Orang Toraja Dalam “Carrefour” Zaman -->

Orang Toraja Dalam “Carrefour” Zaman

Toraja Dalam “Carrefour” Zaman
Orang Toraja Dalam “Carrefour” Zaman
Toraja adalah gambaran adalah sebuah negeri nanjauh terletak di tengah rangkaian pegunungan dan bukit nan indah yang di penuhi oleh halimun di pagi hari dan hempasan bayu di siang hari. Menyebutnya, mengingatkan kita tentang keindahan budaya dan eksotisme timur seperti yang sering kita bayangkan dalam kisah-kisah, dongen-dongen dan mitos-mitos purba. Kuburan-kuburan batu dan patung-patung orang mati serta upacara-upacara kematian yang menghabiskan dana milyaran seakan menyisakan tentang jejak-jejak peradaban tua itu.

Peradaban yang telah terbangun sejak tahun 2.500-1.500 SM, yang dibawa oleh sekelompok pelayar nimaden dari wilayah Indo-china tiba di pesisir pantai sulawesi, yang pada masa itu sebagian wilayahnya masih merupakan lautan. Dorongan untuk menemukan penghidupan yang lebih baik telah menggerakkan bangsa Proto-Melayu (Melayu Tua) ini berimigrasi. Mereka berasal dari semenanjung Indo-China, di bagian utara indonesia, yang kemudian berlayar kearah selatan hingga memasuki wilayah sulawesi. Mereka kemudian melanjutkan perjalannan menyusuri sungai-sungai besar menuju kewilayah utara. Sebagian besar dari mereka memilih menetap di wilayah bambapuang dan daerah rura. Dan sebagiannya lagi meneruskan perjalanan ke utara, dan mendiami beberapa daerah seperti mengkendeq, rantepao, sangallaq dan makale. Bahkan ada pula yang sempat memasulki kawasan tengah sulawesi (kini di sebut dengan sulawesi tengah) Para kaum nomaden inilah yang disebut-sebut sebagai nenek moyang manusia toraja yang mendiami daerah pegunungan sebelah utara prov. Sulsel. Di tempat tersebut mereka membuka pemukiman. Dari situ kemudian membuka oase peradaban baru namun demikian, kebaruan itu tidak sepenuhnya meninggalkan tradisi mereka (dari daerah asal). Satu dari diantara mereka warisan tradisi awal itu ialah perahu yang masih menjadi ikon dari berbagai aktivitas kebudayaan mereka ini dimanifestasikan dalam bangunan rumah adat yang atapnya mirip dengan konstuksi perahu. Rumah adat ini adalah yang kemudian diidentifikasi dengan sebutan rumah adat tongkonan.

Selain tradisi bahari semacam itu, para migran juga memiliki ciri kebudayaan yang khas yang antara lain, sering di jadikan takaran sebagian kalangan untuk kemudian mengkategorikan mereka dalam suatu kelompok budaya. Ciri yang dimaksud adalah sistem kepercayaan yang disebut Aluq To Doloq yang secara harpia bermakna, Aluq (ajaran), To (orang) dan Doloq (dulu) jadi makna ajaran orang yang berasal dari leluhur mereka. Aluq To Doloq merupakan perangkat keyakinan dan aturan hidup. Dalam tradisi lisan masyarakat yang berkembang dikatakan bahwa, kepercayaan masyarakat toraja kuno lahir dan berkembang dalam dua tahapan menuju keseimbangan abadi dunia dan alam keabadian. Pertama, tipamulanna Aluq Dao Langiq yakni saat pertama diciptakannya Aluk diatas langit. Kedua, mendemek didi kapadanganna, momen ketika aluq tersebut di titahkan turun kebumi oleh puang Buru Langiq Dirurak.

