Logika dan paradigma tasawuf -->

Logika dan paradigma tasawuf

A. paradigma
Kalau kita membicarakan tasawuf secara kritik pertanyaan pertama yang muncul adalah tentang apakah tasawuf sama dengan akhlak ataukah berbeda. Jika sama, mengapa ia tetap dinamakan tasawuf. Tetapi jika berbeda, pertanyaannya menjadi demikian “adakah perbedaan yang substansial antara keduanya”? Persoalan lainnya adalah mengenai apakah tasawuf memberikan peran secara proporsional terhadap logika rasional ataukah tidak, ataukah ia hanya mengandalkan pada logika tekstual. Melalui paradigma dan logika, renungan ini mencoba memberikan jawaban atas persoalan di atas yang, tentu saja, bersifat hipotetik dan tentatif, atau sebuah jawaban alternatif.

Pada mulanya konsep paradigma yang menjadi demikian populer diperkenalkan oleh Thomas Kuhn. Melalui konsep ini, ia membuat analisis kritik terhadap anggapan yang lazim tentang perkembangan ilmu secara kumulatif. Selanjutnya ia menjelaskan bahwa perkembangan utama dan penting dari ilmu pengetahuan itu akibat dari revolusi, sebuah wawasan baru yang tidak lazim dikenal oleh para pemikir kontemporer. Konsep ini kemudian diaplikasikan untuk sosiologi antara lain oleh Friedrichs dan Ritzer. Menurut keduanya, paradigma adalah anggapan dasar tentang apa yang menjadi pokok persoalan (subject matter) dalam suatu disiplin dan bagaimana aturan-aturannya atau cara kerja untuk menjawab pokok persoalan tersebut. George Ritzer mengembangkan konsep ini untuk memandang sosiologi yang dianggapnya multi paradigma. Sosiologi Durkheim, misalnya, memfokuskan pada fakta sosial menurut cara kerja ilmu natural dengan metode positivisme, yakni mencari fakta yang pasti dan merumuskan hukum. Sosiologi Weber memfokuskan pada tindakan sosial dengan cara kerja hermeneutik yang menekankan metode verstehen yang pernah diajukan oleh Dilthey. Dengan paradigma, pokok persoalan dari sebuah disiplin serta cara kerjanya menjadi jelas dan terpilah. Sebuah disiplin ibarat sebuah wilayah yang memiliki otonomi khas yang ditengarai oleh kriteria substantif-ontologis tentang apa yang manjadi pokok persoalannya, dan kriteria epistemologis-metodologis tentang bagaimana cara kerjanya yang tepat untuk diterapkan baginya.

Kini, paradigma itu diletakkan sebagai lensa pandang untuk melihat tasawuf. Tentu pertanyaan yang muncul adalah tentang apa yang menjadi pokok persoalan tasawuf, dan tentang bagaimana cara kerjanya. Ini merupakan pertanyaan utama yang harus dijawab jika tasawuf hendak dibedakan dari akhlak. Secara teoritis, ada sementara pendapat yang memandang tasawuf itu bagian dari ilmu akhlak dengan alasan karena akhlak merupakan disiplin yang mencakup aturan-aturan mengenai hubungan hamba dengan Tuhannya seperti sabar, tawakkal, taubah, mahabbah, khusyu’, dzikir dengan memperbanyak menyebut nama Allah dan lain-lain serta hubungan sesama manusia. Dengan demikian maka tasawuf adalah akhlak itu sendiri. Dalam pengertian semacam ini, sudah tentu, orang tidak lagi tergerak berusaha menemukan pokok persoalan yang khas tasawuf yang terpilah dan terpisah dari disiplin akhlak yang membedakannya secara substansial. Atau orang tidak lagi mempertanyakan tentang mengapa tasawuf disebut dengan tasawuf dan tidak disebut saja dengan akhlak. Sebaliknya, jika tasawuf diyakini memiliki pokok persoalan yang berbeda dari ilmu akhlak sehingga absah diangap sebagai satu disiplin tersendiri maka tuntutan yang diajukan kepadanya adalah keharusan menemukan pokok persoalan yang khas tasawuf tersebut. Dengan ditemukan pokok persoalan yang khas tasawuf maka keberadaan tasawuf sebagai satu disiplin menjadi mantap.

