teori konsep ashabiyah ibnu khaldun -->

teori konsep ashabiyah ibnu khaldun

KONSEP ASHABIYAH IBNU KHALDUN
konsep ashobiyah ibnu khaldun
Ashobiyah sebagai core (inti) pemikiran Ibnu Khaldun
Secara umum, konsep ashobiyah khaldun memiliki spektrum yang luas dalam menjelaskan relasi relasi kultural setidaknya terdapat lima bentuk ashobiyah.
  1. Ashobiyah kekerabatan dan keturunan adalah ashobiah yang paling kuat
  2. Ashobiyah persekutuan terjadi karena keluarnya seseorang dari garis keturunannya yang semula kegari keturunan yang lain
  3. Ashobiyah kesetiaan yang terjadi karena peralihan seseorang dari garis keturunan dan kekerabatan ke keturunan yang lain akibat kondisi-kondisi sosial. Dalam kasus yang demikian, ashabiah timbul dari persahabatan dan pergaulan yang tumbuh dari ketergantungan seseorang pada garis keturunan yang baru
  4. Ashobiyah penggabungan yanitu ashobiyah yang terjadi dari larinya seseorang dari keluarga dan kaum yang lain
  5. Ashobiyah perbudakan yang timbul dari hubungan para budak dan kaum mawali dengan tuan-tuan mereka (Al-khudairi,1995: 145-6)
Kelima konsep ashobiyah diatas berangkat dari kehidupanmasyarakat nomaden, tetapi ibnu khaldun juga melihat dan meneropong kehidupan masyarakat menetap yang memiliki cara pandang yang lebih maju dalam menentukan arah masyarakat yang lebih beradab. Meski demikian, kerangka ini dapat mengambarkan tingkat solidaritas warga yang kuat, dengan kekuatan soladiritas itu, menurut ibnu khaldun mereka akan berhasil menaklukkan banyak bangsa didunia (Zainuddin, 1992: 165). Lebih dari itu, konsep ashobiyah menuru az hari (1992) mengandung dua makna yakni bisa bersifat destruktif apabila dengan berbagai cara cenderung digunakan untuk menjatuhkan pemerintah atau penguasa. Ashobiyah jenis ini sering kali terjadi dalam masyarakat yang masih memiliki sistem sosial politik yang alamiah atau kesukuan, tetapi juga dapat terjadi dalam sistem sosial yang sudah lebih maju dan modern. Sementara ashobiah yang menjadi kekuatan konstruktif apabila digunakan untuk mengontrol dan mengawasi sekaligus mendorong pemerintah menjalankan tugas dan fungsinya secara proporsional, adil dan beradab.

Dalam struktur negara yang menjadi cita-cita akhir dari setaip kelompok atau suku itulah pertarungan dan peperangan terjadi. Menurut ibnu khaldun tujuan akhir dari ashobiyah tersebut diatas adalah tercapainya kekuasaan tertinggi dalam negara, kekuasaan disini tidak di maknai dalam arti pada kekuasaan suku yang di jalankan dengan paksaan. Siapapun dan suku manapun yang memperoleh kekuasan tertinggi tersebut, maka ia akan berupaya dengan berbagai kekuatan untuk mempertahankannya. Dalam hal ini ibnu khaldun menganggap ashobiyah sebagai suatu kekuatan dan pengaruh didasarkan atas kesamaan. Kesamaan itu tidak hanya kesamaa yang didasarkan atas ikatan darah, tetapi juga di dasarkan atas pengetahuan yang lebih luas tentang persaudaraan (Al-khudairi, 1995: 142)

Konsep ashobiyah tidak berdiri sendiri sebagai suatu konsep teori, tetapi memiliki kaitannya dengan konsep-konsep yang telah ada dan berkembang pada waktu itu. Setidaknya terdapat tiga kecenderungan konseptual yang telah berkembang ; pertama, idealisme Vs realisme. Dalam masyarakat berkembang corak berpikir yang berdasarkan pada hal-hal ideal yang berkaitan pencapaian pada tujuan-tujuan normatif dan juga ada kalangan yang cenderung pada kenyataan-kenyataan kehidupan yang di hadapinya. Cara pandangan pertama lebih bersifat spiritualistik-eternalistik – absolutistik, yang kedua lebih bersifat relativistik – temporalistik – materialistik.

