selalu terlibat di dalam perjuangan kemerdekaan Indonesia. Mohamad Natsir menerima pandangan dalam perjuangan, bahwa pembentukan sebuah negara bangsa (nation-state) adalah suatu keharusan. Negara Bangsa, adalah sebuah alat yang perlu untuk merealisasikan ajaran-ajaran Islam kedalam situasi konkrit.Mohamad Natsir menganut keyakinan bahwa politik harus ditundukkan kepada etika yang tinggi. Dengan cara itu, keinginan untuk berkuasa sendiri, tidak sesuai dengannya, dan paham menghalalkan segala cara, harus dihindari jauh-jauh.

Salah paham terhadap Masyumi selalu saja ada. Namun, bila diteliti tujuan Masyumi di dalam anggaran dasarnya, tertera jelas adalah untuk memperjuangkan terlaksananya ajaran dan hukum Islam dalam kehidupan orang seorang, masyarakat, dan negara Republik Indonesia, dalam menuju keridhaan Allah. Dalam pandangan politik-nya, Masyumi sangat konsekwen menentang komunisme dalam segala bentuk.

Pemaksaan kehendak kepada rakyat kecil, telah men-jauhkan masyarakat dari pemerintahnya. Pancasila seakan hanya dijadikan sebagai mantel. Pancasila tidak lagi menjadi falsafah hidup dalam kehidupan berbangsa. Ironis sekali yang terjadi. Organisasi agama juga tidak boleh berazaskan agamanya. Dalam proses sosial secara tidak sadar telah memasuki full grown sekularisme.

Tanpa terasa dominasi golongan minoritas mulai mengganggu rasa keadilan masyarakat luas. Muncul usaha de-Islamisasi. Karena itu, era reformasi yang bergulir sesudahnya, di tahun 1998, sungguh menjadi harapan baru bagi rakyat Indonesia, menuju perubahan. Tetapi, ternyata reformasi belum lagi menyentuh hal-hal yang substasi dalam membangun kehidupan bernegara. Kelihatannya, reformasi baru pada tatanan bungkus saja. Esensi kekuasaan masih bertahan pada kelompok yang mengandalkan kekuatan politik yang besar. Belakangan, kekuasaan berpindah ke tangan yang menguasai sumber keuangan yang melimpah. Demokrasi jadi semacam komoditi yang diperjual-belikan. Masih terasa jauh dari kebenaran dan keadilan. Sementara, kekuatan umat Islam, masih dianggap mencemaskan.

Dakwah dan Tantangannya

Media massa dengan kecanggihan teknologinya saat ini lebih memudahkan proses penyebaran dakwah. Paul Lazarsfeld dan Robert K Merton juga melihat media dapat menghaluskan paksaan sehingga tampak sebagai bujukan. Sejalan dengan itu harus dipahami manfaat dan mudharat teknologi informasi dan komunikasi, serta secara sadar memanfaatkannya untuk mencapai tujuan kita, bukan tujuan-tujuan mereka (pembuat dan pencipta teknologi) . Artinya kita sebagai pengguna informasi baik sebagai subjek atau pun objek jangan sampai terjebak dengan kepentingan-kepentingan yang tersembunyi dabalik kecanggihan media tersebut.

Dengan demikian tantangan para dai untuk berdakwah semakin tinggi, disaat akses terhadap pemanfaatan teknologi informasi dan komunikasi semakin terbuka akan tetapi dilain pihak profesionalisme lembaga dakwah dan para dai dituntut lebih baik, serta tantangan yang paling berat adalah dikala memanfaatkan media yang yang sudah menjadi industry yang profitable untuk tujuan dakwah, dibalik pesan-pesan yang disampaikan. Sebab pemanfaatan teknologi informasi dan komunikasi dewasa ini adalah suatu keniscayaan yang tidak mungkin diabaikan

Disinilah titik perjuangan atau jihad di bidang dakwah oleh para dai atau lembaga dakwah, dimana kalau dulu bangsa-bangsa berjuang menguasai wilayah atau berjuang untuk kemerdekaan wilayahnya, sekarang orang mulai berjuang bidang baru yaitu informasi agar tidak dikendalikan oleh yang menguasai informasi. dalam rangka membebaskan umat dari dari sifat-sifat kejahiliahan modern dengan pendekatan bil hikmah. Menurut Sayid Quthub (1997:22 dalam Enjang As, dkk) dakwah dengan metode hikmah akan terwujud apabila memperhatikan tiga factor. Pertama, keadaan dan situasi orang-orang yang didakwahi. Kedua, ada atau ukuran materi dakwah yang disampaikan agar mereka tidak merasa keberatan dengan beban materi tersebut. Ketiga, metode penyampaian materi dakwah dengan membuat variasi sedemikian rupa yang sesuai dengan kondisi pada saat itu.

Pada akhir abad ke 20an di dunia muslim lahir sebuah kesadaran untuk membangun paradigm baru yang diharapkan dapat memberikan keseimbangan (sintesis) antara paradidigma Timur dan Barat, dan sekaligus dapat menjadi paradigma alternative yang dapat menyembatani perbedaan yang cukup controversial antara paradigma timur yang disebut-sebut paradigm yang disebut sabagai pradigma yang bersifat mistis, religious, serta alamiah denga paradigm Barat yang bersifat positivistik, mekanistik, dan ilmiah. Di mana keduanya memiliki kelebihan dan kekurangan masing-masing. Memahami paradigma dan komunikasi manusia berarti memahami apa yang terjadi selama komunikasi berlangsung dan akhirnya dapat diketahui apa yang dapat diperbuat untuk mempengaruhi dan memaksimalkan hasil-hasil dari kejadian tersebut.

Merubah paradigma berpikir dan budaya kerja adalah langkah strategis yang harus dimulai sekarang ini juga (tanpa menunda sedetikpun), yaitu agar berorientasi kepada sasaran khalayak dan ummah (to client or market oriented) dengan pendekatan “bil hikmah wal mauizah hasanah” dan dengan pemanfaatan media (bi al-tadwin). Langkah strategis tersebut harus diimbangi dengan sumber daya yang berkualitas yang akan menjadi juru dakwah behind the media, behind the technology, behind the screen dan on the screen. Tujuannya adalah menyadarkan kaum muslimin, mendidik jiwa mereka dan membekalinya dengan ketakwaan yang cukup untuk memperlihatkan kepadanya keharusan menyatukan barisan.

Seperti media internet yang akhir-akhir ini perkembangannya sangat fenomenal memiliki pengaruh langsung yang sangat kuat kepada pembacanya. Internet mampu menggerakkan prilaku massa sesuai dengan arah yang dikehendakinya. Kenyataanya massa tidak memiliki daya apa-apa, sehingga karena kehalustajamannya itu, Jalaluddian Rakhmat melukiskannya ibarat seorang pasien yang tidak berdaya apa-apa setelah dimasuki sejenis serum melalui jarum kecil dalam tubuh. Fenomena tersebut dapat kita amati dengan terbentuknya keluarga-keluarga besar elektronik bersatu dalam jaringan social dan jaringkan kerja yang lebih besar, Jaringan-jaringan tersebut akan memberikan jasa pelayan sosial atau bisnis yang diperlukan melalui asosiasi-asosiasi.

TerPopuler