Apakah pokok persoalan tasawuf yang tidak menjadi garapan akhlak? Seperti lazim diketahui bahwa akhlak mengatur hubungan hamba dengan Tuhannya (hablun minal-lah) dan hubungan hamba dengan sesamanya (hablun minan-nas). Pengertian semacam ini tidak salah namun ia belum memperlihatkan adanya materi pokok yang membedakan tasawuf dari akhlak. Di sinilah terjadi kekaburan wilayah teoritik antara keduanya. Akhlak mengatur hablun minal-lah, dan tasawuf juga menekankan hubungan dengan Allah, lalu apa pokok masalah yang substansial yang membedakan antar keduanya? Jika pertanyaan ini tidak atau belum terjawab maka pokok persoalan tasawuf pun setiap kali akan muncul.

Adapun pokok persoalan (materi pokok) yang khas tasawuf adalah bagaimana hakekat manusia mengenal (ma’rifat) hakekat Allah melalui seorang Wasithah (Guru) yang arif dan ahli dalam ilmu hakekat yang hakiki. Apa yang dimaksud dengan hakekat Allah adalah Zat Allah. Bertemunya hakekat manusia dengan hakekat Allah inilah yang dikonsepsikan dalam tasawuf sebagai ma’rifat bil-lah, yakni mengenal Allah, atau tegasnya mengenal Zat Allah. Inilah pokok persoalan tasawuf dan ini pula yang membedakan tasawuf dari akhlak. Karena tasawuf merupakan sesuatu yang sui generis, maka cara kerjanya juga sui generis, yakni seseorang yang ingin mencari ilmu hakekat harus menemukan Guru yang arif dan ahli dalam ilmu tersebut dan menyatakan diri untuk diberi ilmu yang mengantarkannya kepada ma’rifat bil-lah. Dan dari sinilah seseorang mengawali kehidupan tasawuf, yakni pada saat seseorang berguru kepada seorang Guru yang ahli dan arif dalam ilmu hekekat yang hakiki

Di samping kekaburan wilayah teorik di atas, dalam wilayah praktis dan empiris juga terjadi kekaburan antara amalan tasawuf dengan usaha magis. Demikian ini karena orang sering melihat gejala-gejala keajaiban yang diperoleh seseorang apakah ia paranormal, peramal nasib, dukun, tukang sulap, ilmu kanoragan-kekebalan dan sejenisnya. Sementara itu di kalangan kaum sufi ada istilah “wali” yang dikenal juga memiliki keajaiban-keajaiban. Dihadapkan pada keajaiban-keajaiabn ini orang sulit membedakan apakah keajaiban-keajaiban itu datang dari Tuhan Allah ataukah dari kekuatan gaib selain Allah. Persoalan ini pernah dipertanyakan oleh William James dalam “The Varieties of Religious Experience”. Katanya, ada kesulitan yang dihadapi oleh seseorang untuk membedakan yang mana yang datang dari Tuhan dan yang mana yang dari setan, karena di dalam wataknya setan bisa meniru membuat keajaiban-keajaiban. Apa yang dipertanyakan oleh James tersebut diulang pertanyakan oleh Mohammad Iqbal dalam bukunya “The Reconstruction of Religious Thought in Islam” sambil mengutip sebuah ayat al-Quran (S. al-Hajj: 52), yang artinya: “Dan Kami tidak mengutus seorang rasul pun sebelum kamu dan tidak pula seorang nabi melainkan apabila ia mempunyai keinginan setan pun memasukkan godaan-godaan terhadap keinginan itu... .” Ayat di atas semakna dengan ayat dalam S. al-An’am: 112, yang artinya: “Dan demikianlah Kami jadikan bagi tiap-tiap nabi itu musuh yaitu setan-setan dari jenis manusia dan jin yang saling membisikkan ucapan- ucapan yang indah untuk menipu daya manusia...”

