fenomena perahu Nabi Nuh serta cara menaikinya -->

fenomena perahu Nabi Nuh serta cara menaikinya

FENOMENA PERAHU NABI NUH DAN CARA MENAIKINYA


Menaiki perahu Nabi Nuh ..? Ah, mustahil terjadi. Nabi Nuh kan hidupnya sudah ratusan tahun yang lalu, mana mungkin kita bisa menaiki perahunya!! Apalagi wujud perahunya sekarang tidak ada (belum ditemukan). Terus perahunya kayak apa, dimana letaknya, bagaimana bisa menaikinya, bukankah pula seharusnya sudah hancur ditelan jaman? Dan seterusnya-dan seterusnya. Begitulah kiranya ketika secara sekilas membaca judul di atas. Dan, secara spontan pula akan berkesimpulan bahwa hal tersebut “mustahil” terjadi. Apalagi pandangan logika juga sangat tidak mendukung. Bahkan dapat dikatakan suatu hal yang sangat imposible.

Tetapi, ketika membaca sabda Nabi SAW, yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari, al-Hakim dan Adz Dzahabi, segala ketidakmungkinan di atas akan terjawab dengan sendirinya. Hadits tersebut adalah : “Aku adalah kotanya ilmu dan kamu Ya Ali adalah pintunya. Dan janganlah masuk kota kecuali dengan lewat pintunya. Berdustalah orang yang mengatakan cinta kepadaku tetapi membenci kamu karena kamu adalah bagian dariku, dan aku adalah bagian darimu. Dagingmu adalah dagingku, darahmu adalah darahku, rohmu adalah rohku, rahasiamu adalah rahasiaku, penjelasanmu adalah penjelasanku. Berbahagialah orang yang patuh kepadamu dan celakalah orang yang menolakmu. Beruntunglah orang yang mencintaimu dan merugilah orang yang memusuhimu. Sejahteralah orang yang mengikutimu dan binasalah orang yang berpaling darimu. Kamu dan para imam dari keturunanmu sesudahku ibarat perahu nabi Nuh; siapa yang naik di atasnya selamat, dan siapa yang menolak (tidak mau mengiktu seruannya) akan tenggelam. Kamu semua seperti bintang ; setiap kali bintang itu tenggelam, terbit lagi bintang sampai hari kiyamat”

Hadits di atas dengan jelas dapat disimak bahwa Nabi SAW telah memproklamasikan diri “Aku adalah kotanya ilmu dan kamu Ya Ali adalah pintunya”. Hal ini kalau dicermati akan didapat dua permasalahan. Yaitu pernyataan diri Nabi SAW sebagai kota Ilmu dan penegasan pengangkatan Ali bin Abu Thalib sebagai pintu memasuki kotanya. Pendeklarasian sebagai kota ilmu sekaligus penunjukkan pintu memasukinya, secara logika tentu akan mengundang berbagai pertanyaan. Misalnya sebagai kotanya ilmu, ilmu apakah atau ilmu yang manakah gerangan? Apakah ilmu fisika, astronomi, aljabar, kedokteran atau ilmu-ilmu yang lain?. Demikian pula tentang pengangkatan Ali sebagai pintunya. Siapakah beliau sebenarnya, dari kalangan bangsa manakah, factor pakah yang melatarbelakangi hingga beliau begitu sangat istimewa di hadapan Nabi SAW?

