perkembangan paradigma sosiologi -->

perkembangan paradigma sosiologi

perkembangan paradigma sosiologi
PERKEMBANGAN PARADIGMA SOSIOLOGI 
Menurut kuhn, dalam setiap periode, ilmu pengetahuan di dominasi oleh suatu paradigma tertentu; yakni suatu pandangan fundamental tentang apa yang menjadi pokok persoalan suatu ilmu pengetahuan. Periode ‘normal science’ ialah suatu periode suatu pengumpulan ilmu pengetahuan, dimana para ilmuan terus menyelidiki dan berkarya dan memperluas paradigma yang sedang berpengaruh. Namun tanpa teletakkan, karya seperti itu menimbulkan penyimpangan-penyimpangan (anomalies) atau menimbulkan persoalan-persoalan yang tak mampu di terangkan oleh paradigma bersangkutan kalau penyimpangan demikian sudah menumpuk, maka akan terjadi krisis, yang pada dasarnya akan berakhir dengan suatu revolusi yaitu dimana paradigma yang lama terjungkal dan diganti dengan paradigma yang baru yang akan mengambil kedudukannya di tengah-tengah perkembangan ilmu pengetahuan. Demikianlah proses itu terjadi yang lama tumbang, yang baru munucul. 

Paradigma menggolong golongkan, mendefenisikan dan menghubungkan antara exemplar, teori-teori metode-metode serta instrumen-instrumen yang terdapat di dalamnya. (Ritzer, 1975: 7). Dengan menggunakan defenisi paradigma ini ritzer menyatakan bahwa sosiologi di dominasi oleh tiga paradigma. Yaitu paradigma sosial, defenisi sosial, dan perilaku sosial.  

Sosiologi yang bekerja dalam paradigma fakta sosial memusatkan perhatiannya kepada struktur makro masyarakat. Berpedoman pada karya Durkheim sebagai examplar mereka. Berkecenderungan menggunakan metode interview / kuesioner dalam penelitiannya. Sosiolog yang menerima paradigma defenisi sosial memusatkan perhatiannya pada aksi dan interaksi sosial yang telorkan oleh peroses berfikir, sebagai pokok persoalan sosiologi menurut pandangan mereka. Menerima karya Weber tentang aksi sosial sebagai examplar mereka. Memakai berbagai teori. Teori aksi, interaksionisme simbolik dan teori fenomenologi / etonometodologi. Berkecenderungan mempergunakan metode observasi dalam kegiatan penelitian. Perspektif sturkturalisme berpotensi untuk tampil sebagai pradigma sosiologi yang baru saat ini strukturalisme masih berda di pinggiran sosiologi. Sebagian besar tokohnya berasal dari ahli linguistik dan antropologi contohnya karya levi strauss (1969). Praktisi-praktisi strukturalisme seperti cicoerel (1974) dan orang yang mempertahankannya seperti carpenter (1976) mulai mencuat. Dengan demikian dapat di bayangkan betapa makin besarnya perhatian orang terhadap perspektif ini dimasa yang akan datang. Bersamaan dengan itu juga dapat di bayangkan akan semakin meningkatnya serangan politik terhadapnya. Sejak beberapa abad yang lalu pasca runtuhnya peradaban Islam, tampillah peradaban Barat yang saat ini menjadi sebuah hegemoni terbesar di dunia yang telah memadamkan musuh-musuhnya dari kalangan komunis-sosialis yang hampir pernah berjaya beberapa tahun silam. Mencermati perkembangan paradigma barat pun seringkali selalu keluar paradigma-paradigma baru khususnya di bidang sosiologi yang seringkali meruntuhkan paradigma sosiologi pula sebelumnya. 

Setelah sebelumnya Emile Durkheim mencoba melepaskan sosiologi dari dominasi kedua kekuatan yang mempengaruhinya yaitu filsafat dan psikologi. Durkheim yang didasarkan atas hasil penelitian empirisnya terhadap gejala bunuh diri sebagai suatu fenomena sosial di dalam bukunya Suicide (1951), dan The Rule of Sociological Method (1964) yang berintikan tentang konsep dasar metode empiris yang dapat dipakai untuk melakukan penelitian dalam bidang sosiologi. Lantas paradigma-paradigma sosial muncul satu demi satu dan tumbuh dan runtuh sesuai dengan perjalanan waktu dan perkembangan zaman yang terpaksa menyebabkan terjadinya perubahan paradigma. 