Terhadap persoalan tentang bagaimana membedakan apa yang datang dari Tuhan dan yang lainnya dari setan yang diajukan oleh James di atas, renungan ini mengajukan jawaban; bergurulah kepada seorang Guru yang arif dan ahli dalam ilmu hakekat yang hakiki. Melalui cara ini orang akan terbantu dapat memilah antara apa yang dari Tuhan dan apa yang datang selain dari Tuhan. Se-seorang yang kesulitan membedakan yang mana uang asli dan yang mana palsu (tiruan), ia tidak bisa lain selain bertanya kepada orang yang ahli masalah itu. Secara praktis, tasawuf adalah cara beragama yang khas dan karena itu tasawuf menjadi bagian dari agama yang pokok. Ritus agama dan usaha magis, demikian teori Malinowski menyatakan, biasa dibedakan karena tujuan dan maknanya. Ritus agama lebih dipahami sebagai suatu keharusan spiritual untuk memenuhi tuntutan dari yang diyakini (Tuhan), sedangkan usaha magis bertolak dari keinginan seseorang dengan maksud menjadikan kekuatan yang supernatural dan adikodrati memenuhi keinginannya. Lebih tegas lagi KGPAA Mangkunegooro IV dalam serat Wedhotomo terjemahan ke bahasa Indonesia menyatakan, “Maka bila berguru hendaknya jangan pada sebangsa hal-hal gaib seperti untuk kekebalan, kesaktian lahiriah dan sebagainya. Melainkan bergurulah untuk hekekat atau prinsip-prinsip dirgahayu (keselamatan), antara lain berbakti kepada Tuhan yang Maha Benar agar supaya terjaga atau terjamin kelangsungan hidupnya. Bilamana telah faham serta menguasainya, laksanakan pada setiap saat baik pagi, siang ataupun malam hari tanpa batasan atau hitungan waktu, misalnya hanya satu minggu saja, atau empat puluh hari saja, satu bulan saja dan sebagainya”. Sebagaimana diketahui, salah satu kekuatan gaib yang supernatural yang selain Allah adalah jin.

B. Logika
Renungan ini juga hendak memperlihatkan logika rasional bagi disiplin tasawuf di samping logika yang bersumber dari teks. Logika 1. Ulama Islam membuat rumusan, “Allah adalah nama bagi Zat yang wajib wujudnya”. Rumusan semacam ini mengacu kepada ayat pertama surah al-Fatihah yag artinya, “Dengan nama Allah yang Maha Pengasih dan Penyayang”. Allah adalah nama yang memiliki wujud, atau nama yang menunjuk akan adanya Zat yang wujud namun Ghaib-tidak kasat mata.

Logika 2. Jika sebuah nama itu puya zat (being, wujud) maka wujud itu pasti dapat didekati, dihadirkan, dihadiri, atau dikenali. Penulis ingin memberi satu contoh konkrit dalam hal ini nama Presiden RI, yakni SBY. SBY adalah sebuah nama yang menunjuk kepada adanya seseorang yang memiliki nama itu. Orang yang memiliki nama ini dapat dikenali, dapat dihadiri dan dapat didekati. Bapak Fenomenologi, Edmund Husserl, menafsirkan “being” sebagai “present”. Wujud ditandai dengan hadir (kehadiran) ke dalam kesadaran. Seseorang yang menyatakan kenal, dekat dan pernah hadir berhadapan dengan SBY, bermakna orang itu memang pernah hadir di depan wujud yang punya nama itu. Sebaliknya jika seseorang hanya menempatkan “nama SBY” dan diletakkan di dekatnya lalu menyatakan bahwa ia dekat dengan SBY, maka orang ini telah membuat kepalsuan. Sebab yang sebenarnya terjadi bahwa dia hanya dekat dengan nama yang diletakkan di sampingnya, dan tidak dengan wujud yang memiliki nama itu. Logika selanjutnya, sudah benar rakyat Indonesia percaya bahwa nama Presiden RI saat ini adalah SBY, tetapi tidak semua rakyat Indonesia yang punya kepercayaan ini sudah pernah kenal, bertemu muka, hadir dan mendekat dengan wujud (orang) yang memiliki nama SBY. Inilah kias cara keberagamaan kaum sufi. Dia tidak hanya percaya kepada Allah melainkan meneruskan sampai kepada mengenal Zat (wujud) yang yang memiliki nama Allah. Caranya seperti telah disinggung di atas; berguru kepada seorang Guru yang ahli dan arif dalam ilmu hakekat yang hakiki, sebab tanpa melalui ini seseorang tidak bisa mengenal Zat yang wajibul-wujud itu.

