ketegangan antara budaya dengan agama masyarakat toraja -->

ketegangan antara budaya dengan agama masyarakat toraja

 budaya dengan agama masyarakat toraja
Ketegangan Antara Budaya Dengan Agama Masyarakat Toraja
1. Masyarakat Toraja
Untuk membedakan kelompok masyarakat etnis toraja yang tinggal di kab tanah toraja dengan yang hidup sebagai perantaun diluar tanah toraja. Pembedaan ini dilakukan mengingat adanya perbedaan pola pikir yang cukup mendasar antara orang toraja yang tinggal di toraja dan yang tinggal di luar tanah toraja dalam menghadapi masalah nenek moyag mereka, agama dan modernitas serta pengaruhnya terhadap perikaku sosial mereka. Bagi mereka yang tinggal diluar tanah toraja perilaku sosial mereka cukup di pengaruhi oleh motivasi mereka meninggalkan tanah toraja yaitu pekerjaan. Ditambah lagi dengan kenyataan bahwa sebahagian besar orang toraja yang merantau hidup didalam konteks masyarakat yang majemuk baik secara etnis maupun secara agama. Berbeda dengan orang toraja yang tinggal di tanah toraja yang cenderung homogen.

2. Makna Budaya Nenek Moyang Bagi Masyarakat Toraja.
Budaya nenek moyang toraja terbentuk dengan latar belakang suatu sistem reigi atau agama suku yang oleh masyarakat toraja disebut dengan paradangan adaq atau aluq to doloq. Dalam ajaran ini mereka percaya satu dewa yaitu puang matua sebutan di kemudian hari yang di adopsi oleh gereja untuk menyebut tuhan Allah disamping itu juga dikenal dengan deata (dewa-dewa) yang berdiam di alam yang dapat mendatangkan kebaikan maupun malapetaka, tergantung prilaku manusia terhadapnya. Jika sosiolog durkheim antara yang sakral dengan yang profan. Semua aktifitas manusia memiliki nilai sakral, mulai dari persoalan tidur hingga membangun rumah. Demikian halnya manusia dari lahir hingga habisnya usiaaturan aturan etis dan simbol yang berhubungan dengan kesakralan itu selalu mengiringi keberadaan manusia toraja. Aturan-aturan etis ritus serta simbol yang berhubungan dengan kesakralan itu selalu mengiringi keberadaan manusia toraja.

3. Perjumpaan Dengan Agama Kristen
Agama kristen mulai diperkenalkan di toraja oleh seorang misionaris belanda yang bernama A.A. van de lostrect pada tahun 1913. Kegiatan penginjilan terus dilakukan sampai berdirinya gereja toraja tahun 1947, dengan bentuk yang amat di penuhi oleh gereja gerevomeerd di belanda. Pandangan teologia yang di bawa oleh misionaris ini sangat negatif terhadap etika maupun ritual dari budaya nenek moyang yang di cap kafir. Berbagai larangan yang didasarkan pada dogma gerevormmeed kemudian di susun kalaupun ada etika dalam budaya yang sebenarnya tidak bertentangan dengan ajaran gereja hal itu tetap dianggap tidak cukup. Apa yang diajarkan gereja ialah segala-galanya kalaupun ada upacara-upacara yang di izinkan hal itu di upayakan bersih dari nilai nilai kekafiran budaya nenek moyang.

Sekarang ini hampir semua orang toraja memeluk agama kristen tetapi tampaknya etos dan pandangan dunia yang di harapkan gereja dapat membentuk struktur sosial dan pranata sosial masyarakat toraja berdasarkan nilai-nilai kekristenan tetap mengalami perlawanan dari budaya toraja yang telah mengakar dalam diri masyaraat toraja. Bentuk perlawanan ini memang tidak terlihat secara eksplisit bahkan tidak disadari. Dalam budaya nenek moyang masyarakat toraja ada stratifikasi sosial yang cukup menonjol ketika perbuadakan masih berlaku di toraja di kenal dengan golongan puang (penguasa atau tuan) dan kaunan (budak). Namun pada zaman kolonial belanda hal itu di larang. Tetapi pada prakteknya masyarakat toraja tetap membedakan empat kasta dalam masyarakat yang di urut dari yang tertinggi yaitu tanaq bulaan (keturunan raja, bulaan artinya emas) tanaq bassi (keturunan bangsawan bassi artinya besi) tanaq karurung (bukan bangsawan tetapi juga bukan orang kebanyakan karurung adalah sejenis kayu yang keras) dan yang terendah adalah tanaq kua-kua (kua-kua sejenis kayu yang rapuh). Dalam hubungan dengan upacara-upacara adat di kenal pula dengan golongan imam (to minaa atau to parenge) dan orang awam (to buda).

Dengan berkembangnya agama kristen, orang toraja, menerima bahwa semua manusia sama dihadapan tuhan. Didalam tuhan tidak ada penggolongan seperti itu namun dalam penerapannya dimasyarakat, pengakuan terhadap kasta seseorang tetap ada. Akibatnya, ketika mereka berdiri sebagai warga gereja, yang di turuti adalah pada penatua atau pendeta, namun dalam kehidupan sehari-hari, wibawa para keturunan raja dan bangsawan serta pemasyarakatlah yang berpengaruh. Hal ini menyebabkan sering terjadi benturan antara pemuka agama dan pemuka masyarakat. Pemuka agama berpedoman pada ajaran agama, sedangkan pemuka masyarakat berpedoman pada budaya nenek moyang akibatnya, fenomena dualisme muncul lagi. Ketika masyarakat berada dalam posisi sebagai warga jemaat, maka keputusan pemuka agamalah yang di ikuti. Entah bertentangan dengan budaya atau tidak, yang jelas firman tuhan mengajarkan.demikian pula sebaliknya, dalam posisi sebagai anggota masyarakat, keputusan pemuka adatlah yang di ikuti, entah sesuai dengan ajaran agama atau tidak. Dari sudut pandang pemimpin, adapula kecenderungan apatisme pemuka agama dalam kegiatan yang berhubungan dengan budaya nenek moyang, dan juga apatisme pemuka masyarakat dalam kegiatan gereja.

Book by: sureq, seni dan budaya

TerPopuler