mengidentifikasi faktor-faktor kemiskinan nelayan di indonesia -->

mengidentifikasi faktor-faktor kemiskinan nelayan di indonesia

A. Permasalahan Internal Kemiskinan Nelayan
Penyebab kemiskinan yang terjadi oleh masyarakat nelayan di sebabkan oleh permasalahan internal yang terbagi menjadi beberapa hal diantaranya.

1. Teknologi penangkapan yang masih tradisional. Meskipun jumlah armada penangkapan ikan yang mencapai 412.702 unit pada tahun 1998 –dan ini terbilang besar, namun komposisi armada penangkapan itu masih didominasi oleh armada perikanan kecil. Jumlah armada di atas terdiri dari Perahu Tanpa Motor sebanyak 54 %, Motor Tempel 25 % dan Kapal Motor 21 %. Dengan struktur armada seperti itu akan sulit diharapkan produksi perikanan laut Indonesia dapat ditingkatkan dengan cepat. Perahu Tanpa Motor dan Motor Tempel hanya mampu beroperasi di perairan pantai. Hal ini membawa implikasi pada produksi yang rendah akibat produktifitas yang rendah, kemungkinan terjadinya overfishing di perairan pantai akibat kepadatan tangkap yang tinggi dan potensi konflik antar nelayan akibat kepadatan yang tinggi dan perluasan daerah tangkap yang hanya bersifat horizontal (keperairan wilayah tetangga) dan tidak vertikal. Penurunan produktivitas dipahami mengingat usaha penangkapan terkonsentrasi di daerah pantai dengan upaya penangkapan yang semakin banyak dan intensif, sementara potensi sumberdaya ikan di daerah tersebut cenderung mengalami penurunan.

Armada penangkapan yang relatif besar pun yang berupa Kapal Motor masih didominasi armada dengan ukuran di bawah 5 GT (67 %) dan hanya 0,18 % armada penangkapan dengan ukuran di atas 200 GT. Artinya bahwa jangkauan kapal-kapal tersebut juga masih terbatas. Padahal salah satu alternatif untuk mengatasi over fishing di perairan pantai dan peningkatan produksi perikanan laut adalah mengarahkan target penangkapan ke perairan Zona Ekonomi Ekslusif yang memang belum dimanfaatkan secara optimal.

Permasalahan keterbatasan kapasitas armada dan alat tangkap diatas menyebabkan tingkat produktifitas nelayan yang rendah. Pada tahun 1998, produktifitas nelayan Indonesia hanya 1,64 ton/orang/tahun atau 5,46 kg/orang/hari (dengan asumsi 300 hari kerja dalam setahun). Meskipun di beberapa daerah kehidupan mereka telah mengalami kemajuan, namun sebagian besar terutama nelayan buruh hidup dalam gelimang kemiskinan dimana kebutuhan sehari-hari pun kadang tidak terpenuhi. Ditambah lagi margin keuntungan dari usaha penangkapan ikan lebih banyak dinikmati oleh pihak-pihak di luar nelayan seperti para tengkulak, pedagang tingkat lokal sampai pedagang tingkat internasional. Menurut Damanhuri dalam Satria (2001), margin keuntungan yang diterima nelayan hanya sekitar 5 %.

2. Modal yang tidak memadai. Tidak berkembangnya usaha perikanan tangkap secara optimal salah satunya karena keterbatasan modal baik modal investasi maupun modal usaha. Padahal apabila dilihat dari kebutuhan modal yang diperlukan, usaha penangkapan ikan membutuhkan modal yang relatif besar,misalnya bila dibandingkan dengan usaha pertanian tanaman pangan. Beberapa permasalahan permodalan di dalam usaha penangkapan ikan adalah