Sementara itu bila dilihat dari latar belakang pendidikan, serta kehidupan beliau (Nabi SAW) sejak kecil yang selalu dalam keadaan lara-tapa (sengsara)—hingga saking susahnya tidak pernah memikirkan bangku sekolah—kiranya sangat mustahil beliau menguasai ilmu-ilmu tersebut. Apalagi hingga menamakan diri sebagai kota ilmu. Lantas ilmu yang manakah gerangan? Disinilah yang perlu dikaji, dianalisis, dan ditafakuri secara fundamental. Tidak diragukan lagi bahwa Nabi SAW memproklamasikan diri sebagai kota ilmu setelah Beliau secara resmi telah diangkat sebagai Utusan Tuhan (Rasulullah). Yaitu sebagai Wakil Tuhan dalam rangka membimbing umta manusia memenuhi kehendakNya-berupa segenap peraturan (system keyakinan), petunjuk maupun larangan yang harus dilakukan manusia agar bisa bertemu kembali dengan Diri-Nya-yang kemudian disebut ajaran Islam. Oleh karenanya, ilmunya pun adalah ilmu yang memperkenalkan jati diri hamba dengan keberadaan Jati Diri Dzat Tuhan. Persis sebagaimana ketika telah mengenal dengan yakin Wujud-Nya di alam “arwah”, sehingga waktu itu berani menerima persaksian yang diberikan Tuhan . Kemudian setelah mengenal kembali Jati Diri Tuhanseperti yang disaksikan di alam arwah tersebut, selanjutnya dijadikan “total target” yang hendak dituju dalam menjalani hidup dan kehidupan ini. Sehingga ketika mati yang pasti harus dijumpai, dapat/bisa selamat pulang kembali di sisi Dzat yang Berkuasa, ilaa Rabbiha nadhiroh.

Persaksian yang dimaksud adalah seperti yang difirmankan dalam Q.S. Al-A’raf 172 :”…alastu bi Rabbikum qaalu balaa syahidna..”. Bukankah AKU ini Tuhanmu, begitulah kalimat persaksian yang diberikan Tuhan. Kalimat tersebut menggunakan kata AKU, ini bahwa Dzat Tuhan ngejawantah (menampakkan diri) di depan hamba. Kemudian semua manusia yang waktu itu masih berupa intinya (sirr) menjawab : benar (Engkau Tuhan kami), kami menjadi saksi. Semua manusia tanpa terkecuali, apakah yang akan dijadikan utusan-Nya, hamba biasa ataupun yang akan menjadi pembangkang terhadap perintah-Nya semua bersaksi. Semuanya mengetahui persis, mengetahui dengan pasti atas keberadaan Dzat Tuhan. Sehingga karena haqqul yakinya melihat/menyaksikan kemudian mau bersaksi, menyatakan kebenaran Wujud Dzat Tuhan. Kembali pada kota ilmu, dengan demikian, yang dimaksud kota ilmu adalah ilmu yang menunjukkan/mengenalkan kembali Jati Diri Dzat Tuhan sebagaimana halnya ketika masih di alam arwah telah seyakinnya mengenal. Logikanya, memang sewajarnya dan seharusnya manusia itu asalnya dari Tuhan, kembali kepada Tuhan. Tuhan dalam arti Dzat bukan nama/sebutan/istilah. Ini yang harus dikenal dengan yakin dan pasti. Tidak bisa hanya melalui metode kira-kira, angan-angan, apalagi hanya menduga-duga dari tempat yang jauh. Tempat mengenalnya adalah hati nurani, roh dan rasa, bukannya otak/akal pikiran. Cara mengenalnya/mengetahuinya adalah dengan “digurukan” kepada ahlinya. Sebagaimana halnya Nabi SAW yang juga berguru kepada utusan-Nya (Jibril). Sangat pas/cocok dengan petunjukknya, bila perkara tidak ditanyakan kepada ahlinya, tunggulah kehancurannya.

Di sisi lain, mengenali dengan yakin Dzat-Nya, merupakan implementasi dari perintah-Nya “sesungguhnya aku ini adalah Allah, tidak ada tuhan selain Aku, maka sembahlah Aku, dan dirikan Shalat untuk mengingat Aku” (Q.S Thaha:14). Perintah ini menegaskan bahwa “sebenarnya” yang hak disembah adalah Aku (maka sembahlah Aku). Aku yang mempunyai nama Allah. Aku yang memperkenalkan diri dengan 99 asma lainnya (Asmaul Husna). Dan Aku yang disebut-sebut oleh manusia (hamba-nya) dengan beratus-ratus nama lain (missal : God, Tuhan, Gusti, Yahweh, Pangeran, Sang Hyang Widi Wasya dan lain sebagainya). Aku inilah yang dikenali terlebih dahulu, kemudian disembahnya secara khusyuk dan didzikiri (diingat-ingat) baik ketika berdiri, duduk ataupun berbaring. Selanjutnya mengenai penegasan/pengangkatan Ali bin Abi Thalib sebagai pintu memasuki kota ilmu, ini menunjukkan bahwa beliaulah yang “terpilih” dapat membawa umat memasuki kota ilmu-nya Nabi SAW. Karena Nabi SAW secara fisik juga manusia biasa yang pada saatnya pasti meninggalkan dunia (mati), maka beliau ( berdasarkan petunjuk Tuhan tentunya) melakukan “regenerasi” kepemimpinan

