agama dan ekonomi - hubungan agama dengan ekonomi -->

agama dan ekonomi - hubungan agama dengan ekonomi


Pengertian Agama

Menurut KBBI, agama adalah sistem kepercayaan kepada Tuhan. Dalam Dictionary of Religion disebutkan bahwa “agama” berasala dari bahasa Sansekerta yang berarti “tradisi”.

Kata lain yang setara dengan “agama” adalah “religi” yang berasal dari bahasa Latin, re-ligare, yang berarti “mengikat kembali (kepada Tuhan)”. Di Eropa, agama itu adalah sesuatu yang tidak dapat dicapai hanya dengan akal dan pendidikan saja (McMuller dan Herbert Spencer). Beberapa definisi di atas menggambarkan bahwa agama hanya menghubungkan antara manusia dengan Tuhan.

Sedangkan dalam bahasa Arab, agama biasa disebut dengan ad-dîn. Jika agama atau religi hanya berisi hubungan manusia dengan Tuhan, namun ad-dîn tidak hanya mengatur hubungan manusia dengan Tuhan tapi juga hubungan manusia dengan manusia lainnya. Jadi berdasarkan penjelasan tersebut, agama atau religi merupakan bagian dari ad-dîn.

 

Pengertian Ekonomi

Ekonomi adalah sistem aktivitas manusia yang berhubungan dengan produksi, distribusi, pertukaran, dan konsumsi barang dan jasa. Kata "ekonomi" sendiri berasal dari kata Yunani οἶκος (oikos) yang berarti "keluarga, rumah tangga" dan νόμος (nomos), atau "peraturan, aturan, hukum," dan secara garis besar diartikan sebagai "aturan rumah tangga" atau "manajemen rumah tangga." Sementara yang dimaksud dengan ahli ekonomi atau ekonom adalah orang menggunakan konsep ekonomi dan data dalam bekerja. Ilmu yang mempelajari ekonomi disebut sebagai ilmu ekonomi.

Hubungan Antara Agama dengan Ekonomi
Islam adalah sistem kehidupan (way of life). Islam menyediakan berbagai perangkat aturan yang lengkap bagi kehidupan manusia, termasuk dalam bidang ekonomi. Ekonomi Islam dibangun atas dasar agama Islam, sehingga ekonomi Islam bagian tak terpisahkan (integral) dari agama Islam. Sebagai derivasi dari agama Islam, ekonomi Islam akan mengikuti agama Islam dalam berbagai aspeknya. Ciri khas ekonomi Islam adalah tidak memisahkan antara norma dan fakta, serta konsep yang rasional.

Bagaimana bisa agama disatukan dengan ilmu ekonomi

Secara umum, agama (religion) diartikan sebagai persepsi dan keyakinan manusia terkait dengan eksistensinya, alam semesta, dan peran Tuhan terhadap alam semesta dan kehidupan manusia sehingga membawa kepada pola bahwa agama yang menentukan perilaku dan tujuan hidup manusia.

Islam mendefinisikan agama bukan hanya berkaitan dengan spiritualitas atau ritualitas, namun agama merupakan serangkaian keyakinan, peraturan serta tuntutan moral bagi setiap aspek kehidupan manusia., termasuk ketika manusia berinteraksi dengan sesama manusia atau alam semesta.

Ekonomi, secara umum, didefinisikan sebagai hal yang mempelajari perilaku manusia dalam menggunakan sumber daya yang langka untuk memproduksi barang dan jasa yang dibutuhkan manusia. Dengan demikian, ekonomi merupakan suatu bagian dari agama.

Mungkinkah Agama menjadi Dasar bagi Ilmu Pengetahuan?

Chapra (2001) memberikan penjelasan tentang alasan yang umum digunakan untuk menolak kemungkinan ilmu pengetahuan dibangun di atas paradigma agama, antara lain :
  • Antara ilmu pengetahuan dan agama berada pada tingkat kenyataan yang berbeda. Ilmu pengetahuan berkaitan dengan alam raya secara fisik yang dapat dikenali oleh pancaindera, sedangkan agama mencakup tingkat kenyataan yang lebih tinggi, bersifat transendental, dan melebihi jangkauan panca indera, termasuk aspek kehidupan setelah kematian (akhirat).
  • Sumber acuan agama dan ilmu pengetahuan adalah berbeda. Ilmu pengetahuan bertumpu kepada akal sementara agama bersumber dari wahyu Tuhan.
Dengan menggunakan metode ilmiah, ilmu pengetahuan berusaha untuk mendiskripsikan, menganalisis, dan kemudian memprediksi fakta-fakta empiris untuk berbagai kepentingan kehidupan manusia. Di sini terkandung sebuah asumsi implisit bahwa manusia mengetahui dengan pasti atas seluruh aspek kehidupannya sehingga ia dapat memutuskan sendiri apa yang terbaik baginya.