Sejak diturunkan kebumi, aluq menjadi sistem norma yang diakini oleh masyarakat pendukungnya sebagai ajaran kepercyaan. Itulah makanya ia disebut sebagai kepercayaan orang dulu atau aluq to doloq mendahului ajaran kristen yang sebagian besar mereka kini anut. Dalam aluq di atur tentang bagaimana manusia seharusnya bertindak dan berbuat serta hukum-hukum apa yang diberlakukan di tengah masyarakat toraja. Dalam kaitan itu, aluq juga mengatur ritual-ritual adat suku toraja dalam mengabdi kebada puang matua (tuhan pencipta).

Aluq tersebut mengajarkan keseimbangan antara dunia dan alam keabadian yang disebutnya puya. Ajaran tersebut kemudian terimplementasi kedalam dua jenis ritual yaitu Rambu Soloq dan Rambu Tukaq. Ritual pertama terkait dengan upacara kematian. Ritual dilakukan bertujuan untuk menghormati dan mengantarkan arwah orang yang telah meninggal dunia, dalam perjalanan untuk berkumpul kembali dengan para leluhur. Dalam keyakinan mereka orang yang telah mati namun tidak di upacarakan maka arwahnya akan gentayangan dan arwah orang itu tidak akan mencapai puya, yaitu tempat peristirahatan para arwah yang telah meninggal. Maka dari itu orang yang masih hidup terutama keluarga harus melakukan ritual ini agar arwah itu dapat mencapai tempat bersemainya kehidupan lain dari arwah-arwah leluhur.

Ritual kedua (rambu tukaq) berkait erat dengan upacara syukuran ini di lakukan sebagai wujud ekspresi senang dan bahagia atas suatu pencapaian, misalnya saja berdirinya rumah tongkonan baru (mangrara banua), kelahirang (aluq maqlolo) ataupun syukuran sehabis panen yang sukses (aluq tanaman). Dalam pelaksanaannya ritual rambu soloq dilaksanakan pada saat matahari mulai tergelincir dari peraduannya di ufuk timur dan terbenamnya di ufuk barat sana (aluq rampe mataallo). Sebahagian besar orang toraja kini menganut agama kristen namun ritual yang berkaitan dengan kepercayaan ritual mereka masih d pertahankan sampai sekarang.

Pelaksanaan ritus adat tidak lagi didasarkan pada tuntutan, kewajiban adat tetapi lebih kepada faktor gengsi dan keinginan untuk mendapatkan pengakuan status sosial. Pergeseran seperti ini dikhawatirkan akan mengikis akar budaya toraja yang selama ini menjadi kekayaan bagi masyarakatnya. Menyikapi pergeseran orientasi nilai-nilai kultural tersebut, sebagian kalangan menganggap bahwa hal itu sebagai suatu keniscayaan perjalanan budaya dan hal itu akan di alami oleh semua perangkat nilai dimana pun.dalam pandangan kalangan ini, pergeseran semacam itu sangat berpeluang sepanjang pendukung kebudayaannya telah bersentuhan dengan pengaruh luar. Demikian pula masyarakat toraja, sebagai komunitas yang tidak pernah luput dari interaksi kultural, sudah mulai harus mendialogkan dan menegosisasi tradisi lama dan cara berfikir dalam mengadopsi nilai luhur itu dalam konteks kekinian. Perubahan kata mereka merupakan suatu kepastian dan yang terpenting dari itu ialah bagaimana menyisipkan dasar-dasar falsafah hidup orang toraja kedalam ruang ruang kehidupan yang berubah itu.

Kebudayaan, dimana pun itu termasuk pula di tanah toraja tidak pernah statis. Ia akan terus berubah dan bergerak serta berkontraksi menyesuaikan dengan pengaruh dari luar. Masuknya agama kristen awal tahun 1900-an yang kemudian menjadi mayoritas sedikit banyak memberi pengaruh dan perubahan terhadap sistem-sistem nilai yang di wariskan nenek moyang orang toraja. Dalam kaitan itu telah terjadi banyak akulturasi dan asimilasi antara agama dan adat istiadat. Beberapa di antara bisa di kompromikan, namun ada juga yang tetap resisten.

Book by: sureq, seni dan budaya

TerPopuler