Kemudiann yang jadi permasalahan baru, mengapa yang terpilih Ali bin Abi Thalib yang konon hanya hamba biasa, bukan para tokoh pemikir ataupun bangsawan yang waktu itu juga banyak didapat (yang pada akhirnya menimbulkan kecemburuan sesama mereka)?. Permasalahan inilah yang “seharusnya” dimengerti oleh umat manusia, bahwa Tuhan yang kuasa segala-galanya”. Tidak dapat diprediksi sedikitpun apa yang menjadi keputusanNya. Termasuk ketika akan mengangkat Nabi SAW sebagai utusan-Nya, yang menurut ukuran akal jauh sekali kemampuan intelektual maupun ketokohannya dibanding dengan “elit bangsawan” yang ada pada waktu itu. Jadi Nabi SAW menghendai Ali sebagai pintu untuk bisa memasuki ilmu yang dibawanya – yang juga jauh sama sekali dengan prediksi para tokoh waktu itu –sama halnya dengan pengangkatan Nabi SAW sendiri sebagai utusan-Nya. Hal demikian sudah tentu bukan atas dasar inisiatif Nabi SAW sendiri, melainkan, tentu saja atas petunjuk dari Tuhan Yang Maha Kuasa. Mengapa harus diperdebatkan (waktu itu dan apalagi sekarang?)

Disamping penegasan sebagai “pintu menuju Tuhan” dilengkapi pula dengan gelar khusu untuk mengokohkan kedudukan Ali, di antaranya “ • Kamu (Ali) adalah bagian dariku (Nabi) dan aku (Nabi) adalah bagian darimu (Ali) • Dagingmu (Ali) adalah dagingku (Nabi) • Darahmu (Ali) adalah darahku (Nabi) • Rohmu (Ali) adalah rohku (Nabi) • Rahasiamu (Ali) adalah rahasiaku (Nabi) • Penjelasanmu (Ali) adalah penjelasanku (Nabi) • Berbahagialah orang yang patuh kepadamu (Ali)dan celakalah orang yang menolakmu • Beruntunglah orang yang mencintaimu (Ali) dan merugilah orang yang memusuhimu • Sejahteralah orang yang mengikutimu (Ali) dan binasalah orang yang berpaling darimu.

Dari ke sembilan gelar khusus yang diberikan kepada Ali bin Abi Thalib tersebut bisa dicermati, betapa istimewanya kedudukan beliau dihadapan/disisi Nabi SAW. Sehingga bisa dikatakan kedudukan beliau bagaikan Harun dengan Musa. Atau bagaikan Ibrahim dengan Ismail. Dalam bahasa filsafatnya “satu di dalam dua, dua di dalam satu”. Satu sama lain sangat menguatkan, saling melengkapi, dan bergandengan sangat erat bagaikan sebuah mata rantai. Berbahagialah orang yang patuh kepadamu (Ali)dan celakalah orang yang menolakmu. Beruntunglah orang yang mencintaimu (Ali) dan merugilah orang yang memusuhimu. Sejahteralah orang yang mengikutimu (Ali) dan binasalah orang yang berpaling darimu. Dari kedua hal di atas, kota ilmu maunpun pintunya, ada sabda Nabi SAW berikutnya juga sangat menentukan. Yaitu “Kamu dan para imam dari anak keturunanmu sesudahku ibarat perahu Nabi Nuh”. Jelasnya antara Ali dan para Imam dari anak keturunan Ali adalah bagaikan perahu Nuh. Perahu yang dapat menyelamatkan umat dari kehancuran, yang memang Tuhan sendiri yang akan menghancurkannya. Impelentasinya, setelah Ali wafat akan dilanjutkan oleh para “imam” dari anak keturunan Ali yang berkedudukan sebagai pintu menuju kota ilmu, yang akan melanjutkan tugas dari Nabi SAW sebagai pintu memasuki ilmu beliau. Sudah tentu penunjukkan Ali kepada keturunannya maupun penunjukkan keturunannya kepada keturunan berikutnya lagi dan seterusnya atas dasar petunjuk dari Tuhan. Sama sekali bukan rekayasa maupun inisiatif sendiri. Bukan pula atas dasar musyawarah maupun pilihan suara. Melainkan murni kehendak Yang Maha Kuasa semata. Seperti halnya ketika nabi akan mengangkat Ali sebagai pintu memasuki ilmunya.