a. Keterikatan dengan juragan/pemilik kapal. Bentuk keterikatan ini sebenarnya merupakan suatu hal yang wajar dilihat dari segi ekonomi kelembagaan mengingat bahwa hubungan tersebut merupakan hubungan yang paling optimal selama ini dilaksanakan. Pada dasarnya sebagian besar bentuk kelembagaan yang berkembang di masyarakat nelayan sebagian besar merupakan bentuk kelembagaan non pasar melalui suatu hubungan kontrak (contractual arrangement) yang dalam kerangka ekonomi kelembagaan mengikuti bentuk hubungan principal –agent yaitu suatu hubungan antara dua atau lebih individu atau kelompok dimana yang satu dinamakan principal dan yang lain dinamakan agent. Hubungan principal-agent menekankan perhatian pada suatu rancangan struktur insentif untuk suatu tujuan efisiensi pada keadaan informasi yang asimetris (asymetric information). Sistem kontrak (contractual arrangemet) merupakan solusi dari hubungan ini yang membawa agent ke dalam suatu bentuk kerjasama dengan principal. Principal setuju memberikan suatu insentif tertentu kepada agent, di lain pihak agent setuju melakukan tindakan atas nama dan untuk kepentingan principal. Pada perikanan tangkap yang bertindak sebagai principal biasanya adalah pedagang yang terkadang juga bertindak sebagai juragan/pemilik kapal dan nelayan bertindak sebagai agent. Diantara juragan dan neleyan telah ada suatu persetujuan/komitmen yang mengatur hak dan kewajiban diantara keduanya. Perlunya persetujuan ini didasarkan pada fakta bahwa pada dasarnya antara kedua belah pihak mempunyai kepentingan yang berbeda. Keadaan demikian selanjutnya akan mengakibatkan suatu konflik oleh karena setiap individu/kelompok akan memaksimumkan keuntungannya masing masing tanpa memperhatikan kepentingan pihak lain.

Bentuk hubungan principal- agent dalam kasus juragan – nelayan muncul akibat adanya informasi yang asimetris yang akan berdampak pada pembebanan resiko kegagalan. Informasi yang asimetris tersebut disebabkan karena sifat dari sumberdaya ikan sendiri yang tidak pasti (karena keberadaannya di dalam perairan tidak dapat diprediksikan dengan tepat baik jenis maupun jumlahnya, karakteristik dari usaha penangkapan ikan sendiri yang penuh dengan resiko kegagalan. Hal ini terkait dengan faktor-faktor alam yang berada di luar kendali manusia seperti adanya gelombang besar, angin dan keadaan cuaca lainnya yang memungkinkan terjadinya kegagalan dalam usaha penangkapan ikan itu sendiri.Untuk mengatasi berbagai resiko tersebut, maka persetujuan antara principal dan agent (juragan kapal dan nelayan) akan dilakukan dengan melibatkan mekanisme kelembagaan transaksi yang berfungsi ganda dimana didalamnya paling tidak terdapat tiga jenis transaksi secara simultan yaitu pasar kredit, pasar tenaga kerja, dan pasar komoditas. Oleh karena itu kelembagaan usaha perikanan tangkap dalam pandangan nelayan, dengan demikian tidak hanya memiliki fungsi untuk mentransaksikan ikan tetapi juga menjadi kelembagaan transaksi jasa yang dibutuhkan nelayan secara simultan.

