pemikiran ekonomi ibnu khaldun -->

pemikiran ekonomi ibnu khaldun

Ekonomi dalam Perspektif Islam
Studi tentang ekonomi perspektif Islam telah banyak dilakukan oleh sarjana ekonomi Islam dan ahli hukum Islam dalam beberapa dekade terakhir ini. Konsep-konsep umum tentang ekonomi Islam adalah keseimbangan sosial antara mereka yang memiliki harta kekayaan dengan mereka yang miskin. Beberapa konsep dasar yang perlu dikemukakan dapat digambarkan berikut ini.

1. Prinsip Islam Mengenai Ekonomi dan Kepemilikan
Seseorang dikatakan Muslim apabila mengucapakan dua kalimat syahadat, diteruskan dengan mendirikan shalat, mengeluarkan zakat, berpuasa pada bulan Ramadhan dan menunaikan ibadah haji. Dalam hal ini, kewajiban ketiga yakni zakat menjadi pilar penting Islam yang berkaitan dengan kepemilikan yang harus dipahami seseorang sebagai kewajiban dihadapan Tuhan. Zakat atau pun pajak dapat menjadi prinsip dasar untuk menciptakan keseimbangan sosial, selain itu zakat juga menjadi sarana menyucikan harta benda yang dimiliki seseorang.

Setiap orang dalam pandangan Islam memiliki hak dan kewajiban, kaum miskin memiliki hak dan kaum yang kaya memiliki kewajiban. Kaum miskin memiliki hak atas harta kaum kaya dan kaum kaya memiliki kewajiban untuk membayar zakat kepada kepada kaum miskin. Ini merupakan prinsip keseimbangan yang diajarkan Islam, kewajiban zakat menempatkan persoalan ini dalam wilayah hukum dan moral. Ashobiyah atau solidaritas sosial adalah bagian dari iman, karena itulah kesaksian yang paling nyata atas keimanan itu adalah berbagi kepda sesama. Bersama itu adalah ajaran dasar pilar ketiga Islam (Ramadan, 2003: 182).

Dalam zakat terdapatb dimensi moral sebagaimana keagungan moral Rasulullah SAW (Innaka la khulukin adhim), terdapat empat petunjuk agung dalam kaitan dengan zakat ini (Ramadan,2003); pertama, mengharapakan Ridha Tuhan dan bersedekah karena-Nya. Dalam al-Qur’an, Allah telah memberikan prinsip moral tersebut, misalnya ayat berikut”...Dan mereka memberikan makanan yang disukainya kepada orang miskin, anak yatim dan orang yang ditawan. Sesungguhnya Kami memberi makanan kepadamu hanyalah untuk mengharapkan keridhaan Allah, Kami tidak menghendaki Balasan dari kamu dan tidak pula (ucapan) terima kasih....” (QS. Al-Insaan [78]: 8-9). Ayat ini jelas menggambarkan paralelisme antara “keuntungan” bersedekah di jalan Tuhan dengan perumpamaan berkembangnya kehidupan alam yang menawarkan kebaikan tanpa pamrih. Dengan jelas ayat berikut; perumpamaan (nafkah yang dikeluarkan oleh) orang-orang yang menafkahkan hartanya di jalan Allah adalah serupa dengan sebutir benih yang menumbuhkan tujuh tangkai, pada tiap-tiap tangkai: seratus biji. Allah melipat gandakan (ganjaran) bagi siapa yang Dia kehendaki. Dan Allah Mahaluas (Kurnia-Nya) lagi Maha Mengetahui. (QS. Al-Baqarah [2]: 261). Kedua, memberi ukuran yang tepat. Mengeluarkan bagian dari harta kita untuk membantu orang miskin haruslah didasarkan pada ketulusan dan tidak memiliki pamrih apa pun, karena itu, ukuran yang tepat untuk sedekah adalah


29. dan janganlah kamu jadikan tanganmu terbelenggu pada lehermu dan janganlah kamu terlalu mengulurkannya[852] karena itu kamu menjadi tercela dan menyesal. [852] Maksudnya: jangan kamu terlalu kikir, dan jangan pula terlalu Pemurah. Dalam ayat lain Allah menyebutkan

67. dan orang-orang yang apabila membelanjakan (harta), mereka tidak berlebihan, dan tidak (pula) kikir, dan adalah (pembelanjaan itu) di tengah-tengah antara yang demikian.

Mengeluarkan zakat atau sedekah berarti memberi makna hidup kepada seseorang, oleh karena dalam setiap jiwa saudara kita memiliki hak terhadap diri kita dan kita harus merespon hak-hak tersebut. Dari pola tersebut akan muncul kesadaran sosial untuk memperkuat solidaritas kelompok, komunitas dan sesama manusia untuk menciptakan keseimbangan sosial sesuai dengan ukuran dan takaran yang dibenarkan oleh agama.