Selanjutnya, ”Siapa yang naik di atasnya akan selamat dan siapa yang menolak (tidak naik) akan tenggelam”. Siapa yang mengiktui semua petunjuk dan tuntunan Ali beserta para Imam sesudahnya akan diselamatkan Tuhan, tetapi siapa yang menolaknya akan ditenggelamkan dalam bencana yang memang sudah disiapkan bagi hamba yang mengingkari ayat-ayatnya. Keberadaan Ali dan para imam dari anak keturunan beliau ini adalah seperti bintang, yang memberi cahaya penerang ketika kegelapan datang. Setiap kali bintang itu tenggelam akan terbit lagi sampai hari kiyamat. Setiap kali para imam itu meninggal dunia akan muncul lagi imam yang lain hingga kiyamat tiba. Kemunculannya sama sekali tidak dapat diprediksi oleh manusia. Sama sekali bukan karenaatas dasar musyawarah ataupun keturunan darah, melainkan memang sudah menjadi kehendak Yang Maha Kuasa. Walhasil, menaiki perahu nabi Nuh ataupun memasuki kota ilmu Nabi SAW, satu-satunya jalan adalah menemukan para imam yang telah di-”nash”-kan Nabi SAW, yang dimulai oleh sayyidina Ali, dilanjutkan Imam Hasan dan Imam Husen, kemudian dilanjutkan para Imam sesudahnya. Tidak akan pernah putus keberadaan (keberlanjutan)nya sampai kiamat. Setiap kali tenggelam (mati) pasti akan muncul lagi sampai kiamat. Kemudian dibarengi dengan mengikuti semua petunjuk dan larangannya, karena di”tangan” beliau-beliaulah segala rahasia memasuki kota ilmu itu berada. Yang lebih menentukan lagi bahwa hanya perahu beliau-beliaulah yang dapat/bisa membebaskan umat manusia dari berbagai bencana yang melanda bumi – termasuk bumi Nusantara. Baik bencana yang datangnya dari alam semisal tsunami, gempa, meletusnya gunung api, banjir, kebakaran, tanah longsor, kekeringan, mewabahnya aneka macam penyakit – maupun yang datangnya dari manusianya sendiri, semisal makin maraknya korupsi, mengganasnya kejahatan dan yang mengerikan adalah makin hilangnya rasa kemanusiaan (berbagai bentuk pembunuhan). Sedangkan wujud perahunya, bisa berupa jamaah, organisasi, gerakan, ataupun berbentuk apapun, yang jelas kesemuanya merupakan ”amar/sunnah” langsung dari ima tersebut.

Sebab kalau ditelusuri, berbagai bencana yang menimpa para umat zaman terdahulu (kaumnya Nabi Luth, kaumnya Firaun, kaumnya Nabi Nuh, dll) penyebabnya hanyasatu. Mereka semua mengingkari seruan/ajakan para utusan-Nya, yang selalu mengada di tengah-tengah umat manusia. Semoga kita mendapatkan butiran ilmu_nya, dimengertikan apa yang telah menjadi ayat-ayat-Nya, dipertemukan dengan para Imam pilihan-Nya (yang tidak akan pernah ghaib), serta diberi kekuatan untuk menaiki perahunya serta menjelajah kota ilmu-Nya.

TerPopuler