b. Ketidakmampuan perbankan dalam memberikan kredit. Hubungan antara nelayan dengan para pemilik modal/juragan semakin kuat seiring dengan tidak adanya lembaga keuangan –terutama formal – yang dapat menggantikan peran para juragan tersebut. Dengan metode konservatif yang selama ini diberlakukan oleh lembaga-lembaga keuangan, maka lembaga tersebut akan selalu mengalami berbagai kegagalan. Berdasarkan teori pasar persaingan sempurna (perfect competitive market) diasumsikan bahwa “dalam dunia yang sempurna” transaksi ekonomi menggunakan informasi yang diasumsikan tidak meminta biaya (information is perfect and costless). Sehingga peranan informasi dalam sistem finansial menjadi pasif, yaitu sumber dana keuangan disediakan guna membiayai kegiatan-kegiatan yang diperkirakan menguntungkan. Namun ternyata, dalam dunia yang sebenarnya (the real world situation) informasi tersebut bersifat sangat tidak sempurna dan untuk memperolehnya harus menanggung biaya yang bisa menjadi besar. Dengan demikian maka dalam penyaluran kredit akan mengahadapi permasalahan informasi yang asimetris yang harus menanggung beban biaya bagi keperluan monitoring dan verifikasi, serta biaya yang dibutuhkan untuk mewujudkan kontrak (contract enforcement). Dalam situasi seperti itu, maka alokasi kredit tidak otomatis dialokasikan kepada para penerima yang terbaik. Informasi yang asimetris ini akan menimbulkan berbagai persoalan baik sebelum (ex-ante) yaitu kegagalan memilih nasabah (adverse selection of risk) maupun sesudah (ex-post) diberikan kredit yang berupa kerusakan moral (moral hazard) dari peminjam kredit, terjadinya free rider yang mencari kesempatan di dalam kesempitan tanpa mau membayar resiko, dan insentif yang salah arah (incentive incompatibility).

c. Kegagalan program pemerintah memberikan skim kredit. Telah banyak program pemerintah yang diluncurkan untuk membantu permodalan di pedesaan termasuk untuk desa pesisir dimana sebagian besar berusaha di bidang penangkapan ikan. Program-program pemerintah tersebut diantaranya adalah program Bimas, KUT, KCK, Kupedes dan lain-lain. Namun demikian dalam perjalannya program-program tersebut mengalami kegagalan yang diakibatkan oleh ketidakmampuan lembaga-lembaga pemerintah tersebut untuk memahami perilaku dan karakteristik dari masyarakat pedesaan itu sendiri. Hal ini berakibat pada tingginya biaya yang dikeluarkan untuk mendapatkan informasi mengenai perilaku masyarakat peminjam tersebut, belum lagi persoalan pengelola program yang sering melakukan berbagai kerusakan moral (moral hazard). Kebijakan lain yang diterapkan pemerintah adalah dengan adanya bantuan kredit murah yang disubsidi maupun bantuan yang bersifat bergulir. Pada awalnya program-program tersebut diperuntukkan bagi kelompok sasaran (target group) golongan masyarakat lemah dan miskin. Namun dalam pelaksanaannya terjadi bias karena yang menikmati program-program tersebut hanyalah kelompok masyarakat menengah ke atas yang berada di wilayah pedesaan seperti juragan kapal, pedagang pengumpul dan lain-lain. Lagi-lagi permasalahannya adalah bahwa program-program tersebut mensyaratkan pengembalian sesuai dengan jangka waktu program. Padahal apabila dilihat dari kelancaran usaha dan kemampuan mengembalikan pinjaman, maka golongan masyarakat menengah dan atas lebih berpeluang untuk mendapatkannya.

Di samping itu, kebijakan bantuan kredit pemerintah di masa lalu selalu dilakukan dengan penyeragaman tanpa melihat bentuk dan karakteristik usaha kelompok sasaran. Apabila diperhatikan kebutuhan modal nelayan untuk menangkap ikan jauh lebih tinggi dibandingkan dengan usaha-usaha pertanian lainnya. Sayangnya, pemberian kredit untuk kedua usaha tersebut terkadang disamaratakan. Hal ini berakibat pada tidak digunakannya kredit yang diberikan untuk kegiatan usaha produktif penangkapan ikan.

d. Budaya konsumerisme dan kesulitan dalam pemupukan modal. Kondisi ini dapat dilihat dari kenyataan bahwa pada saat puncak ikan dimana para nelayan mendapatkan hasil yang cukup besar, sebagian besar pendapatan mereka dihabiskan saat itu juga. Budaya konsumersisme di kalangan nelayan cukup tinggi. Di sisi lain, ketika musim paceklik ikan, mereka mengalami kesulitan keuangan bahkan untuk mencukupi kebutuhan rumah tangga mereka sendiri sekalipun. Implikasi lebih lanjut dari budaya konsumerisme di atas adalah upaya pengembangan usaha lewat pemupukan modal melalui tabungan belum menjadi suatu kebiasaan nelayan. Kesulitan dalam hal permodalan baik untuk investasi maupun operasional melaut, mereka atasi dengan meninjam kepada para tengkulak. Tentu saja hal ini membebani nelayan karena imbalannya adalah mereka harus menjual hasil tangkapannya kepada para tengkulak dengan harga yang sudah ditentukan.