Sementara itu, dengan mendasarkan atas wahyu Tuhan dan segala derivasi sumber kebenaran darinya agama juga berusaha untuk mendeskripsikan, menganalisis, dan memprediksi berbagai peristiwa dalam kehidupan manusia. Di sini terkandung asumsi implisit bahwa hanya Tuhan-lah yang mengetahui segala kebenaran dengan sebenar-benarnya kebenaran, sedangkan manusia hanya memiliki pengetahuan yang sedikit.

Kemungkinan ilmu pengetahuan dibangun atas dasar agama dijelaskan oleh Kahf (1992). Sangat dimungkinkan, karena agama didefinisikan sebagai seperangkat kepercayaan dan aturan yang pasti untuk membimbing manusia dalam tindakannya terhadap Tuhan, orang lain dan terhadap diri sendiri. Ilmu ekonomi didefinisikan sebagai kajian tentang perilaku manusia dalam hubungannya dengan pemanfaatan sumber daya ekonomi untuk memproduksi barang dan jasa serta mendistribusikannya untuk dikonsumsi. Sehingga ilmu ekonomi dapat dicakup oleh agama, sebab ia merupakan salah satu bentuk perilaku kehidupan manusia.

Alasan lainya disampaikan oleh Abu Sulaiman. Terdapat keterkaitan agama dan ilmu ini juga dapat dikaji dengan melihat kaitan antara wahyu (revelation) dan akal (reason). Allah menganugerahkan manusia dengan akal untuk memahami dunia di mana ia berada, untuk menggunakannya bagi pemenuhan segala kebutuhan, dan untuk mendukung posisinya sebagai khalifah Allah di bumi. Sementara itu, wahyu merupakan sarana untuk menuntun manusia terhadap segala pengetahuan tentang tujuan hidupnya, untuk memberitahu segala tanggung jawabnya dan segala sesuatu yang berkaitan dengannya. Wahyu memberi informasi kepada manusia tentang hubungan berbagai hal dalam alam semesta, hingga tentang kompleksitas manusia dan interaksi sosialnya. Dengan demikian, sebenarnya antara akal dan wahyu saling melengkapi satu sama lain (complementary) dan sangat berguna bagi kehidupan manusia. Jadi, ilmu pengetahuan dan agama juga saling melengkapi dalam membangun suatu kehidupan yang baik (hayyah thayyibah) bagi manusia dan seluruh kehidupan.

Ekonomi Islam itu sebagai suatu ilmu atau norma

Pemahaman tentang terminologi ekonomi positif (positive economics) dan ekonomi normatif (normative economics) merupakan sesuatu yang sangat penting dalam mempelajari ekonomi Islam. Ekonomi positif membahas mengenai realitas hubungan ekonomi atau membahas sesuatu yang senyatanya terjadi, sementara ekonomi normatif membahas mengenai apa yang seharusnya terjadi atau apa yang seharusnya dilakukan. Keharusan ini didasarkan atas nilai (value) atau norma (norm) tertentu, baik secara eksplisit maupun implisit. Kemiskinan yang terjadi di negara-negara berkembang tidak seharusnya semakin memburuk adalah contoh pernyataan normatif. Kenyataan bahwa kemiskinan di negara-negara ini memang semakin memburuk adalah contoh pernyataan positif. Contoh lain, misalnya tentang fakta bahwa kebanyakan orang akan mengonsumsi barang dan jasa apa saja sepanjang memberikan kepuasan maksimal adalah ekonomi positif, sementara anjuran agar tidak semestinya segala nafsu mencari kepuasan dipenuhi adalah pernyataan normatif.

Ilmu ekonomi konvensional melakukan pemisahan secara tegas antara aspek positif dan aspek normatif. Pemisahan aspek normatif dan positif mengandung implikasi bahwa fakta ekonomi merupakan sesuatu yang independen terhadap norma; tidak ada kausalitas antara norma dengan fakta. Dengan kata lain, realitas ekonomi merupakan sesuatu yang bersifat independen, dan karenanya bersifat objektif -dan akhirnya berlaku universal. Hukum penawaran, misalnya, yang menyatakan bahwa jika harga suatu barang meningkat, maka jumlah barang yang ditawarkan akan meningkat, cateris paribus- adalah pernyataan positif. Hukum tersebut berlaku karena para produsen memandang bahwa kenaikan harga barang adalah kenaikan pendapatan mereka dan motivasi produsen adalah untuk mencetak keuntungan (pendapatan) setinggi-tingginya. Teori ini tidak menjelaskan faktor apakah yang mendorong dan mengharuskan produsen untuk mencari keuntungan maksimum, yang sebenarnya hal ini merupakan pernyataan normatif.

