Rabiah Al-adawiyah beserta tasawufnya -->

Rabiah Al-adawiyah beserta tasawufnya

KATA PENGANTAR
    Alhamdulillahil ladzi hadaanan lihadza, wamaa kunna linahtadiya laulaa an hadaa nallaha, washalatu wassalamu alaa sayyidina rasulillah muhammad bin abdillah, wa alaa aalihi wasahbihi waman tabi’a hudaa ila yaumi yalqahuu.
    Dengan mengucap syukur alhamdulillah atas segala karunia dan nikmatnya kini kami dapat menyajikan kepada sekalian pembaca . sebuah karya ilmiah yang berjudul “Mu’tazilah”
     Kami sadar bahwa dalam penyusunan karya ilmiah ini masih banyak terdapat khilafan dan kekurangan oleh karena itu saran maupun kritik yang tentunya bersifat konstruktif kiranya dapat diberikan oleh pembaca untuk menjadi bahan evaluasi bagi penulis guna kesempurnaan karya-karya selanjutnya
    Semoga Allah swt menerima karya ini sebagai amal bakti kepadanya. Akhirnya hanya kepada Allah kami mohon taufik dan hiayah.
    Dan hanya kapada Allah-Lah tempat meminta agar ia memberikan manfaat kepada makalah ini AMIN.









Gowa, 2 desember 2013

PENULIS

 
BAB I
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
    Wahai Tuhanku, jika aku menyembah-Mu, karena takut dari siksa neraka-Mu ,maka bakarlah diriku dengan api itu. Dan jika menyembah-Mu karena mengharapkan masuk ke surga-Mu, maka haramkanlah surga itu dari diriku. Namun, jika aku menyembah-Mu, karena cinta kepada-Mu, maka berikanlah balasan-Mu yang besar itu kepadaku. Izinkan aku menyaksikan wajah-Mu Yang Agung dan Mulia.
   Syair di atas adalah do’a yang dipanjatkan oleh Rabi’ah al-Adawiyah, nama yang tidak asing di telinga kaum muslimin. Seorang perempuan yang mencapai derajat luhur dalam perjalanan sejarah sufi. Beliau memperoleh penghargaan tinggi, namanya tertulis dengan tinta emas dalam lembaran sejarah. Prestasi taqwa dan zuhud yang ia miliki telah mengangkatnya pada kedudukan luar biasa, yang tak pernah dicapai oleh perempuan manapun.
    Rabi’ah adalah perempuan sufi yang dianggap sebagai perintis aliran tasawuf Hubbul Illahiyah. Beliau mengajak manusia berbagi rasa dalam bertaqwa. Mencintai Allah melebihi segala yang ada. Mengesampingkan urusan dunia yang bersifat sementara dan fana. Setiap langkah perjalanan waktu diprioritaskan kepada ibadah serta mencintai Allah Swt. Di lubuk hati yang paling dalam tak pernah tersentuh perasaan cinta, kecuali cinta kepada Allah.
     Diantara ucapan beliau yang terkenal adalah sebagaimana diriwayatkan dalam Kasyf al-Mahjub karya al_Hujwiri : “suatu ketika aku membaca cerita bahwa seorang hartawan berkata kepada Rabi’ah: mintalah kepadaku segala kebutuhannmu! Jawab Rabi’ah: aku ini begitu malu meminta hal-hal duniawi kepada Yang Pemiliknya, maka bagaimana bisa aku meminta hal itu kepada yang bukan pemiliknya?”