3. Sumberdaya Manusia. Secara kuantitas jumlah nelayan Indonesia terus mengalami peningkatan. Selama periode 1989-1998, jumlah tersebut mengalami pertumbuhan rata-rata 5 % pertahun. Pada tahun 1998, nelayan perikanan laut berjumlah 2.274.629 orang yang terdiri dari nelayan penuh (20,51 %), nelayan sambilan utama (34,53 %) dan nelayan sambilan tambahan (14,76). Nelayan-nelayan tersebut masih terkonsentrasi pada wilayah-wilayah tertentu terutama pada wilayah dimana perairan pantai cukup dominan. Jumlah nelayan terbesar terdapat di wilayah Utara Jawa yang mencapai 541.580 orang atau 23,8 %.

4. Dilihat dari tingkat pendidikannya, sebagian besar nelayan Indonesia merupakan tamatan SD bahkan tidak pernah mengenyam pendidikan formal sekalipun. Hal ini tentu saja berimplikasi pada tingkat penerimaan nelayan terhadap teknologi baru yang rendah – meskipun pada hakekatnya untuk membantu mereka sekalipun. Apalagi terhadap penguasaan teknologi-teknologi maju dan canggih yang dapat meningkatkan produktifitas penangkapan mereka. Demikian pula halnya dengan tingkat pengetahuan mereka terhadap produk-produk hukum yang mengatur usaha penangkapan ikan. Hal ini terlihat dengan tidak efektifnya penerapan jalur-jalur penangkapan yang dibuat pemerintah. Demikian pula halnya dengan penerapan UU no. 22 tahun 1999 dimana penafsiran yang keliru terhadap UU tersebut sering menimbulkan konflik antar nelayan antar daerah maupun antar alat tangkap yang berbeda.

B. Permasalahan Eksternal Kemiskinan Nelayan
Selain dari permasalahn internal yang meyebabkan kemiskinan pada masyarakat nelayan, juga terdapat permasalahan external yang menjadi penyebab kemiskinan nelayan yang di bagi dalam beberapa hal diantaranya.

1. Terjadinya Perubahan Potensi Sumberdaya Ikan
Penurunan stok sumberdaya terutama terjadi di perairan-perairan pantai dimana operasi penangkapan terkonsentrasi di sana dengan upaya penangkapan yang sedemikian intensif. Sedangkan untuk wilayah perairan lepas dan laut ZEEI, potensi tersebut masih relatif besar. Alternatif untuk mengatasi persoalan tersebut adalah mau tidak mau nelayan harus mengalihkan daerah tujuan penangkapannya ke perairan-perairan yang lebih jauh yaitu ke perairan-perairan ZEEI.