Kritik pertama, tercatat dalam Paradigma Fakta Sosial dengan satu cabangnya yaitu teori Fungsionalisme-struktural pernah mengalami kritikan yang dianggap dan dituduh mengabaikan variabel konflik dan perubahan sosial dalam teori-teori mereka dikarenakan terlalu menekankan kepada perilaku keteraturan (order) yang akhirnya seringkali dicap sebagai golongan konservaitif dan terkesan status quo hingga akhirnya muncullah teori konflik, walaupun akhirnya hal ini dibantah lagi oleh Parson sekaligus perwakilan dari teori ini yang kembali mengembangkan teori ini menjadi lebih modern dengan dilengkapi dengan konsep fungsi, dis-fungsi, fungsi laten, dan keseimbangan telah banyak kembali menjuruskan perhatian para sosiolog kepada persoalan konflik dan perubahan sosial. Sehingga akhirnya Parson berpendirian bahwa orang tidak dapat berharap banyak mempelajari perubahan sosial sebelum memahami secara memadai struktur sosial. Sebaliknya setelah teori Fungsionalisme struktural dikritik teori konflik pun dikritik pula dikarenakan teori ini ternyata selalu mengabaikan keteraturan dan stabilitas yang memang ada dalam masyarakat disamping konflik itu sendiri. Masyarakat bagi teori ini selalu dipandangnya dalam kondisi konflik.  

Kritik kedua, terjadi antara dua paradigma yang dikritik oleh satu teori. Adalah Blumer yang menyatakan bahwa organisasi masyarakat (fakta sosial) merupakan kerangka di mana tindakan-tindakan sosial mengambil tempat, bukan faktor penentu dari tindakan sosial. Pengorganisasian dan perubahan-perubahan yang terjadi di dalam masyarakat itu hasil dari kegiatan unit-unit tindakan dan bukan karena kekuatan-kekuatan yang terletak di luar perhitungan unit-unit tindakan itu. Interaksional-Simbolik teori ini yang menolak pandangan paradigma fakta sosial dan paradigma perilaku sosial dengan alasan yang sama yaitu keduanya tidak mengakui arti kepentingan individu.  

Kritik ketiga, kritik yang dilakukan oleh Skinner dalam memandang kedua paradigma sebelumnya yaitu fakta sosial dan definisi sosial yang dikatakannya sebagai perspektif yang bersifat mistik, dalam arti tidak dapat diterangkan secara rasional dimana kritik tersebut berdasarkan substansial dari kedua paradigma tersebut yakni eksistensi obyek studinya itu sendiri. Khususnya di dalam bukunya Beyond Freedom and Dignity, dimana secara terang-terangan Skinner menyerang secara langsung paradigma definisi sosial dan secara soft power menyerang paradigma fakta sosial.  

Kritik keempat, Ritzer menyerang paradigma perilaku sosial dimana ia mengatakan pada paradigma ini perilaku sosial individu kurang sekali memiliki kebebasan. Baginya tanggapan yang diberikannya ditentukan oleh sifat dasar stimulus yang datang dari luar dirinya, jadi tingkahlaku manusia lebih bersifat mekanik dibandingkan dengan menurut pandangan paradigma definisi sosial.  

Masih banyak kritik-kritik yang tertuju pada keseluruhan paradigma ini, disebabkan adanya rasa saling ingin merasa paling unggul diantara para ahli sosiolog dalam rangka memaparkan kevaliditasan teori yang diusungnya. Tapi masing-masing ahli yang dikritik pun dengan segera membantah kritikan-kritikan yang ditujukan kepada dirinya dengan penjelasan lebih lanjut aspek-aspek idenya yang sebelumnya masih dirasa sebagian ahli yang lain membingungkan. Contohnya adalah Parsons sebagai sosiolog yang paling banyak diserang dengan kritikan tajam karena fungsionalisme-strukturalnya, namun Parsons menanggapinya dengan pernyataan bahwa teori miliknya yang acapkali di klaim sebagai status quo dan terkesan konservatif dijelaskannya dengan nada bahwa teori miliknya hanya bersifat teoritis dan bukan bersifat ideologis. Selanjutnya terdapat pula nama James Coleman (kubu fakta sosial) yang memaki buku Harold Garfinkel ‘Studies in Ethnomethodology’ yang notabene ia adalah seorang penganut paradigma definisi sosial. 

Yang terakhir dan terpenting, kritik yang dilancarkan oleh penganut paradigma yang berbeda dapat membantu menunjukkan kepada pengarangnya bahwa premis-premis dari paradigma lain dapat memberikan sumbangan yang berharga terhadap pemikirannya sendiri. Namun sayangnya sumbangan yang demikian penting itu dalam prakteknya jarang muncul. Justru yang ada karena kefanatikannya terhadap salah satu paradigma yang diyakininya menimbulkan pertentangan yang hebat terhadap paradigma yang tak sepaham dengannya.

TerPopuler