B. RUMUSAN MASALAH
1. Biografi Rabiah Al-Adawiyah !
2. Bagaimana bentuk ajaran tasawuf Rabiah Al-Adawiyah ?
BAB II
PEMBAHASAN
A. Biografi Rabi’ah al-Adawiyah
     Menurut Ibnu Khalikan, nama lengkap Rabi’ah al-Adawiyah adalah Ummul Khair Rabi’ah binti Isma’il al-Adawiyah al-Qisiyah.[4] Dia dilahirkan sekitar awal abad kedua Hijrah di kota Basrah Iraq. Para ahli sejarah mengatakan bahwa dia dilahirkan pada tahun dimana Hasan Bashri memulai mengadakan majlis ta’limnya. Peristiwa itu terjadi pada tahun 95 H atau 96 H.[5] Yang kemudian dikutip oleh Margaret Smith dalam disertasinya yang berjudul Rabi’ah the Mystic & Her Fellow – Saints in Islam, yang menulis bahwa Rabi’ah mungkin lahir sekitar tahun 95-99 H di Bashrah, di mana ia banyak menghabiskan kehidupannya di sana.[6] Dalam Ensiklopedi Islam, ditulis bahwa Beliau lahir tahun 95 H atau 713 M.[7]
     Pada awal abad ke-2 Hijrah, Iraq telah membangkitkan getar hati manusia dengan semangat dan kekuatan peradaban kehidupan. Kota Bashrah ketika itu bagaikan bintang yang berkelap-kelip di Iraq. Kota itu telah terbuka pintu-pintunya bagi para ulama dan pemikir, kota itu benar-benar menjelma menjadi tempat berkumpulnya keagungan raja-raja Persia dengan barang-barang mewahnya, hingga kota itu bergelimang penuh dengan kemewahan, keagungan dan keindahan. Keadaan hidup masyarakat Islam dalam pemerintahan Bani Umaiyah waktu itu, yang sebelumnya terkenal dengan ketaqwaan telah mulai berubah. Pergaulan semakin bebas dan orang ramai berlumba-lumba mencari kekayaan. Justru itu kejahatan dan maksiat tersebar luas. Pekerjaan menyanyi, menari dan berhibur semakin diagung-agungkan. Maka ketajaman iman mulai tumpul dan zaman hidup wara’ serta zuhud hampir lenyap sama sekali.
    Dalam kehidupan mewah yang menakjubkan, yang gemerlap antara keimanan dan pengetahuan, di antara senda gurau dan harta berlimpah, hiduplah sekelompok kaum miskin yang terpencil dari mereka. Di antara ratusan gubuk yang bertebaran di pinggiran kota Bashrah, di mana kaum miskin hidup, terdapat sebuah gubuk kecil sederhana. Seluruh penduduk Bashrah mengenalnya sebagai Kukh al-‘Abidah (gubuk ahli ibadah). Setiap tahunnya, gubuk ini menyambut seorang bayi perempuan cantik yang menguras air mata dari ibunya, karena sang ibu melihatnya sebagai beban penderitaan yang baru. Sedangkan sang suami, menyambut sang bayi dengan senyuman dan rasa syukur, sebab ia hanya melihat segala yang berasal dari Tuhan Yang Qadim, adalah nikmat dan kebaikan belaka.[8]
     Rabi’ah lahir di dunia tanpa panggilan yang indah dan menawan. Cukup “Anak keempat”, yang dalam bahasa Arab disebut Rabi’ah. Ia tidak memiliki nama bagus sebagaimana lazimnya anak yang lahir pada masanya. Namanya sekedar pernyataan bahwa ia anak keempat dari keluarga Ismail al-Adawi.[9]
Fariduddin Al-Aththar (513 H – 627 H), Penyair mistik Persia, dalam melukiskan keprihatinan Rabi’ah menulis bahwa ia dilahirkan di rumah, dimana tidak ada sesuatu pun yang dapat dimakan dan yang dapat dijual. Malam gelap gulita gulita karena minyak untuk penerangan juga telah habis.[10]
    Al-Aththar juga mengemukakan sebuah cerita mengenai pertumbuhan Rabi'ah yang suci dan penuh ketakwaan, bahwa Rabi'ah telah mengenal halal-haram pada saat memasuki usia bermain dan bercengkrama. Ia tumbuh bersama dengan cahaya ilahi, dan telah menghafalkan Al-Qur'an serta senantiasa memelihara waktu shalat pada saat ia berada dalam usia yang masih belia.[11]
    Rabi'ah wafat saat ia menginjak remaja. Beberapa waktu kemudian wafat pula ibunya, sehingga Rabi'ah merasakan kepahitan hidup sebagai yatim piatu yang sempurna, tanpa ayah dan tanpa ibu. Kedua orang tuanya tidak meninggalkan harta apapun, sehingga penderitaan Rabi'ah semakin bertumpuk, tidak merasakan cinta dan kasih sayang kedua orang tuanya. Ketika kota Bashrah mengalami kemarau, Rabi'ah Adawiyah dan saudara-saudaranya meninggalkan gubuk, menyusuri jalan mencari sesuap nasi. Nasib memisahkan Rabi'ah dengan saudara-saudaranya.[12]