2. Keterbatasan Sarana dan Prasarana Pendukung
Berbicara masalah perikanan tangkap tidak dapat dilepaskan dari pembicaraan mengenai prasarana pelabuhan perikanan sebagai salah satu sub sistemnya. Kemajuan perikanan tangkap dapat dilihat dari sejauhmana pelabuhan perikanan berkembang. Lebih dari itu, pelabuhan perikanan merupakan pusat segala aktifitas yang berhubungan dengan usaha penangkapan ikan dan usaha –usaha pendukung lainnya seperti usaha penyediaan bahan perbekalan, perkapalan, perbengkelan, pengolahan hasil tangkapan dan lain-lain.
Undang-Undang No. 9 tahun 1985 menyebutkan bahwa pelabuhan perikanan sebagai sarana penunjang untuk meningkatkan produksi dan sesuai dengan sifatya sebagai suatu lingkungan kerja mempunyai fungsi sebagai pusat pengembangan masyarakat nelayan, tempat berlabuh kapal perikanan, tempat pendaratan ikan hasil tangkapan, tempat untuk memperlancar kegiatan-kegiatan kapal perikanan, pusat pemasaran dan distribusi ikan hasil tangkapan, pusat pelaksanaan pembinaan mutu hasil perikanan, serta pusat pelaksanaan penyuluhan dan pengumpulan data perikanan. Namun demikian, fungsi-fungsi tersebut belum sepenuhnya dapat dilaksanakan dengan baik. Hal ini terlihat dari kenyataan banyaknya pelabuhan perikanan yang tidak beroperasi baik akibat dari kesalahan perencanaan maupun kesalahan pengelolaannya.

Salah satu usaha penunjang di Pelabuhan Perikanan/Pangkalan Pendaratan Ikan adalah penyediaan bahan perbekalan melaut yang meliputi penyediaan bahan bakar minyak, es, air bersih, bahan makanan dan lain-lain. Ketersediaan bahan perbekalan tesebut sangat berpengaruh terhadap kelancaran operasi penangkapan maupun mutu ikan hasil tangkapan.

3. Kebijakan bidang penangkapan masih belum jelas dan belum memberikan hasil signifikan bagi peningkatan produksi perikanan dan kesejahteran nelayan Selama ini kebijakan penangkapan masih belum memberikan insentif terhadap pertumbuhan ekonomi regional maupun nasional terlebih lagi bagi peningkatan kesejahteraan nelayan. Beberapa kebijakan yang dapat diidentifikasi diantaranya adalah :

a. Paradoks antara upaya pemberdayaan nelayan tradisional dengan kebijakan izin kapal asing. Beberapa kebijakan pemerintah telah dikeluarkan untuk mengatur pemanfaatan ZEEI melalui operasi kapal asing yang pada intinya mengizinkan operasi kapal asing untuk mendorong peningkatan produksi perikanan laut nasional. Namun dalam prakteknya kebijakan yang dibuat tidak banyak memberikan kontribusi terhadap peningkatan produksi perikanan nasional bahkan cenderung merugikan. Operasi kapal berbendera asing yang merambah perairan pantai dengan teknologi canggih menjadi ancaman bagi nelayan dan membuat nelayan sulit mendapat hasil tangkapan. Belum lagi pendaratan yang tidak dilakukan pada pelabuhan yang ditunjuk sebagai check point dan terjadinya penjualan ikan ditengah laut untuk didaratkan diluar negeri (transhipment) menyebabkan operasi kapal berbendera asing tidak memberikan kontribusi bagi peningkatan ketersediaan bahan baku untuk industri perikanan nasional termasuk industri fishmill yang mengalami kelangkaan bahan baku. Bahkan ketentuan pengoperasian dengan sistem sewa oleh perusahaan nasional, dalam prakteknya menjadi sewa atas ijin yang dimiliki oleh perusahan nasional oleh kapal asing (munculnya praktek paper company)

Keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan No. 60/MEN/2001 mengenai pengaturan kapal asing di Indonesia pada hakekatnya memberikan peluang terjadinya pengeksploitasian sumberdaya perikanan laut Indonesia secara besar-besaran oleh kapal-kapal perikanan asing. Belum lagi terjadinya kolusi antara perusahaan perikanan Indonesia yang hanya berfungsi sebagai rent seeker (pencari untung tanpa melakukan kegiatan usaha) dalam sistem usaha patungan. Demikian pula halnya dengan sistem lisensi yang memungkinkan kapal penangkapan asing beroperasi melebihi kapasitas penangkapan yang diperbolehkan atau mengoperasikan kapal melebihi izin yang diberikan.

TerPopuler