Ketiga, memerangi egoisme dan penimbunan kekayaan. Pesan penting dari zakat adalah mengusung kolektifisme dan memerangi individualisme serta egoisme. Dengan sangat baik Islam memberikan penegasan mengenai makna hidup bagi Muslim, bahwa harta benda bukanlah tujuan dari kehidupan, melainkan sarana untuk dapat mendekatkan diri kepada Tuhan. Allah berfirman :
9. dan orang-orang yang telah menempati kota Madinah dan telah beriman (Anshor) sebelum (kedatangan) mereka (Muhajirin), mereka (Anshor) 'mencintai' orang yang berhijrah kepada mereka (Muhajirin). dan mereka (Anshor) tiada menaruh keinginan dalam hati mereka terhadap apa-apa yang diberikan kepada mereka (Muhajirin); dan mereka mengutamakan (orang-orang muhajirin), atas diri mereka sendiri, Sekalipun mereka dalam kesusahan. dan siapa yang dipelihara dari kekikiran dirinya, mereka Itulah orang orang yang beruntung.
Ayat ini menegur dengan keras orang-orang yang menimbun harta, tujuannya adalah membangkitkan kesadaran kolektif dalam rangka membantu sesama manusia dengan mengeluarkan zakat dan sedekah.

Keempat, menunjukkan sikap hati-hati. Mengelurkan zakat atau sedekah pada dasarnya merupakan representasi keimanan dan ketaatan kepada Allah. Keimanan seseorang akan diukur dengan kepedulian kepada sesama, meraskan kesulitan sesama dan mengeluarkan sedekah dari harta yang dimiliki sebagai bentuk pertanggungjawaban sosial kepada sesama manusia. Memberikan sedekah kepada fakir-miskin dapat dilakukan dengan sembunyi (diam-diam) ataupun tersng-terangan, tetapi lebih baik nagi kamu kata Allah kalau dilakukan dengan cara diam-diam.

Prinsip keseimbangan dengan zakat mengindikasikan adanya distribusi kekayaan secara sadar dari mereka yang memiliki kekayaan untuk meningkatkan ashobiyah atau mengusung kolektivisme sekaligus memberikan landasan bagi terciptanya perekonomian yang manusiawi, jauh dari eksploitasi dan ketidakadilan sosial. Dengan zakat yang di zaman Ibnu Khaldun pun telah dilembagakan sebgai suatu kewajiban individu dalam rangka memperkuat ashobiyah dan ikatan sosial, tentu saja memberikan dampak bagi proses kedekatan kepada Tuhan. Zakat merupakan kewajiban kepada Tuhan dan sekaligus kewajiban sesama manusia.

2. Dasar Ekonimi Islam

Ekonomi masyarakat Muslim adalah yang berdasarkan pada prinsip-prinsip Islam, tidaklah sama dengan ekonomi liberal an kapitalis. Ekonomi Islam tidak persis sama dengan ekonomi sosilis-marxix yang menghilangkan hak milik pribadi. Ekonomi Islam mengakui adanya hak milik pribadi, tetapi hak milik itu dibatasi dengan adanya sejumlah kewajiban kepada mereka yang memiliki harta kekayaan. Dalam ekonomi Islam terdapat beberapa dasar pijakan (lihat Ramadan, 2003); pertama, prinsip ketauhidan dan kepemimpinan. Kedua, kepemilikan pribadi dan ketiga, larangan riba.

Dimensi Ekonomi dalam Filsafat Ibnu Khaldun
Banyak penulis tentang Ibnu Khaldun yang menyebutkan bahwa dalam filsafat sejarah Ibnu Khaldun terkandung makna-makna ekonomi. Dalam setiap kehidupan aspek ekonmi selalu menjadi faktor krusial, menurut Gaston Bouthoul dalam karyanya Ibnu Khaldun, sa Philosphie Sociale menyebutkan setidaknya terdapat dua hal yang sulit dipisahkan dari eksistensi kehidupan manusia yaitu aspek yang berkaitan dengan realitas ekonomi dan realitas psikis (al-Khudairi, 1995: 117). Berdiri dan tegaknya suatu masyarakat, bangsa dan negara menurut Ibnu Khaldun akan sangat ditentukan oleh stabilitas ekonomi, oleh karena itu, suatu negara berdiri atas partisipasi aktif masyarakat dengan membayar pajak atau zakat sesuai dengan yang di sunnahkan oleh agama.
Sumber: Jurdi, Syarifuddin, 2012, Awal Mula Sosiologi Modern : Kerangka Episemologi, Metodologi, dan Perubahan Sosial Perspektif Ibn Khaldun, Kreasi Wacana, Makassar.

TerPopuler