     Ketika itu Rabi'ah sedang berjalan seorang diri menelusuri lorong jalan kota Bashrah. Tiba-tiba seseorang menyekap dan menculiknya. Mulutnya dibungkam dengan sehelai kain. Kemudian ia dibawa, dan dijual dengan harga enam dirham.[13]
    Kemerdekaan Rabi'ah telah dirampas. Kini ia sebagai hamba sahaya (budak). Menjadi pembantu di rumah orang yang telah membelinya. Lelaki yang bengis, biadab, kejam dan tak punya rasa belas kasih. Tubuh Rabi'ah semakin kering kerontang. Ia diperlakukan dengan kasar. Makanan yang diberikan hanyalah sisa-sisa mereka. Pakaiannya pun hanya sepotong kain yang sudah compang-camping. Meskipun demikian, betapapun pahitnya kehidupan yang dijalani, tetap diterimanya dengan tabah dan sabar. Shalat malam tetap dilakukan secara rutin, dan lisannya tak pernah berhenti dari zikir. Istighfar merupakan senandung yang selalu didendangkan.
     Musibah yang bertubi-tubi malah menjadi motivasi bagi Rabi'ah untuk selalu mendekatkan diri kepada Allah. sebab dengan ibadah itulah ia dapat melupakan semua penderitaan dan kesengsaraan yang dialami. Penderitaan lahir batin ia lalui dengan penuh kesabaran dan tawakal kepada Allah. Ia senantiasa bermunajat, bertasbih dan beristighfar. Saat munajat kepada Allah, air matanya mengalir dari kelopak sucinya. Ia tidak memohon kepada Allah untuk membebaskannya dari siksaan yang ia hadapi, tetapi ia hanya ingin mengetahui satu hal, apakah Tuhannya telah ridha kepadanya, ataukah tidak ridha ? Rabi'ah Adawiyah tidak menginginkan apapun selain keridhaan dari Allah.[15]
     Pada suatu malam, tuannya terjaga dari tidur, dan melalui jendela melihat Rabi'ah sedang sujud dan berdo’a, “Ya Allah, Engkau tahu bahwa hasrat hatiku adalah untuk dapat mematuhi perintah-Mu; jika aku dapat mengubah nasibku ini, niscaya aku tidak akan beristirahat barang sebentar pun dari mengabdi kepada-Mu.” Menyaksikan peristiwa itu, ia merasa takut, semalaman termenung sampai terbit fajar. Pagi-pagi sekali ia memanggil Rabi'ah, bersikap lunak padanya, dan membebaskannya.[16] Setelah menikmati kebebasan, Rabi'ah menjalani kehidupan sufistik, beribadah dan berkhalwat (menyepi), lebih memilih kemiskinan daripada gemerlapan kehidupan duniawi. Ia hidup menyendiri, tidak menikah, dan enggan menerima bantuan materiil dari orang lain. Dengan sikap dan kesalehannya itu, namanya sebagai orang suci dan pengkhotbah makin lama makin harum. Ia dihormati oleh orang-orang zuhud semasanya dan sering dikunjungi untuk tukar-menukar pengalaman mengenai masalah kesufian. Para sufi yang sering berkunjung antara lain Malik bin Dinar (w. 171 H), Sufyan as-Sauri (97-176 H), Syaqiq al-Balkhi (w. 194 H/810 M), dan lain-lain.
     Rabi'ah memilih menempuh jalan hidup sendirian tanpa menikah, hanya mengabdi kepada Allah SWT. Pengalaman kesufian ia peroleh bukan melalui guru, melainkan melalui pengalamannya sendiri. Ia tidak meninggalkan ajaran tertulis langsung dari tangannya sendiri, akan tetapi ajarannya dikenal melalui para muridnya, dan baru dituliskan setelah ia wafat.
     Terdapat beberapa keterangan mengenai tahun kematian Rabi'ah. Ada yang menyebut 135 H/752 M, yang lain menyebut 185 H/801 M. Menurut Ibn Jawzi dalam kitab Shodhur al-‘Aqud, Abu al-Mahasen Taghriberdi dalam kitab an-Nujum al-Zahira, dan Ibnu Ahmad Hambali dalam kitab Shadhar at al-Dhahab, dikatakan bahwa Rabi'ah wafat pada tahun 135 H. Sedangkan menurut Abdur Ra’uf al-Munawi dalam kitab Tabaqat al-Auliya, dikatakan bahwa Rabi'ah wafat tahun 180 H. [18] Menurut Louis Masisignon, Rabi'ah meninggal pada usia tidak kurang dari 80 tahun, yakni pada tahun 185 H (801 M).[19] Pendapat tersebut dikutip oleh Margaret Smith, dimana ia mengatakan bahwa, Rabi'ah al-Adawiyah wafat pada tahun 185 H (801 M) dan ia dimakamkan di Bashrah.[20] Dan pendapat yang terakhir inilah yang lebih kuat. Hal ini didasarkan bahwa Rabi'ah( wafat pada tahun 185 H) adalah persahabatannya dengan Rabah, dan pertemuannya dengan Sufyan al-Tsauri yang datang ke Bashrah sesudah tahun 155 H. Dan juga cerita tentang lamaran Sultan Muhammad bin Sulaiman yang menjadi Gubernur Bashrah dari dinasti Abbasiyah sejak tahun 145 H sampai dengan tahun 172 H.[21]

