Khutbah Nabi di Ghadir Qum II -->

Khutbah Nabi di Ghadir Qum II

Targhib dan tahdid

Targhib adalah kabar yang menggembirakan (memberikan harapan) sedangkan tahdid adalah kabar yang menyedihkan. Kabar yang menggembirakan ditujukan kepada mereka yang memegang teguh pesan terakhir Nabi Saw yang berasal dari Allah SWT mengenai kepemimpinan sesudah beliau yang diberikan kepada Ali bin Abi Thalib atas kehendak Allah SWT. Sedangkan kabar yang menyedihkan ditujukan kepada mereka yang mengingkari dan menolak pesan terakhir Nabi Saw ini.

I. Targhib Targhib adalah berita yang menggembirakan yang terkandung di dalam khutbah Nabi Saw ini yang di alamatkan kepada mereka yang mau mengikuti jalan (sunnah) yang di amalkan oleh Imam Ali as. Dalam khutbah ini, Imam Ali tidak mungkin kita pahami sebatas keadaan beliau sebagai pribadi tak ubahnya pribadi-pribadi lain, sebab dengan demikian maka akan tidak menjadi bermakna sama sekali pemberian status dan peran Nabi Saw atas Ali sebagai Imam, sebagai wali sebagai maula sebagai khalifahnya dan sebagai Amirul-mukminin. Pesan Nabi Saw agar kita mengikutinya adalah mengikuti sunnah yang ditetapkan olehnya. Inilah hakekat yang dapat kita tangkap dari pesan Ghadir Khum jika kita berkehendak menempatkan khutbah ini memiliki makna yang relevan dengan keseluruhan teks khutbah. Sebagaimana kita lihat, isi khutbah Rasulullah tidak mengkaitkan status dan peran Imam Ali as dengan kehidupan bernegara atau berpolitik melainkan lebih menekankan pada jalan spiritual yang haq, bertemu Allah, dan beribadah kepadaNya.

Contoh targhib dalam khutbah Rasulullah, “Ya Allah, berilah kasih sayangmu kepada orang yang mencintai Ali, musuhilah orang yang memusuhi Ali, kutuklah orang yang mengingkari Ali, dan murkailah orang yang menghujat haknya”.

“Dengarlah perintahnya (Ali) niscaya kamu selamat, taatilah niscaya kamu mendapat hidayah, hindarilah apa yang dilarangnya niscaya kamu mendapat petunjuk, dan bersikaplah (berjalanlah) ke arah yang ditunjukannya dan janganlah kamu menyimpang dari jalannya”.

“Barangsiapa yang taat kepada Allah, kepada RasulNya dan kepada Ali dan kepada para Imam sesudahnya yang telah kami tuturkan kepada kamu, maka dia akan memperoleh kebahagiaan yang gemilang”.

“Ketahuilah bahwa dasar (pangkal) amar makruf dan nahi munkar adalah kemauan kalian menerima sabdaku sebagai sesuatu yang final, kemudian kamu mau menyampaikannya kepada orang-orang yang tidak hadir (di Ghadir Khum ini) dan kamu memerintahnya untuk menerima pesan ini dan melarang mereka menentangnya (mengingkarinya) karena sesungguhnya pesan ini dari Allah dan dari aku; sesungguhnya tidak ada amar makruf dan nahi munkar kecuali dengan bersamaan dengan (adanya) Imam yang maksum”.

II. Tahdid adalah berita yang menyedihkan atau khabar ancaman. Dalam khutbah di Ghadir Khum ini Rasulullah mengalamatkan tahdid (ancaman) kepada mereka yang menolak, mengingkari, bersikap takabur tidak mau menerima pesan Rasulullah di Ghadir tentang keimamahan Ali as dan yang kemudian dilanjutkan oleh para Imam yang datang sesudahnya. Teks yang bermuatan tahdid antara lain;

“Ketahuilah bahwa malaikat Jibril memberitakan kepadaku dari Allah Swt mengenai kepemimpinan, “Siapa yang memusuhi Ali dan tidak mau menerima kepemimpinannya niscaya dia akan menerima laknatKu dan kemurkaanKu”.

“Sesungguhnya orang yang membenci Ali adalah orang yang celaka, dan yang mengakui kepemimpinan Ali adalah orang-orang yang takwa, dan yang mempercayai Ali adalah orang mukmin yang mukhlis”. "Ketahuilah bahwa musuh-musuh Ali adalah orang-orang yang celaka, munafiq, pelanggar batas, mereka adalah orang-orang yang melampaui batas dan menjadi teman syaitan yang saling mebisik-bisikkan kata-kata yang indah untuk menipu manusia”.

“Sesungguhnya dia (Ali) adalah Imam dari Allah (berasal dari perintah Allah); Allah tidak akan mengampuni orang-orang yang mengingkari kepemimpinannya dan Dia tidak akan mengampuninya sama sekali; inilah kepastian perbuatan Allah terhadap orang yang menentang perintahNya dalam masalah ini dan Dia akan mengazabnya dengan azab yang sangat berat, dahsyat dan selama-lamanya. Awas! janganlah kamu mengingkarinya karena perbuatan ini akan mengantarkanmu masuk neraka yang bara apinya dari manusia dan bebatuan yang disiapkan bagi orang-orang kafir”.

III. Tentang bai’at "Perhatikanlah pada penutup khutbahku ini aku menyeru kamu mengulurkan tangan kepadaku sebagai tanda bai’at padanya (Ali) dan pengakuan setia padanya dan sesudah aku nanti, kamu harus mengulurkan tangan kepadanya (sebagai tanda bait dan kesetiaan padanya).