Teori Max Weber: Hubungan antara Agama dan Ekonomi
Agama merupakan sistem sosial yang sudah terlembaga dalam setiap masyarakat. Secara mendasar agama menjadi norma yang mengikat dalam keseharian dan menjadi pedoman dari sebagian konsep ideal. Ajaran-ajaran agama yang telah dipahami dapat menjadi pendorong kehidupan individu sebagai acuan dalam berinteraksi kepada Tuhan, sesama manusia maupun alam sekitarnya. Ajaran itu bisa diterapkan dalam mendorong perilaku ekonomi, sosial dan budaya (Nasir, 1999: 45-47).

Agama dan etos kerja memang memiliki wilayah yang berbeda. Agama bergerak dalam dimensi ritual, sedang bekerja atau usaha adalah berdimensi duniawi untuk mencari nafkah hidup. Namun, pada wilayah yang lain, agama dan etos kerja memiliki relevansi yang cukup signifikan sebagai salah satu motivasi spiritual menuju tambahan nilai kebaikan dan amal bagi keluarga dan orang lain.

Sejarah membuktikan bahwa pemikiran agama sangat berpengaruh bagi perkembangan aspek material (kehidupan di dunia ini), baik politik, ekonomi, sosial, maupun budaya. Atau dengan kata lain, ada hubungan yang sangat signifikan antara kemajuan dalam bidang pemikiran (immaterial) dan kemajuan dalam bidang material.

Untuk menggambarkan bagaimana relevansi pemahaman agama dengan perilaku ekonomi maka ada Teori Max Weber yaitu Die Protestantische Ethik und der “Geist” des Kapitalismus (1905), menjelaskan bahwa ada peranan yang besar bahwa nilai-nilai agama pramodern dalam proses modernisasi.

Weber mengatakan “Cavinisme”, terutama sekte puritanisme, melihat kerja sebagai Beruf atau panggilan. Kerja tidak hanya sekedar pemenuhan keperluan, tetapi suatu tugas yang suci (Weber, 1905:20). Sikap hidup keagamaan menurut doktrin ini, kata Weber, ialah “askese duniawi” (innerweltliche Askese, innerwordly ascesticism), yaitu intensifikasi pengabdian agama yang dijalankan dalam kegairahan kerja sebagai gambaran dan pernyataan dari manusia yang terpilih. Dalam kerangka pemikiran teologis seperti ini, maka “semangat kapitalisme” yang bersandarkan kepada cita ketekunan, hemat, berperhitungan, rasional, dan sanggup menahan diri, menemukan pasangannya. Sukses hidup yang dihasilkan oleh kerja keras bisa pula dianggap sebagai pembenaran bahwa ia, si pemeluk, adalah orang yang terpilih.

Teori Max Weber (1864-1924) dalam bukunya Die Protestant Ethic and the Spirit of Capitalism menjelaskan bahwa:

pemikiran agama sangat berpengaruh bagi perkembangan aspek material (kehidupan di dunia ini), baik politik, ekonomi, sosial, maupun budaya. Atau dengan kata lain, ada hubungan yang sangat signifikan antara kemajuan dalam bidang pemikiran (immaterial) dan kemajuan dalam bidang material.

Weber menganalisis bahwa perubahan masyarakat Barat menuju kemajuan ekonomi tidak hanya disebabkan oleh kelompok bisnis dan pemodal. Dalam penelitiannya, sebagian dari nilai keberagamaan Protestan memiliki aspek rasionalitas ekonomi dan nilai-nilai tersebut ditunjukkan pada spirit keagamaan (Max Weber, 2006: 95). Tesis yang diperkenalkannya sejak 1905 mengatakan bahwa ada hubungan antara ajaran agama dengan perilaku ekonomi (Asifudin, Ahmad Janan , 2004: 157).

Apa yang dikatakan Weber dalam tesisnya ”Etika Protestan” rupanya memiliki kongruensi dengan yang terjadi di Islam. Taufik Abdullah (1979) dalam bukunya Agama, Etos Kerja, dan Perkembangan Ekonomi mengatakan bahwa “etika” yang dipancarkan oleh Al-Qur’an hampir takberbeda jauh dengan yang disebut Weber “etika Protestan: jujur, kerja keras, berperhitungan, dan hemat”.

Dari teori di atas dapat disimpulkan sebuah teori, yang akan dijadikan landasan berfikir dalam penelitian ini yaitu semakin tinggi pemahaman agama seseorang maka akan semakin maju pula dalam perilaku ekonominya, dan akan maju pula tingkat kesejahteraan seseorang. Sehingga dapat dikatakan bahwa tingkat kesejahteraan dapat dipengaruhi oleh seberapa besar tingkat pemahaman keagamaan dan perilaku ekonominya.

TerPopuler