B. Ajaran Tasawuf Rabi’ah al-Adawiyah
    Ajaran-ajaran Rabi'ah tentang tasawuf dan sumbangannya terhadap perkembangan sufisme dapat dikatakan sangat besar. Rabi'ah memang identik dengan “cinta” dan “air mata”, identik dengan citra dan kesucian. Tidak berlebihan apabila sepanjang zaman para pengkaji sejarah tasawuf, bahkan para penempuh jalan Sufi sendiri, merasakan adanya kekurangan manakala belum “menghadirkan” spirit Rabi'ah dalam ulasan dan kontemplasinya. Sebagai seorang guru dan panutan kehidupan sufistik, Rabi'ah banyak dijadikan panutan oleh para Sufi, dan praktis penulis-penulis besar Sufi selalu membicarakan ajarannya dan mengutip syair-syairnya, sebagai seorang ahli tertinggi. Di antara ajaran-ajarannya adalah mahabbah, taubat, zuhud, dan sabar.

1. Mahabbah
Mahabbah (rasa cinta) adalah keinginan untuk memberikan barang yang terbaik yang dimilikinya yakni hatinya, kepada kekasih. Cinta adalah kesatuan niat, kemauan dan cita-citanya dengan sang kekasih.[22]
Cinta (mahabbah) kepada Allah adalah tujuan puncak dari jenjang-jenjang sufisme. Di dalamnya terkandung unsur Kepuasan Hati (ridha), Kerinduan (syauq), dan Keintiman (uns). Ridha mewakili – pada satu sisi – ketaatan tanpa disertai adanya penyangkalan, dari seorang pecinta terhadap kehendak Yang Dicinta, syauq adalah kerinduan sang pecinta untuk bertemu dengan Kekasih, dan uns adalah hubungan intim yang terjalin antara dua kekasih spiritual itu. Dari tahap cinta ini seorang ahli akan langsung meraih ma’rifat, dimana ia akan mampu menyingkap keindahan Allah dan menyatu dengan-Nya, suatu penyatuan yang terjadi bukan hanya di dunia saja, tetapi abadi hingga kehidupan akhirat.[23]
     Seorang pecinta, sebagaimana dikatakan oleh Abu Nashr al-Siraj, berada dalam tiga al-ahwal (kondisi atau tahapan) sebagai berikut : Tahapan pertama dari mahabbah adalah mahabbah al-‘Ammah (cinta kaum awam), dari cinta tersebut lahirlah kebaikan Allah dan kasih sayang-Nya kepada mereka. Tahapan kedua adalah mahabbah al-Shadiqin wa al-Mutahaqiqin, yaitu cintanya orang-orang yang jujur dan terpercaya. Cinta ini terlahir karena pandangan hati kepada kekayaan Allah, kemuliaan-Nya, keagungan-Nya, ilmu-Nya, kekuasaan-Nya. Tahapan ketiga adalah mahabbah al-Shiddiqin wa al-‘Arifin, yaitu cintanya kaum orang-orang yang jujur dan ahli makrifat. Cinta ini lahir dari pandangan dan makrifat mereka atas sifat qadim-Nya cinta Allah tanpa adanya sebab. Oleh karena itu merekapun mencintai Allah tanpa sebab.[24]
Rabi'ah dipandang sebagai pelopor tasawuf mahabbah (cinta mistik), yaitu penyerahan diri total kepada “Kekasih” (Allah). Hakikat tasawufnya adalah habbul-illah (mencintai Tuhan Allah SWT).[25] Ia senantiasa beribadah kepada Allah tanpa mengharapkan surga, yang mengandung segala kelezatan bagi nafsu, dan bagi pandangan mata. Ia beribadah juga bukan disebabkan oleh karena takut terhadap neraka yang apinya menyala-nyala. Sesungguhnya Rabi'ah Adawiyah beribadah kepada Allah, dalam keadaan cinta kepada Allah, cinta terhadap Dzat-Nya yang suci.[26] Ia tidak mau menjadi seperti seorang buruh yang jahat, yang apabila diberi upah merasa senang dan apabila tidak diberi upah lantas membenci. Ia juga tidak mau seperti seorang budak yang bekerja karena cambuk atau karena uang. Rabi'ah Adawiyah ingin agar manusia mengikuti jejaknya, berjalan di atas pijakan yang ia tempuh. Maksudnya, mereka menyembah Allah karena Dzat-Nya itu sendiri, bukan karena takut kepada neraka-Nya, atau karena tamak untuk mendapatkan surga-Nya.
     Terkadang, ia menjelaskan sikapnya ini dengan tamsilan. Suatu hari, orang melihat Rabi'ah membawa air di tangan kiri, dan api di tangan kanannya. Orang pun bertanya, “Kemana engkau, Rabi'ah?” dengan tangkas Rabi'ah menjawab, “Saya mau ke langit untuk membakar surga dan memadamkan api neraka, agar keduanya tak menjadi sebab manusia menyembah-Nya”. Tentu saja orang awam heran melihat perilaku Rabi'ah yang tak masuk akal itu. Bukankah membakar surga dengan api dunia atau memadamkan api neraka dengan air dunia adalah kemustahilan ? Tapi orang-orang yang berilmu mengerti bahwa apa yang tersirat di balik perilaku Rabi'ah itu. Mereka tahu, ini adalah salah satu caranya, agar manusia menyembah Allah dengan ikhlas – bukan menyembah-Nya karena surga atau takut neraka.[27]
Apa yang diajarkan Rabi’ah melalui mahabbah-nya, sebenarnya tak berbeda jauh dengan yang diajarkan Hasan al-Bashri dengan konsep khauf (takut) dan raja’ (harapan). Hanya saja, jika Hasan al-Bahsri mengabdi kepada Allah didasarkan atas ketakutan masuk neraka dan harapan untuk masuk surga, maka mahabbah Rabi’ah justru sebaliknya. Ia mengabdi kepada Allah bukan lantaran takut neraka maupun mengharapkan balasan surga, namun ia mencinta Allah lebih karena Allah semata. Sikap cinta kepada dan karena Allah semata ini misalnya tergambar dalam sya’ir Rabi’ah sebagai berikut : Wahai Tuhanku, jika aku menyembah-Mu, karena takut dari siksa neraka-Mu ,maka bakarlah diriku dengan api itu. Dan jika menyembah-Mu karena mengharapkan masuk ke surga-Mu, maka haramkanlah surga itu dari diriku. Namun , jika aku menyembah-Mu,karena cinta kepada-Mu, maka berikanlah balasan-Mu yang besar itu kepadaku. Izinkan aku menyaksikan wajah-Mu Yang Agung dan Mulia.[28]

2. Taubat
Bertaubat dari dosa-dosa dengan kembali Tuhan Yang Maha Menutupi segala aib dan Maha Mengetahui segala kegaiban, adalah dasar jalan orang-orang yang menuju Allah (al-Salikin) dan merupakan modal orang-orang yang beruntung. Taubat adalah langkah awal dari kaum al-Muridin (para pelaku tasawuf), serta merupakan jenjang pertama dari jenjang-jenjang kaum al-Thalibin (penuntut ilmu tasawuf). Dan, seluruh jenjang didirikan di atas dasar jenjang taubat.
     Taubat adalah perjuangan melawana hawa nafsu untuk menjadi benar dan kembali ke jalan-Nya. Taubat menuntut ditinggalkannya segala kemaksiyatan saat itu juga (segera). Juga menuntut komitmen untuk meninggalkannya pada masa yang akan datang, serta pengurangan secara bertahap terhadap kondisi buruk. Sikap menyesal terhadap dosa yang telah lalu, serta bersedih atas keadaan seperti itu hukumnya adalah wajib, sebab itu adalah esensi dari taubat.[29]
     Rabi'ah mengajarkan bahwa dosa itu sangat menyakitkan, sebab ia mampu memisahkan jiwa dengan Yang Dicinta. Keyakinan bahwa dosa itu adalah penghalang antara seorang hamba dengan seorang Tuhannya yang akan membimbing pada jalan kesedihan yang saleh, yaitu perasaan dosa yang mendalam. Kesedihan semacam itu tampak jelas padanya sebagai tanda-tanda kesedihan dari luar, misalnya menangis terus-menerus, ciri semacam ini tampak pada Rabi'ah dan juga para Sufi lainnya sebagai tanda kesalehan, penyesalan terhadap dosa-dosa atas perbuatan dan kelalaiannya, dan semua ini akan membakar kesedihan terus-menerus sehingga tidak ada tempat lagi bagi kesenangan dunia. Dosa bagi Rabi'ah adalah membangkitkan rasa benci, karena dengan itu akan menyebabkan terpisah antara dirinya dengan Allah, dan bukannya akan menyebabkan hukuman di neraka kelak.[30]
       Menurut Rabi'ah, taubat adalah suatu jenjang dan hal sekaligus. Sebab taubat merupakan ciri abadi kaum beriman. Syarat taubat adalah al-Shidqu (jujur) dan al-Inabah (kembali ke jalan Tuhan). Sebab permohonan ampunan tanpa bersikap tegas mencabut diri dari perbuatan dosa adalah taubatnya orang-orang pendusta dan hal itu merupakan cara yang biasa dilakukan oleh orang-orang munafik. Ketika seseorang berkata kepada Rabi'ah Adawiyah , “aku telah banyak berbuat dosa dan kemaksiyatan. Apakah Allah benar-benar akan menerima taubatku?” Rabi'ah Adawiyah berkata, “tidak. Justru yang benar adalah jika Allah telah menerima taubatmu, pasti engkau akan bertaubat”. Dengan demikian, Rabi'ah Adawiyah menetapkan suatu teori tasawuf, “Bahwa orang tidak menempuh suatu jalan, melainkan hal itu karena hidayah dari Allah. Rabi'ah Adawiyah memandang bahwa taubat adalah merupakan suatu penghormatan dan pemberian dari Allah kepada hamba-hamba tertentu yang dikehendaki-Nya.[31]