“Maka aku diperintah mengambil bai’at dari kamu dan kesetiaanmu agar menerima apa-apa yang kubawa dari Allah Azza wa jalla berkenaan dengan masalah Ali selaku Amirul-mukminin dan demikian juga terhadap para Imam sesudahnya dari para keturunanku dan keturunannya dan salah satu di antara para Imam itu adalah al Mahdi sampai nanti Hari Kiamat yang memgemban (menunaikan) kepemimpinannya dengan benar”.

“Apa yang kalian katakan maka sesungguhnya Allah mengetahui setiap suara dan apa yang dirahasiakan (tidak diucapkan) oleh setiap diri; maka barangsiapa memperoleh hidayah, keberuntunganlah baginya, dan barangsiapa yang sesat maka kesesatannya itu akan menimpanya pula, dan barangsiapa yang mau berbai’at sesungguhnya ia berbai’at kepada Allah, kekuasaan Allah berada di atas kekuasaan mereka. Bertakwalah kepada Allah dan bai’atlah kepada Ali, Amirul-mukminin dan kepada Hasan dan Husein dan kemudian berbai’at kepada para Imam simbol kalimatan thayyibatan baqiyatan di mana Allah akan menghancurkan siapa saja yang lari (dari bai’at) dan memberi rahmat kepada siapa yang memenuhinya”

“Mereka yang bersegera memenuhi bai’at kepadanya dan menjadikannya pembimbingnya dan menerimanya sebagai Amirul mukminin adalah orang-orang yang berbahagia dan akan berada di dalam surga yang penuh rasa kenikmatan”.

Teks khutbah tentang perintah bai’at kepada Ali dan para Imam sesudahnya ini, sudah tentu, berkait dengan status Ali dan para Imam sesudahnya serta peran mereka dalam membimbing umat dalam menempuh jalan yang haq dari Allah dan mengamalkannya serta dalam merealisasikan taqwa. Ide bai’at kepada Ali dan para Imam sesudahnya sebagaimana dalam isi khutbah Nabi Muhammad Saw tidak berkonotasi politis. Karena itu seandainya pun Ali dan para Imam sesudahnya tidak memegang kekuasaan politik setelah wafat Nabi Saw, keharusan memenuhi bai’at pada Ali dan para Imam sesudahnya tetap berlaku. Sebab, membai’at Ali dan para Imam sesudahnya tidak berarti membai’at mereka sebagai pemimpin negara dan pemegang kekuasaan politik, akan tetapi sebagai Wali, Maula, Khalifah, Amirul-mukminin, Imam yang membawa umatnya berjalan di atas jalan yang haq menuju Allah Swt, dalam meneguk air ma’rifat dan dalam menyelam ke dalam kedalaman samudera hakikat. Dalam konotasi makna inilah maka mereka yang memberikan bai’at kepada Ali dan para Imam sesudahnya tidak melakukan usaha memberontak kepada penguasa politik yang berlaku secara de facto dan de jure.

Allah Swt sendiri memilih dan mengangkat Muhammad Saw sebagai Nabi dan Rasul daripada sebagai Kepala Negara atau Kepala Pemerintahan seperti banyak ditunjukkan dalam banyak ayat di dalam al-Quran. Memang tidak bisa dipungkiri bahwaa dalam kenyataan sejarah, Nabi Muhammad Saw juga sebagai pemimpin sebuah masyarakat Muslim yang berada dalam satu wilayah tertentu dan memiliki kedaulatan dan hak menentukan nasibnya. Nabi juga memimpin mereka bertahan menghadapi perlawanan musuh yang mengancam dan hendak menghancurkan mereka. Akan tetapi bukan fakta politik ini yang lebih ditekankan oleh al-Quran terhadap status Nabi Muhammad Saw melainkan pada ide pembawa risalah yang mengajak umat manusia mengikuti ketentuan-ketentuan Allah dalam melakukan hubungan kepada Allah maupun kepada sesama manusia dalam berbagai aspek; berekonomi, bernegara, berpemerintahan, bermasyarakat, menjalin kerja sama. Dalam dua demensi hubungan itu -vertikal dan horizontal - Nabi Muhammad Saw menekankan pada al-akhlak al-karimah sebagai sarana mengadakan hubungan.

Ketika dalam kenyataan sejarah Ali tidak memegang kekuasaan politik sepeninggal Rasulullah Muhammad Saw yang disebabkan oleh perpecahan dan pertentanagan sesuatu yang berbeda dengan masyarakat muslim yang masih utuh di bawah kepemimpinan Nabi Muhammad Saw - ide yang menekankan keimamahan Ali tetap berlaku. Ide keimamahan ini tidak diberlakukan untuk pemberontakan politik atau usaha-usaha sejenisnya terhadap pemerintahan yang dipegang oleh penguasa selain Ali dan anak keturunannya karena memang tekanan makna dari ide itu tidak diperuntukkan bagi kehidupan berpolitik melainkan dalam merealisasikan kualitas hubungan vertikal (ibadah kepada Allah) dan kualitas hubungan horisontal, sesama manusia. Nilai hubungan vertikal yang bisa mencapai kualitas ma’rifat billah dan hubungan horisontal sebagai buah dan implikasi dari hubungan vertikal tersebut diperlihatkan dalam wujud “al-akhlaq al-karimah al-mahmudah”, perilaku moral yang terpuji dan mulia, dan ini merupakan fondasi kepribadian diri.

TerPopuler