Kaum absolutistik memandang konflik dan kekejaman sebagai suatu perbuatan yang hina, memalukan, dan tidak layak di miliki oleh suatu bangsa atau negara. Tetapi kelompok relativistik dimana ibnu khaldun mengambil posisi kedua ini memandang bahwa kekejaman tidak mempunyai konotasi jelek, sebab dapat diartikan dengan kejantanan, keberanian, kebebasan, kebanggan dan semacamnya peradaban sendiri bisa berkonotasi kelembutan, kewanitaan, kekuatan, penghinaan, dan sebagainya, yaitu sifat-sifat yang dianggap buruk pada manusia. Kekerasan dan kekejaman menurut khaldun merupakan suatu sikap hidup, cara berfikir, dan tungkahlaku mereka yang hidup secara nomad dan masyarakat primitif (baali dan wardi, 2003: 24-25).

Kedua, kekuatan Vs kebenaran. Di sementara kalangan umat islamterhadap paham akan datangnya ratu adil ( imam mahdi) yang terkenal dengan sebutan ‘mohdiisme’. Paham ini terutama berkembang dikalangan syiah. Merekalah kelompok pertama dalam islam yang merakan ketidak adilan dibawa pemerintahan bani umayyah. Selain kaum sufi waktu itu. Meskipun keduanya mempunyai perbedaan pandangan dalam hal ini. Syiah berpendapat bahwa mahdi adalah tokoh historis yang hidup pada masa lampau kemudian menghilang, dan sedang menunggu perintah dari Allah untuk muncul kembali sebagai juru selamat ( baali dan wardi, 2003).

Selain syiah sebagai kelompok oposisi “sepanjang masa” dalam islam, juga muncul sebagai perlawanan dan penentangan dari kalangan islam seperti munculnya khwarij, muttazilah dan paham-paham lainya, lebih keras lagipersaingan dalam soal politik dan kekuasaan. Kelompok lain itu adalah kelompok sufi yang memberikan pandanganya mengenai pertentangan yang muncul diseputar isu tentang mahdi. Kelompok sufi berpendapat bahwa mahdi itu manusia bisa yang akan dilahirkan pada suatu masa yang akan datang, dan setelah dewasa ia akan muncul mengemban misinya membebaskan masyrakat. Paham akan datangnya imam mahdi tampaknya timbul akibat kesenjangan yang lebar antara prinsip ideal dan kenyataan aktual dari kehidupan masyarakat yang berkembang. Untuk merekonsilasi antara ideal yang lama dengan real yang ada kini. Masyarakat biasanya mengacu pada doktrin masa depan berupa harapan adanya kedatangan ratu adil. Ibnu khaldun secara terang-terangan menolak kedatangan imam mahdi ia meyakiani bahwa masyarakat itu datur oleh proses dialexis ibnu khaldun berbeda dengan dialektika sufi yang terlalu banyak di pengaruhi unsur idealisme. Pendorong utama di balik konsep dialektika ibnu khaldun adalah ashabiyah. Ia berpendapat bahwa mahdi yang baik ialah mahdi yang dapat mengarahkan ashabiyah yang tumbuh ketujuan yang alami (ibnukhaldun 2000).

Ibnu khaldun lebih menyukai mereka yang bergerak mengikuti, daripada mereka yang menentang dialektika sosial (bergerak melingkar dari baik keburuk, kemudian menjadi baik kembali) sebagaimana konsep kaum sufi kalau boleh dibandingkan kritik ibnu khaldun terhadap kaum sufi mirip dengan kritik marks terhadap hegel yang menolak konsep idealisme hegel dan menggantinya dengan realisme (baali dan wardi 2003) khaldun sendiri tidak menyederhanakan persoalan hanya dengan menyatakan bahwa kekuatan ashabiyah yang akan menghasilkan kebenaran. Ia melihat ashabiyah dalam konteks nomaden. Lebih lanjut ia mengatakan syeikh nomadis yang mempunyai ashabiyah yang kuat biasanya juga seorang pemimpin yang baik. Pribadi kekuatan dan kebenaran biasanya berjalan seiring. Ashabiyah yang kuat juga menunjukkan watak yang baik dan kualitas kepemimpinan yang tinggi (baali, 2003). Kemudian khaldun mengklasifikasikan posisi raja kedalam kategori pemimpin dan penguasa. Ternyata ashabiyah tidak memperoleh tempat bila kekuasaan memegang peranan. Apabila kekuasaan mulai mengganti kepemimpinan ashabiyah setahap demi setahap kehilangan kekuatan dan akhirnya mati. 



TerPopuler