3. Zuhud
     Bersikap zuhud di dalam kehidupan dunia adalah jenjang (kedudukan) yang mulia, dan termasuk salah satu dari sekian jenjang kaum suluk. Setiap orang yang menjual dunia dengan akhirat adalah orang yang zuhud terhadap dunia. Dan orang yang tidak mencintai sesuatu selain Allah, bahkan surga-surga, dan hanya cinta kepada Allah, maka ia disebut ahli zuhud mutlak. Inilah derajat tertinggi. Rabi'ah Adawiyah adalah seorang zahid yang menjalani hidup dengan kemiskinan dan pengingkaran diri (nafsu) hingga akhir hayatnya. Sahabat-sahabatnya berulangkali membujuknya untuk memberikan bantuan dan mengangkatnya dari kemiskinan, tetapi ia tidak pernah bersedia menerima uluran tangan mereka dan hanya menyibukkan diri melayani Tuhannya.
      Al-Imam Ahmad membagi zuhud menjadi tiga, Pertama, meninggalkan yang haram, yakni zuhudnya kaum ‘awam; Kedua, meninggalkan kelebihan dari yang halal, yakni zuhudnya kaum Khawwash; Ketiga, meninggalkan sesuatu yang dapat memalingkan hamba dari Allah. Inilah zuhud ahli makrifat. Dan zuhudnya Rabi'ah Adawiyah adalah zuhud yang terakhir (ketiga), karena ia selalu mendendangkan keridhaan Allah.[32] Dunia tidak ada dalam hati dan pemikiran Rabi'ah. Sehingga ia merasa malu meminta kepada Allah, karena ia bukanlah apa-apa. Karenanya, bagaimana mungkin ia akan menerima apalagi meminta sesuatu dari makhluk-Nya.
       Malik bin Dinar memperbincangkan sikap zuhud dan tawakkal yang dimiliki Rabi'ah sebagai berikut :
“Suatu hari ia datang ke rumah Rabi'ah. Saat itu Rabi'ah sedang minum air dari bejana yang pecah. Tikar yang terbentang sudah kumuh, sementara yang dijadikan bantal tidurnya sebuah batu. Melihat kenyataan itu Malik tak tahan, lalu usul, “Wahai Rabi'ah, banyak kawan-kawan saya yang kaya raya. Sudikah engkau menerima pemberian mereka?”. Dengan tegas ia menjawab, “Wahai Malik, ucapanmu itu sangat tidak menyenangkan hatiku, dan itu memang ucapan yang salah. Yang memberi rezeki kepada kawan-kawanmu yang kaya raya itu adalah Allah yang juga telah memberi rezeki kepadaku. Apakah engkau akan mengatakan bahwa hanya orang-orang kaya saja yang memperoleh rezeki, sementara orang-orang miskin tidak? Kalau Allah mentaqdirkan kondisi kita begini, maka tugas yang perlu kita laksanakan adalah menerimanya dengan penuh tawakkal”.[33]
     Itulah ilustrasi kezuhudan Rabi'ah Adawiyah, prinsip dan pendiriannya dalam mensikapi harta dan pemberian dari sesama manusia. Sekiranya Rabi'ah tidak menjauhkan diri dari kesenangan dunia, tentu ia menjadi orang yang paling mudah memperoleh kekayaan. Sejak mula ia telah menolak lamaran Raja Bashrah, yakni Muhammad bin Sulaiman al-Hasyimi,[34] untuk dijadikan permaisuri. Sekiranya lamaran itu diterima, sudah barang tentu Rabi'ah menjadi wanita terkaya di negeri Bashrah. Namun, bukan itu tujuan hidupya. Kecintaan kepada Allah melebihi segalanya, dan menafikan cintanya kepada makhluk-Nya.