Logika 3. Zat (being, wujud) itu dapat ditangkap oleh rasio-akal dan oleh rasa. Akal memiliki kemampuan membuat deskripsi atau abstraksi, mungkin disebut konsep, definisi, atau teori yang menggambarkan sesuatu. Dahulu Aristoteles telah menyatakan, jika akal kita membuat abstraksi tentang sebongkah batu, batu itu sendiri tidak masuk ke dalam akal kita. Yang ada dalam akal kita hanyalah gambaran dari sebuah wujud. Sedangkan rasa menangkap wujud sesuatu melalui sentuhan atau pegenalan langsung. Ketika kita melihat (sentuhan mata) sesuatu, kita merasakan indahnya sesuatu. Kalau kita makan (sentuhan lisan) sesuatu, kita merasakan nikmatnya sesuatu, dan seterusnya. Melalui mata, lidah, telinga, dan organ-organ lainnya kita berkenalan langsung dengan sesuatu (dengan wujud). Di sisi lain rasa juga mengandung unsur kognisi. Kata Suhrawardi, “Man lam yadhuq lam ya’rif”. (siapa yang tidak merasa, maka ia tidak mengenal). Dalam wacana tasawuf, rasa itulah yang mengenal langsung terhadap Zat Tuhan. Seperti kalau kita tersandung batu, kita mengenali secara langsung bahwa batu itu keras. Dalam hal ini rasalah yang sejatinya mengetahui bahwa batu itu keras melalui kehadiran atau pengenalan langsung. Dan pengenalan langsung inilah yang dikonsepsikan sebagai “irfan” melalu metode “huduri” (kehadiran) . Apa yang hadir langsung kepada diri kita adalah wujud (being) dan bukan nama.

Logika 4. Rasa adalah dasar dan hakekat manusia. Rasa disebut “dasar” karena ia merupakan sumber munculnya sejumlah aktivitas. Demikianlah kita menyaksikan aktivitas seseorang yang seakan tanpa lelah mengejar ilmu pengetahuan, melakukan penelitian, eksperimen-eksperimen, mencari informasi dan seterusnya karena didorong oleh rasa ingin tahu yang mendominasi dirinya. Demikian juga rasa ingin berkuasa, rasa ingin memiliki harta kekayaan mendorong aktivitas seseorang mencari kesempatan guna meraih kekuasaan dan bekerja tanpa lelah untuk meraih apa yang diinginkan. Dalam wacana tasawuf, rasa ini memiliki tugas pokok, yakni mengenal Tuhan Allah, mengenal ZatNya atau “ma’rifat bil-lah”. Bisa jadi tugas pokok ini dilupakan akan tetapi tidak bisa dihilangkan. Dengan hadirnya Zat Allah ke dalam rasa, memberi peluang bagi seseorang merasakan nikmatnya beragama dan merasakan nikmatnya beribadah, dan rasa di dalam hatinya menjadi tidak dikuasai oleh keinginan-keinginan duniawiah melulu. Dari sinilah dimulai reorientasi eksistensial melalui transformasi karakter guna membangun sebuah kepribadian yang mulia dan meninggalkan karakter-karakter yang tercela dan merugikan diri sendiri ataupun masyarakat. Apa yang ingin ditegaskan di sini adalah bahwa tasawuf bisa menjadi titik awal membangun sebuah kepribadian. Sebelum seseorang masuk ke dalam gelanggang dan arena perjuangan yang tidak pernah sepi dari berbagai jenis tantangan, akan seyogya jika ia lebih dahulu mempersiapkan se-buah kepribadian yang mantap. Secara implisit ini berarti bahwa tasawuf sejatinya punya perhatian secara kualitatif terhadap nasib sejarah dan peradaban.

Dalam wacana tasawuf juga dinyatakan bahwa rasa adalah hekekat manusia. Ia disebut hakekat, karena rasa ini tidak akan mati. Apa yang dipakai nanti dalam hidup di akhirat adalah juga rasa yang dipakai di dunia ini. Apakah seseorang akan menikmati indahnya kehidupan di akhirat ataukah ia akan mengalami penderitaan akibat siksa yang dahsyat dan menyedihkan. Rasa yang kita pakai dalam hidup di akhirat persis seperti rasa yang kita pakai untuk hidup di dunia ini. Karena akhirat disebut sebagai “hari pembalasan” maka kehidupan akhirat sesungguhnya lebih gamblang dan lebih jelas dibanding kehidupan di dunia. Dalam khidupan di akhirat ini, alasan-alasan rasional mengapa ia membangkang dan mengingkari perintah-perintah yang datang dari Tuhan yang menguasai dunia dan akhirat sudah tidak diterima. Orang yang memperoleh nikmat, secara gamblang dan jelas, ia benar-benar merasakan indahnya kehidupan akhirat, sebaliknya, seseorang yang tertimpa siksa, secara gamblang dan jelas, ia merasakan langsung sakitnya pende-ritaan dalam kehidupan akhirat. Rasa adalah hakekat manusia dan karena itu, kenal-kanlah hakekat ini dengan Zat yang hakiki yang menguasai kehidupan dunia dan akhirat.

TerPopuler