4. Sabar
     Sabar adalah sikap menahan diri terhadap sesuatu yang tidak disukai, atau menanggung sesuatu yang tidak disukaia dengan bentuk keridhaan atau penerimaan, serta menanggung rintangan dalam Dzat Allah.[35] Sedangkan sabar menurut Ensiklopedi Islam adalah menahan diri dalam menanggung suatu penderitaan, baik dalam menemukan sesuatu yang tidak diingini ataupun dalam bentuk kehilangan sesuatu yang disenangi.[36] Sabar merupakan kondisi mental dalam mengendalikan diri, maka sabar merupakan salah satu maqam (tingkatan) yang harus dijalani oleh seorang Sufi dalam mendekatkan diri kepada Allah. Maqam sabar biasanya diletakkan sesudah zuhud. Karena orang yang dapat mengendalikan dirinya dalam menghadapi kelezatan duniawi berarti ia telah berusaha menahan diri dari kelezatan tersebut. Keberhasilannya dalam maqam zuhud akan membawanya ke maqam sabar. Dalam maqam sabar ini tidak lagi tergoncang oleh penderitaan dan hatinya sudah betul-betul teguh dalam menghadap Allah.. Sabar mempunya tiga unsur, yaitu ilmu, hal, dan amal. Yang dimaksud dengan ilmu di sini ialah pengetahuan atau kesadaran bahwa sabar itu mengandung kemaslahatan dalam agama dan memberi manfaat bagi seseorang dalam menghadapi segala problem kehidupan. Pengetahuan yang demikian seterusnya menjadi milik hati. Keadaan hati yang memiliki pengetahuan demikian disebut hal. Kemudian hal tersebut terwujud dalam tingkah laku. Terwujudnya hal dalam tingkah laku disebut amal. Al-Ghazali mengumpamakan tiga unsur kesabaran itu laksana sebatang pohon kayu. Ilmu adalah batangnya, hal sebagai cabangnya, dan amal menjadi buahnya.[37]
Abu Thalib membagi kesabaran menjadi tiga tahapan, sebagaimana pandangan kaum sufi. Pertama, menghentikan keluhan, dan ini termasuk dalam tahapan pertobatan. Kedua, merasa puas dengan apa yang telah ditentukan oleh Allah, dan ini adalah tingkatan dalam asketisisme atau zuhud. Ketiga, menerima dan menyenangi semua yang telah ditentukan oleh Allah kepada kita, dan ini termasuk dalam tahapan seorang sahabat sejati Allah.[38]
     Untuk mengetahui ajaran tentang sabar oleh Rabi'ah Adawiyah dapat diketahui dengan jelas dalam setiap rentang kehidupannya, bahkan pada saat ia di usia anak kecil. Ketika itu ia duduk bersama dengan keluarganya pada saat makan malam. Sebelum menyantap hidangan yang sudah tersedia, Rabi'ah memandang ayahnya seraya berkata, “ Ayah, yang haram selamanya tak akan menjadi halal. Apalagi hanya karena ayah merasa kewajiban memberi nafkah kepada kami”. Ayah ibunya terperanjat mendengar kata-kata Rabi'ah. Makanan yang sudah di mulut tak jadi dimakan. Ia pandang Rabi'ah dengan pancaran sinar mata yang lembut, penuh kasih. Sambil tersenyum ia berkata, “Wahai Rabi'ah, Bagaimana pendapatmu sekiranya ayah tidak menemukan makanan kecuali yang haram?”. Dengan tangkas Rabi'ah menjawab, “ Kita harus banyak bersabar. Karena menahan lapar di dunia jauh lebih ringan dan lebih baik daripada menanggung siksa neraka di akhirat”.[39]
    Pada saat berada dalam perbudakan, Rabi’ah selalu bermunajat kepada Tuhannya : Tuhanku, aku adalah seorang yatim yang tersiksa, terbelenggu di rantai perbudakan. Aku selalu menanggung segala kepedihan, dan aku akan selalu bersabar menhannya. Akan tetapi ada siksaan yang lebih dahsyat dari siksaan ini, yang mengguratkan keperihan pada jiwaku dan meruntuhkan benteng kesabaranku di dalam diriku, yakni adanya keraguan yang berputar-putar di hatiku; (untuk selalu bertanya) Apakah Engkau ridha kepadaku? Itulah puncak keinginanku.[40]
    Dan untuk lebih memahami mengenai kesabaran Rabi'ah Adawiyah, tidak ada salahnya kita perhatikan kisah berikut :b suatu hari Sufyan al_Tsauri mengunjungi Rabi'ah pada saat ia sedang sakit. Lalu Sufyan al-Tsauri berkata padanya, “Berdoalah kepada Allah, semoga Dia akan meringankan rasa sakitmu”. Rabi'ah Adawiyah berkata, “Wahai Sufyan al-Tsauri, siapakah yang mendatangkan sakit ini?” Sufyan al-Tsauri menyahut, “Dialah Allah Swt”. Rabi'ah Adawiyah lalu berkata, “Jika sudah menjadi kehendak Allah untuk mengujiku dengan cobaan ini, maka bagaimana mungkin aku berani berhadapan dengan-Nya dengan berpura-pura tidak mengetahui kehendak-Nya”.
BAB III
ANALISIS
       Rabi'ah Adawiyah adalah orang pertama yang memindahkan konsep zuhud ke puncak sufisme. Ia adalah orang pertama yang mengubah konsep-konsep sufisme dari al-Khauf (takut) menjadi al-Hubb (cinta), dari al-Ra’b (ketakutan) menjadi al-Ma’rifah (mengenal), dari al-Hirman (penolakan) menjadi al-Ridha (pasrah), dari al-Qaswah (keras dan kaku) menjadi al-Isyraq (pujian).
     Semasa hidupnya, Rabi’ah menghabiskan hidupnya hanya untuk “mencintai Allah” tidak ada ruang kosong dalam hatinya untuk mencintai manusia, khususnya lelaki sebagai pendamping hidupnya. Beliau mengajarkan kepada umat Islam agar dalam melaksanakan ibadah senantiasa di dasari karena cinta kepada Allah bukan karena makhluk-Nya. Mahabah sebagai martabat untuk mencapai tingkat makrifat (ilmu yang dalam untuk mencari dan mencapai kebenaran dan hakikat) diperoleh Rabi'ah setelah melalui martabat-martabat kesufian, dari tingkat ibadah dan zuhud ke tingkat ridla, dan ihsan (kebajikan), sehingga cintanya hanya kepada Allah SWT.
     Cinta kepada Allah (mahabbatullah), dan cinta pada Rasul-Nya, merupakan seagung-agungnya kewajiban keimanan, sebesar-besarnya pokok keimanan, dan semulia-mulia dasar keimanan. Bahkan ia merupakan pokok setiap amal perbuatan dari segala perbuatan keimanan dan keagamaan. Setiap gerak dan perbuatan muncul dari mahabbah, baik itu dari mahabbah yang terpuji (mahmudah) maupun yang dari mahabbah yang tercela (madzmumah).[42] Seluruh amal perbuatan keimanan itu tidak lahir kecuali dari mahabbah mahmudah, yaitu cinta kepada Allah. Sementara amal yang lahir dari mahabbah madzmumah di sisi Allah itu tidak menjadi amal saleh.
     Rabi'ah adalah pelopor di dalam meletakkan kaidah-kaidah rasa cinta dan rasa sedih di dalam perkembangan tasawuf Islam. Dialah yang meninggalkan bisikan-bisikan kejujuran dalam mengungkapkan renungan tentang cinta dan kesedihannya. Puisi dan prosa mendominasi sastra Sufi sesudah masa Rabi'ah adalah bau semerbak dari sekian banyak keharuman Rabi'ah Adawiyah, sang pelopor dalam kecintaan dan kesedihan di dalam Islam. Orang yang mencintai secara sempurna tidak akan terpengaruh oleh celaan para pencela dan hinaan para penghina. Malah hal itu menjadikannya terdorong untuk mengokohkan mahabbahnya kepada Tuhannya.

A. Kontroversi Sekitar Kehidupan dan Ajaran Rabi'ah Adawiyah
Ketika kita mempelajari biografi dan ajaran Rabi'ah Adawiyah, maka akan kita temukan beberapa kontroversi, yang itu disebabkan oleh informasi mengenai biografinya ajarannya begitu sedikit, dan sebagiannya hanya bercorak mitos saja. Di antaranya tentang tahun wafatnya, pernah tidaknya Rabi’ah dilamar oleh Hasan al-Bashri, benarkah ia mengharamkah dirinya untuk menikah, dan pertemuannya dengan Dzunnun al-Mishri dsb.
1. Tahun wafatnyaa Rabi'ah Adawiyah
Terjadinya perbedaan tentang wafatnya Rabi'ah disebabkan oleh sebagian besar penulis sejarah yang khusus menulis biografi dan ajaran Rabi'ah Adawiyah tidak menyebut secara jelas kapan beliau lahir dan kapan ia wafat.[43] ada yang mengatakan tahun 135 H,[44] namun sebagian besar ahli sejarah berpendapat bahwa ia wafat pada tahun 185 H dalam usia kurang lebih 85 tahun.[45] Dan pemakalah memilih menggunakan pendapat yang kedua untuk menentukan tahun wafatnya Rabi'ah Adawiyah.
2. Pinangan Hasan al-Bashri
Ada beberapa tulisan yang menyatakan bahwa Rabi'ah pernah dipinang oleh Hasan al-Bashri, ulama sekaligus zahid besar di zamannya dari kota Bashrah yang sekaligus juga gurunya, dimana Rabi'ah mengajukan 4 pertanyaan yang apabila bisa dijawab oleh Hasan al-Bashri, maka ia bersedia menikah dengannya.[46] Menurut pemakalah sangatlah tidak logis, karena Hasan al-Bashri meninggal tahun 110 H, sedangkan Rabi'ah Adawiyah meninggal pada tahun 185 H, dalam usia tidak kurang dari 80 tahun, sebagaimana yang telah pemakalah bahas di atas. Jadi ada jarak sekitar 70 tahun antara keduanya. Tidak masuk akal kalau Rabi'ah dalam usia kurang dari 10 tahun telah menerima ajaran tasawuf dari Hasan al-Bashri serta tiba-tiba beralih dari kehidupan biasa ke arah kehidupan yang bersifat mistis dengan mengkonsentrasikan diri pada kezuhudan dan ibadah.
3. Pengharaman menikah untuk dirinya
Rabi'ah Adawiyah menerima banyak pinangan untuk menikah, tetapi ia tolak semua. Ia mengambil keputusan karena menurutnya, dengan tidak menikah itulah ia dapat melakukan pencarian tanpa ada hambatan. Cinta Rabi'ah kepada Allah telah memenuhi seluruh jiwa dan raganya. Ketika kepadanya ditanyakan mengenai cinta kepada Rasulullah, ia menjawab, “Aku, demi Allah sangat mencintai Rasul, akan tetapi cintaku kepada al-Khaliq (Maha Pencipta) telah memalingkan perhatianku dari sesama makhluk (segala ciptaan)”. Dan ketika ditanyakan mengapa menolak menikah sebagai salah satu sunah Rasulullah, maka ia menjawab bahwa dirinya adalah milik Allah yang dicintainya. Barangsiapa ingin memperisterikannya, maka hendaklah minta izin kepada Allah. Kaitannya dengan perkawinan, Rabi'ah berkata :
“Perkahwinan itu memang perlu bagi sesiapa yang mempunyai pilihan. Adapun aku tiada mempunyai pilihan untuk diriku. Aku adalah milik Tuhanku dan di bawah perintah-Nya. Aku tidak mempunyai apa-apa pun.”[47]
Jadi Rabi'ah tidak mengharamkan nikah, hanya saja karena harena hatinya telah diliputi rasa cinta kepada Allah, sehingga tidak tersisa sedikitpun ruang dalam hatinya untuk cinta kepada makhluk-Nya, termasuk cinta kepada seorang laki-laki untuk menjadi pendamping hidupnya.
4. Pertemuannya dengan Dzun Nun al-Mishri
Ada yang berpendapat bahwa Rabi'ah Adawiyah pernah bertemu dengan seorang Sufi dari Mesir yang bernama Dzun Nun al-Mishri. Pendapat ini sangat tidak logis, karena Rabi'ah Adawiyah hidup antara tahun 95 H sampai dengan 185 H, sedangkan Dzun Nun al-Mishri wafat pada tahun 245 H. Memang kalau kita lihat ada sedikit kemiripan pusisi atau syair yang dibuat oleh Rabi'ah dengan yang dibuat oleh Dzun Nun al-Mishri. Hal ini mungkin karena keduanya sama-sama Sufi dan menggunakan cinta sebagai media untuk mendekat kepada Allah.

B. Tinjauan Historis pemikiran Rabi'ah Adawiyah
     Pada awal abad ke-2 Hijrah, Iraq telah membangkitkan getar hati manusia dengan semangat dan kekuatan peradaban kehidupan. Kota Bashrah ketika itu bagaikan bintang yang berkelap-kelip di Iraq. Kota itu telah terbuka pintu-pintunya bagi para ulama dan pemikir, kota itu benar-benar menjelma menjadi tempat berkumpulnya keagungan raja-raja Persia dengan barang-barang mewahnya, hingga kota itu bergelimang penuh dengan kemewahan, keagungan dan keindahan. Keadaan hidup masyarakat Islam dalam pemerintahan Bani Umaiyah waktu itu, yang sebelumnya terkenal dengan ketaqwaan telah mulai berubah. Pergaulan semakin bebas dan orang ramai berlumba-lumba mencari kekayaan. Justru itu kejahatan dan maksiat tersebar luas. Pekerjaan menyanyi, menari dan berhibur semakin diagung-agungkan. Maka ketajaman iman mulai tumpul dan zaman hidup wara’ serta zuhud hampir lenyap sama sekali.
     Banyak orang-orang Islam yang telah tenggelam dalam kemewahan dan gemerlapnya dunia hingga melalaikan kewajibannya sebagai makhluk Allah yang diciptakan hanya untu beribadah. Hal inilah diantaranya yang menjadi motivasi bagi para Sufi saat itu, termasuk Rabi'ah Adawiyah, untuk meninggalkan segala tipu daya dunia demi mencapai kebahagiaan hakiki di akhirat nanti. Para Sufi, terlebih lagi Rabi'ah Adawiyah, menganggap bahwa cinta pada dunia hanyalah menjadi penghalang untuk dekat pada Allah. Dunia adalah hina, kekayaan dan kekuasaan hanyalah milik Allah, untuk itu tidak pantas bagi manusia untuk menyombongkannya apalagi sampai melupakan kepada Tuhannya. BAB IV

PENUTUP
A. KESIMPULAN
Kecintaan (Mahabbah) Rabi’ah terhadap Allah menjadi sebuah hal yang tak terlukiskan. Apa yang dilakukannya sebetulnya merupakan ikhtiar seorang manusia untuk membiasakan diri ‘bertemu’ dengan penciptaNya. Disitulah ia memperoleh kehangatan, kesyahduan, kepastian dan kesejatian hidup. Sesuatu yang kini dirindukan oleh banyak orang. Menjadi pemuja Tuhan adalah obsesi Rabiah yang tidak pernah mengenal tepi dan batas. Tak heran jika dunia yang digaulinya bebas dari perasaan benci. Seluruhnya telah diberikan untuk sebuah pengejaran cinta yang agung dari Penciptanya. Ketika, kini, uang dan harta, tahta dan wanita, jabatan dan kedudukan, begitu didamba oleh banyak orang dan dipuja sebagai sumber kebahagiaan hidup, akankah kita ikut terlarut dalam euphoria cinta “salah kaprah” ini? Ketika Rabi’ah begitu jatuh bangun mengejar cinta Penciptanya, bersediakah kita jatuh bangun untuk mengejar Uang yang adalah benda mati ciptaan kita sendiri? Jawabannya ada pada hakekat tujuan hidup kita masing-masing.

B. SARAN
Karya ini adalah hasil buah tangan penulis yang masih sangat kurang ilmu pengetahuan, dan penulis juiga sangat menyadari bahwa dalam penulisan karya ini masih menyisakan banyak kesalahan dan kekurangan. Oleh karena itu, sebagai penulis kami mohon kerendahan hati dai para pembaca untuk memaklumi kekurangannya dan dihaapkan kesediaanya untuk memberikan kritik yang bersifat konstruktif untuk mejadi bahan evaluasi bagi penulis agar di kemudian hari dapat menulis dengan lebih sempurna.
DAFTAR PUSTAKA

 Abdul Mun’im Qandil, Figur Wanita Sufi : Perjalanan Hidup Rabi’ah Al Adawiyah, Surabaya, 1933.
 AJ. Siraaj, A.H. Mahmoud, Perawan Suci dari Basrah : Jenjang Sufisme Rabi’ah Adawiyah, Fajar Pustaka Baru, Yogyakarta, 2003.
 Dewan Redaksi Ensiklopedi Islam, Ensiklopedi Islam Jilid 4, Cet. 4, Ichtiar Baru, Jakarta, 1997.
 Dr. Abu al-Wafa’ al-Ghanimi al-Taftazami, Sufi Dari Zaman ke Zaman : Suatu Pengantar Tentang Tasawuf , Pustaka, Bandung, 1985.
 Dr. Javad Nurbakhsh, Sufi Women, Khaniqahi-Nimatullahi Publications, New York, 1983.
 http://darisrajih.wordpress.com/2008/03/10/perindu-cinta-allah/#more-166.
 Ibnu Taimiyah, Risalah Tasawuf Ibnu Taimiyah, Penerbit Hikmah, Jakarta, 2002.
 Louis Massignon & Mustafa Abdur Raziq, Islam dan Tasawuf, Fajar Pustaka Baru, Yogyakarta, 2001.
 Margaret Smith, M.A., Ph.D., Rabi’ah : Pergulatan Spiritual Perempuan, Risalah Gusti, Surabaya, 1997.

TerPopuler